Matahari menggatalkan kulit ketika mereka bertiga berjalan melintasi pintu gerbang. Penampilan Adipati Hadiwjaya yang tidak menunjukkan kedudukannya sebagai penguasa Pajang memang tidak dapat dikenali penjaga gerbang. Dengan menggulung rambut, mengikatnya ke belakang serta pakaian lusuh menjadi penyamaran yang nyaris sempurna baginya, sedangkan rupa Adipati Hadiwijaya banyak dikenali oleh para prajurit Demak. Melalui sikap yang sama sekali tidak mencolok, Adipati Hadiwijaya pun tiba di depan gerbang istana Raden Trenggana.
Seorang penjaga gerbang menghentikan langkah Adipati Hadiwijaya dengan tombak bersilang di depan dadanya, ” Berhenti! Sebaiknya Ki Sanak berganti pakaian yang lebih pantas.”
Adipati Hadiwjaya yang menyembunyikan wajah dengan menunduk kemudian menjawab, ”Katakan pada pemimpinmu, aku adalah orang Pajang yang tak perlu berganti apapun.”
“Bersikaplah dengan baik dan terhormat!” perintah prajurit dengan tegas. Sementara dua pengawal Demak yang berdiri di belakang Adipati Hadiwijaya memalingkan muka, mereka tak ingin tertawa melihat sikap Adipati Hadiwijaya yang agaknya ingin bermain-main. Tawa mereka nyaris meledak melihat sikap rekannya yang berdiri tegak di depan pemimpin Pajang.
“Apakah kehormatan itu dinilai berdasarkan yang ia kenakan, Tuan?” bertanya Adipati Hadiwijaya.
Pengawal itu kemudian merundukkan tombak dan bersuit memanggil kawannya yang sedang mengawasi dari regol istana. Suara prajurit itu meninggi, ”Kami dilarang untuk bersikap keras kepadamu, Ki Sanak. Turuti perintah kami atau jangan kembali!”
Merasa tak ingin membuang waktu lebih lama, Adipati Hadiwijaya lantas mengangkat wajah dan berkata, ”Bukankah kalian pernah bertugas di Pajang?”
Prajurit itu menjadi terkejut dan cepat menghaturkan hormat. Dengan nada gugup, ia berkata, ”Saya mohon ampun, Tuan Adipati. Anda benar-benar sempurna dalam penyamaran ini.”
Adipati Hadiwijaya menepuk pundaknya kemudian berkata, ”Bangunlah! Beritahukan bahwa aku telah datang.”
“Baik, Tuan Adipati!” penjaga itu bergegas memberitahu pemimpinnya bahwa Adipati Pajang telah berada di depan gerbang. Sepeninggalnya, keadaan di gardu jaga pun kemudian ramai oleh tawa pengawal Demak yang mengiringi perjalanan Adipati Hadiwijaya. Betapa mereka menceritakan perasaanya saat Adipati Hadiwijaya mengambil sikap yang berbeda. Oleh karena itu, perasaan mereka terhadap menantu Raden Trenggana itu semakin tumbuh dan kuat menancap dalam hati mereka. Kedekatan dan kemampuan Adipati Hadiwijaya dalam merawat hubungan menggores kesan yang menggurat tajam dinding jantung sebagian besar prajurit Demak.
Selang beberapa lama, di sebuah ruangan yang tidak terjangkau oleh pendengaran dan pandangan mata, Adipati Hadiwijaya telah duduk berhadapan dengan Raden Trenggana. Mereka berhadapan dalam jarak cukup dekat. Keagungan dan wibawa Raden Trenggana jelas memancar begitu kuat. bahkan Adipati Hadiwijaya dapat merasakan getar hebat dari wibawa penguasa Demak itu mampu menembus hatinya. Ditambah lagi pakaian khusus yang dikenakan oleh Raden Trenggana menjadikan orang yang melihatnya menjadi segan mendekat. Kain hitam bersulam benang emas dan perak menghias bagian tepi pakaian Raden Trenggana.
“Aku mendapat laporan bahwa kau sempat terperangkap dalam kebakaran di hutan. Dan karena kau seperti tidak mengalami luka-luka, maka aku tidak bertanya tentang keadaanmu,” berkata Sultan Trenggana setelah menanyakan kabar keluarganya di Pajang.
Adipati Hadiwjaya mengangguk lalu ucapnya, “Laporan itu tidak mengurangi sedikitpun dari apa yang telah terjadi, Ayah.”
“Bagaimana kebakaran itu bisa terjadi? Sementara paman Parikesit dan kakang Getas Pendawa turut serta bersamamu, apakah itu berarti ada suatu pertarungan hebat yang terjadi pada kalian?” selidik Sultan Trenggana.
Sambil menarik napas panjang, Adipati Hadiwijaya menduga bahwa Ki Tumenggung Suradilaga memberi laporan lengkap tentang keadaan mereka. Lalu katanya, ”Laporan sudah menjelaskan sebab kebakaran, Ayah.”
“Angger Mas Karebet, kau tidak dapat mengelabuiku dengan menutupi sebab kebakaran. Kebakaran itu hanya dapat terjadi bila seseorang telah menggunakan tingkat tertinggi kepandaiannya. Beberapa prajurit peronda mengatakan bahwa mereka tidak menjumpai api yang menyala setelah senja. Jadi artinya api itu baru ada ketika malam telah sepenuhnya turun di dalam hutan,” kata Raden Trenggana. Sebenarnyalah para peronda melihat rekannya berkuda kencang memutari hutan. Para penunggang kuda ini adalah pengawal dari Pajang dan mereka menceritakan kejadian yang menimpa Adipati Hadiwjaya pada peronda dari Demak. Akhirnya kabar berita itu memasuki istana Demak dengan cara berantai. Namun Raden Trenggana tidak mengirim bantuan setelah mendengar bahwa Ki Tumenggung Suradilaga telah menjemput menantunya beserta empat orang prajurit khusus.