Jati Anom Obong 33

oleh

Keadaan yang sama juga dirasakan oleh para pengawal Menoreh. Mereka bukan termasuk orang-orang yang berilmu tinggi maka setiap penilaian hanya berdasarkan kejadian yang berlangsung di hadapan meeka. Mereka menjadi saksi perubahan Sayoga yang kini berada dalam suasana yang sulit dimengerti. Seorang pemuda yang hanya sesaat bergaul dengan penduduk Menoreh kini telah bertaruh nyawa untuk sebuah alasan yang mungkin baru mereka dengar setelah perkelahian usai, jika Sayoga masih hidup.

Angin berhembus sedikit kencang dari pegunungan Menoreh.

Kematangan Sayoga belum sepenuhnya teruji dalam perkelahian itu, tetapi ia ditempa oleh hal lain yang tidak kalah menggetarkan dari lancipnya ujung pedang. Sayoga berada di bawah bimbingan orang tuanya sendiri maka kematangan batin Sayoga menjadi penentu. Wawasan yang dibagikan oleh Ki Wijil sedikit banyak mempengaruhi cara berkelahi anak muda dari Kedawung ini.

[penci_related_posts title=”Sayang Bila Dilewatkan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”cat” orderby=”random”]

Pedang kayu telah kembali berada dalam genggamnya. Tatap mata Sayoga mendadak berubah menjadi dingin dan wajahnya membeku. Sayoga mencoba melarutkan dirinya, ia berusaha menyesuaikan diri dengan suasana mengerikan yang memancar kuat dari Ki Sarjuma. Dalam pikiran Sayoga, ia berharap keadaan membaik jika ia tenggelam dalam kengerian yang ditebar oleh Ki Sarjuma.

Bagi Sayoga, Ki Sarjuma adalah lawan yang mempunyai tataran lebih tinggi jika dibandingkan dengan Ki Jagabaya, teman ayahnya. Meski begitu ia tidak merasa jerih atau gentar.

Sayoga menerjang Ki Sarjuma dengan putaran senjata yang lebih dahsyat!

Ujung pedang Sayoga, meski terbuat dari kayu, namun mampu mengeluarkan suara berdecit keras. Ia berkelahi dengan sangat hebat seperti tidak ada lagi hari esok. Dan memang itulah yang dirasakan oleh Sayoga. Ia memaksa dirinya untuk berjuang lebih keras walaupun kedua matanya tidak akan pernah lagi menatap mentari pagi, selamanya.

Maka yang dihadapi oleh Ki Sarjuma adalah ia tidak dapat mendekati Sayoga meski sejengkal. Semua celah pertahanan Sayoga telah terbungkus rapat oleh gulungan pedang kayu. Dan setiap kali pukulan Ki Sarjuma tertolak batang pedang maka Ki Sarjuma merasakan getar yang hebat. Ia semakin menderita rasa perih yang menyakitkan.

“Apakah Menoreh memang selalu menyimpan sebuah rahasia hingga tidak pernah berhenti memunculkan orang muda berilmu tinggi?” keluh Ki Sarjuma yang lambat laun tak lagi bergerak secara aneh.

Tiba-tiba Ki Sarjuma meloncat surut namun Sayoga tidak mengejarnya. Lelaki muda dari Kedawung ini memilih untuk tetap berada di tempatnya dengan dua kaki sedikit merenggang.

“Sayoga!” seru seorang pengawal yang ternyata masih mengingat wajah Sayoga dengan baik. “Jika kau mau, kita bersama-sama dapat melawan dan mengalahkan orang ini!”

Sayoga sekilas menggerakkan sudut mata ke arah pengawal Menoreh, teriaknya, “Ini perang tanding, Paman! Biarlah nyawaku menjadi jawaban atas segala yang terjadi di tempat ini!”

Ki Sarjuma menyeringai lebar dalam kebingungan yag tengah mendera hatinya. Ia dapat menangkap sesuatu yang berbeda dari kata-kata yang diteriakkan Sayoga. Ia mulai memerhitungkan akibat yang mungkin terjadi karena perubahan tata gerak Sayoga yang tiba-tiba menjadi dahsyat. Walau demikian ia masih mempunyai pertimbangan tersendiri. “Satu kemungkinan yang lain adalah anak ini telah putus asa dan benar-benar berniat mati!” katanya dalam hati. “Boleh jadi, ia telah bertekad untuk mati bersama denganku!”

Lawan Sayoga ini belum dapat membuat perkiraan tentang asal kekuatan Sayoga yang sebenarnya muncul ketika Serat Waja dikerahkan sepenuh tenaga yang tersisa. Sayoga beloum mencapai tingkat terbaik pengembangan ilmu Serat Waja tetapi sifat ilmu yang lunak dan lentur telah mengaburkan pengamatan Ki Sarjuma.

 

No More Posts Available.

No more pages to load.