SuaraKawan.com
Bab 2 Jati Anom Obong

Jati Anom Obong 49

Hanya sekejap, bahkan kurang dari sekejap!

Keadaan sekitar mereka menjadi porak-poranda oleh cambuk Agung Sedayu yang tiba-tiba menggelepar, membelah udara, berayun sendal pancing dengan ledakan yang tidak terdengar oleh telinga namun mempunyai kemampuan merusak!

Keduanya membenturkan serangan ketika dada mereka akan meledak. Mereka merasa telah tiba waktunya untuk mengeluarkan puncak ilmu masing-masing. Gelegar dentum hanya sebuah desah seperti bunyi dedaunan yang bergesek tetapi menebar  kerusakan yang hebat. Dua pohon tumbang dengan pokok terbelah menjadi dua. Hempas tenaga sanggup mengobrak-abrik orang-orang yang berkumpul di sekitar tubuh lemas Swandaru. Tubuh mereka bergoyang-goyang, mereka merunduk, beberapa di antaranya bahkan harus meratakan tubuh dengan tanah. Salah seorang dari mereka, mungkin berkemampuan paling rendah, terpelanting!

Saat itulah Ki Suladra melayang tinggi, melampaui batas atas tenaga yang terhentak keluar dari lecut  cambuk, ia menyerang dengan sunyi! Tidak ada pekik atau teriakan dari mulutnya, tidak ada seruan yang ditahan, tidak ada sesuatu selain senyap!

Agung Sedayu kembali menggetarkan cambuk ketika musuhnya meluncur deras ke arahnya. Tubuh Ki Suladra berputar seperti roda pedati ketika mengepak tangannya, sorot mata Ki Suladra tajam menghunjam Agung Sedayu. Senapati Mataram ini terdorong mundur setapak akibat kekuatan dahsyat yang memancar keluar dari pandangan mata lawannya. Sedangkan ia sendiri mengalami kebuntuan untuk menghentak ilmu yang terhimpun di balik kelopak matanya.

Diam-diam Agung Sedayu memuji ketinggian ilmu Ki Suladra yang memang sangat dahsyat. “Orang ini menyimpan gunung berapi di dalam bola matanya.”

Melalui cambuknya, Agung Sedayu mengerahkan segala kekuatan, seluruh bagian dirinya berderap menuju ujung senjatanya. Mencari jalan keluar untuk meledak pada saat yang tepat. Jarak mereka semakin dekat, Agung Sedayu membidik kepala musuhnya. Tangan Ki Suladra kokoh menghantam ujung senjata Agung Sedayu.

Gelegar ledakan terjadi lebih kuat, tenaga mereka berhamburan ke segala arah. Tercipta kubangan melingkar sedalam dua kali mata kaki, kubangan yang cukup luas untuk membaringkan dua tubuh lelaki dengan memanjang lurus, pada tanah yang di sekitar Agung Sedayu. Sejumlah tanaman yang berusia muda tercabut dari akarnya dan terseret pusaran tenaga cadangan dua orang berkepandaian tinggi ini. Sebatang pohon mengalami patah pada setengah bagian atasnya.

Satu sapuan mata akan mendapatkan kesan bahwa lingkungan itu telah porak poranda oleh angin  topan yang sangat hebat.

Agung Sedayu terpental, bergulingan lalu terhenti belasan langkah dari tempatnya semula. Sedangkan tubuh Ki Suladra memantul, melayang dan menabrak batang pohon sebelum ia jatuh tertelungkup.

Agung Sedayu bergegas bangkit, duduk lalu mengamati sekitarnya. Dari kedudukannya sekarang ia mendapati Ki Suladra tidak dapat bergerak, bahkan ketajaman mata murid Kiai Gringsing ini melihat jika dada musuhnya telah berhenti. Ia juga melihat orang-orang yang berencana menculik Swandaru telah tumbang meski tubuh mereka sesekali bergerak tetapi itu bukan bahaya bagi Swandaru. Mereka menderita luka-luka bagian dalam. Kecuali Ki Sawentar. Ia lenyap.

Sejenak ia mengatur napas, mengalirkan tenaga dengan mendorong aliran darah agar lebih lancar, lalu bangkit berdiri. Agung Sedayu menghampiri Ki Suladra dengan dada bergetar. “Sedikit saja, mungkin hanya berjarak seukuran rambut, aku telah bersentuhan dengan maut. Aku tidak dapat membandingkannya dengan Tumenggung Prabandaru atau tiga bajak laut, tetapi kemampuannya menahan serangan dari dua mataku adalah penguasaan yang nyaris tak tertandingi,” kata Agung Sedayu pada dirinya. Ia berjongkok, membalik badan Ki Suladra dan masih ada satu satu napas dari lubang hidung lelaki yang berkelahi dengannya dengan cara mengagumkan.

“Ki Suladra,” desah Agung Sedayu perlahan, “Anda memang orang luar biasa. Adalah kejadian yang menggetarkan hati saya ketika harus melawan orang dengan kemampuan seperti Anda, tetapi jalan hidup sering menyatakan yang berbeda.”

Ki Suladra menatap Agung Sedayu setajam sembilu. Ia menggerakkan bibir namun tidak ada kata yang terucap. Agung Sedayu mengangkat kepalanya sedikit, lalu Ki Suladra setelah bersusah payah mengumpulkan sisa tenaga, akhirnya dapat berkata, “Bertahun-tahun aku berlatih dan aku berhasil menahan sinar matamu. Tetapi aku melupakan satu hal penting. Engkau adalah orang bercambuk. Aku tidak ingin mengaku kalah karena kekalahanku disebabkan oleh cambukmu. Meski begitu, dengan kematian ini, aku telah berhasil mengalahkanmu, Agung Sedayu.”

Seutas senyum mengembang di bawah malam yang meremang, kepala Ki Suladra terkulai di pangkuan Agung Sedayu. Wajahnya membeku, begitu pula Agung Sedayu. Untuk sesaat ia tidak dapat berpikir. Kesadaran murid Perguruan Orang Bercambuk ini seolah hilang dalam sekejap.

 

 

 

Related posts

Jati Anom Obong 35

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 20

Ki Banjar Asman

Membidik 40

Ki Banjar Asman