“Apakah ini sejenis ilmu yang berasal dari setan?” tanya hati Ki Sarjuma. Ia tidak merasakan kedatangan angin gerakan yang timbul dari tenaga inti Sayoga. Ia juga tidak mendengar desing angin yang mengikuti gerak pedang kayu musuhnya. “Ini kegilaan luar biasa! Aku tidak mengerti asal ilmu ini dan aku belum pernah menghadapi lawan dengan jenis kanuragan yang sama!” gerutu Ki Sarjuma seraya mengelak terjangan demi terjangan Sayoga yang membadai.
Mereka berkelahi dalam jarak dekat dan berpindah tempat dengan loncatan yang cepat. Meski ia masih mengaliri Ki Sarjuma dengan gebrakan sepenuh tenaga, namun Sayoga belum menguasai sepenuhnya kendali pergulatan yang hebat ini. Ki Sarjuma sangat kuat dalam bertahan. Ia mampu menutup setiap celah dan tak berusaha menghindari setiap benturan.
Para pengawal Menoreh berseru keras. Mereka kaget luar biasa!
Di luar jangkauan nalar dan kemampuan pandang mata orang kebanyakan, tiba-tiba Ki Sarjuma berbalik membalas serangan. Ia menerjang Sayoga serangkaian pukulan dan tendangan beruntun menyamping. Tidak ada kesempatan bagi anak muda ini untuk mengelak . Ia menggeser langkah mundur seraya menangkis serangan yang berpusar membadai serta mengerikan.
Jika sebelumnya mereka melihat tubuh Ki Sarjuma seolah bergumul lekat dengan Sayoga, kini mereka hanya melihat bayangan tangan dan kaki yang seperti berjumlah ribuan menghujani tubuh Sayoga.
Kedua orang yang berseteru itu kini merasakan kulit dan tulang mereka terasa perih. Benturan yang kerap terjadi dengan disertai tenaga inti lapis puncak perlahan namun penuh kepastian telah menggerogoti daya tahan tubuh masing-masing. Pedang kayu Sayoga terlihat mulai tidak utuh lagi. Sejumlah bagian telah terkupas pada tiap benturan.
Tiba-tiba keduanya memekik keras lalu melompat beberapa langkah surut!
“Sayoga, aku tidak meragukan kekerasan kepalamu. Sekarang aku mempunyai alasan sangat kuat untuk membunuhmu dan membawa pulang kepalamu!” desis Ki Sarjuma dengan wajah bengis. “Engkau telah mengobarkan semangat dan keinginan yang telah lama aku pendam dalam. Menemukan seseorang yang seimbang denganku, kini kau berada di sini untuk menyalakan api yang nyaris padam.”
“Apabila kau telah menganggapku sebagai mangsa maka tuntaskan pekerjaan ini untuk kehormatanku, Kiai,” pelan Sayoga mengeluarkan suara. Meski demikian tidak terlihat sorot gentar yang terpancar dari wajah dan kedua matanya. Sayoga benar-benar menunjukkan kegigihan dan keberanian yang telah berakar kuat di dalam hatinya.
“Bagus!” seru Ki Sarjuma. Ia mengalihkan pandangan kea rah para pengawal Menoreh, lantang suaranya terdengar, “Kalian adalah saksi perang tanding ini. Kalian telah mendengar anak muda ini berkata telah siap untuk mati untuk kehormatannya yang tertinggi.”
Ki Sarjuma mengangkat tinggi tangannya yang terkepal. Ia berseru keras, “Jadilah ayah ibumu sebagai orang tua dengan kebanggaan puncak!”
Ki Sarjuma tidak lagi memandang remeh kenyataan yang ada dalam diri Sayoga. Ia mengerahkan kembali segenap kemampuan hingga batas tertinggi yang dicapainya. Walau demikian ia masih menahan diri untuk bertangan kosong. Bahkan ia memutuskan tidak menggunakan senjata.
“Pantang bagiku untuk mengeluarkan senjata, lebih-lebih aku hanya menghadapi sebatang pedang kayu!” tekad kuat Ki Sarjuma dengan segala perhitungan yang telah bergulir dalam pikirannya.
Sayoga tidak melihat Ki Sarjuma mengeluarkan senjata, maka ia membuat perkiraan dalam benaknya. “Tentu saja ia akan melipat ganda semua tenaga yang telah terbakar keinginan bertarung.” Ia telah menilai kemampuannya sendiri dan lawannya. Kehebatan Serat Waja dalam menyerap dan mengubah sifat keras menjadi lunak telah mendapatkan tantangan hebat dari Ki Sarjuma.