SuaraKawan.com
Bab 8 Gerbang Demak

Gerbang Demak 7

Tercekat hati Adipati Hadiwjaya mendengar ucapan yang terdengar seperti gelegar halilintar baginya. Sepanjang waktu dalam rentang beberapa musim yang bergiliran datang, sejumlah petugas sandi telah ia kerahkan untuk mencari kebenaran dari keterangan-keterangan dari bawahannya, tetapi tidak seorang pun dari petugas sandinya mampu menembus dinding tebal onrag-orang yang dikabarkan menentang. Lalu pada malam itu ia mendengar pengakuan yang dapat membuat jantungnya seolah berhenti berdetak. “Ternyata benar adanya berita yang aku dengar dari mereka. Dan memang sangat sulit menyelidiki segalanya,” pikir Adipati Hadiwijaya.

“Lalu aku menempuh perjalanan menuju Pajang dengan sepengetahuan paman Patih Matahun. Sengaja saya tidak datang pada Anda, Kakang. Saya berpikir bahwa memang lebih baik ada orang lain yang melaksanakan keinginan yang tak pernah aku ucapkan selain pada eyang berdua. Dan saya sendiri telah menyiapkan rencana bila akhirnya peralihan itu menunjukkan jari pada saya.”

“Kakang, kakang, kakang,” gumam Adipati Hadiwijaya.

Adipati Arya Penangsang tersenyum mendengarnya lalu ucapnya, ”Saya sengaja berbuat seperti itu dengan memanggil Anda dengan sebutan kakang. Dengan panggilan itu, saya menaruh sebuah harapan bahwa saya tidak akan melangkah di atas kepala seorang pemimpin Pajang. Selamanya terjaga hingga Jaka Wening tuntas menyelesaikan masanya.”

“Dengan memanggil saya sebagai kakang, Kakang Penangsang lebih dekat dengan persinggungan pada Raden Trenggana. Saya mempunyai kekkhawatiran sangat dalam bilamana hal itu terjadi. Sulit membayangkan andaikata benar Anda mengambil simpang yang tidak searah dengan mertua saya,” kata Adipati Hadiwijaya dan dijawab dengan anggukkan kepala dalam-dalam dari pemimpin Jipang Panolan.

“Dan dengan panggilan itu pula, kau berusaha menahan tanganmu agar tak lekas membunuhku.”

Kali ini Adipati Arya Penangsang tidak menanggapinya. Lalu ia berkata, ”Sebagai penghormatan pada mendiang ayahanda, aku menolak perintah paman Trenggana untuk mengirim bantuan pasukan. Mungkin Kakang telah mendengar perbedaan keras yang terjadi di antara kami berdua. Paman Patih Matahun memintaku untuk mengabulkan perintah beliau namun aku berkeras menolaknya.”

“Pembangkangan yang sebenarnya tak elok dilakukan oleh bawahan,” desah Adipati Hadiwijaya namun dalam hatinya ia sendiri tak ingin mempersoalkan penolakan itu, apalagi di hadapan Arya Penangsang secara langsung. Sedangkan ia paham bahwa Arya Penangsang sangat sulit ditundukkan dalam hal perbedaan siasat maupun pendapat. Terlebih wilayah barat telah mengirimkan ribuan orang untuk membantu Raden Trenggana menuntaskan rencananya sehingga ia tidak menganggap penolakan itu penting untuk dipersoalkan.

“Tak pernah ada yang elok semenjak terjadi banjir darah di padang Bubrah,” tegas Adipati Arya Penangsang. ”Sudahlah, kita terlalu lama terlibat dalam omong kosong ini. Malam telah lingsir dan Demak akan berada di depan kita.”

Tiba-tiba Adipati Arya Penangsang menarik napas yang sangat pendek lalu tubuhnya seperti menghilang dari tatap mata Adipati Hadiwijaya. Dalam waktu itu Adipati Hadiwijaya merambat pelan mengerahkan segenap kecepatannya. Namun ketika ia merasakan bahwa tubuhnya seperti tidak pernah mengalami luka-luka, Adipati Hadiwjaya lantas mengejar orang yang menyembuhkannya itu.

Jalan utama yang menghubungkan Pajang dengan Demak telah berada di bawah tapak kaki mereka. Tidak ada orang yang melintas di malam yang baru saja menggelincir menuju fajar. Tanah telah dipadatkan dan terpasang batu-batu yang disusun sehingga roda pedati dapat berputar sempurna menyusur jalur utama antara Pajang dan Demak.

Demikianlah kemudian dua orang berilmu sangat tinggi itu berpacu sedemikian cepat. Orang yang melihatnya pasti terkejut karena seolah ada dua siluman yang terbang dan berkejaran.

Sekali-kali Adipati Arya Penangsang keluar dari jalan dan menyusur aliran air yang yang tak begitu lebar. Ia berlari dengan kaki seolah tak menyentuh air. Kadang ia menggunakan dahan yang melintang dan berjumpalitan lalu meluncur seperti anak panah. Perlombaan pun terjadi. Mereka berdua saling mendahului, dalam hati mereka masing-masing merasakan bahwa perlombaan itu seperti mengenangkan mereka pada masa kecil. Hingga akhirnya mereka nyaris tak sadar bahwa mereka telah melewati dua pengawal yang telah berangkat terlebih dahulu.

“Kanjeng Adipati!” seru dua pengawal itu bersamaan. Dua adipati itu kemudian menghentikan perlombaan, berbalik arah lalu berjalan di belakang dua pengawal dari Demak. Tiba-tiba Adipati Arya Penangsang menghentikan langkahnya kemudian berpaling pada Adipati Hadiwijaya.

“Aku tidak dapat menyertai Kakang lebih jauh dari selontaran anak panah, aku akan melanjutkan perjalanan menuju Jipang. Paman Patih telah terlalu lama aku tinggalkan sendirian,” kata Adipati Arya Penangsang. Adipati Hadiwijaya mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti alasan pemimpin Jipang yang memilih untuk meneruskan memasuki Demak. Adipati Arya Penangsang seperti tidak peduli padanya lalu memanggil dua pengawal. Katanya , Kita akan segera berpisah. Dan kalian sudah mengerti.”

“Kami mendengar!” sahut keduanya tegas. Lantas mereka berempat berjalan tanpa percakapan. Seperti yang diucapkan Adipati Penangsang, maka ia pun memisahkan diri tatkala mereka telah bergeser tempat yang ia katakan sebelumnya.

“Kita berpisah di sini, Kakang,” kata Adipati Penangsang lalu memberi hormat pada Adipati Pajang. Langkah tegap Adipati Penangsang menyongsong matahari terbit. Ia berjalan sendiri kembali ke Jipang. Demikianlah kemudian Adipati Hadiwijaya disertai dua orang pengawal berjalan lurus mendekati gerbang kotaraja Demak.

Related posts

Bulan Telanjang 21

Redaksi Surabaya

Lembah Merbabu 33

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 55

Ki Banjar Asman