Gerbang Demak 5

oleh

” Aku akan menunggu dan berdiam diri. Mungkin itulah yang terbaik,” bisik Adipati Hadiwijaya dalam hati.

Alis Adipati Arya Penangsang tertaut saat berpikir mengenai pertanyaan ayah dari Pangeran Benawa.   Napasnya keluar dan masuk dalam aliran panjang. Suasana bagian luar begitu hening. Sawah-sawah yang memanjang lurus dan rapi masih terlihat hijau. Terlihat beberapa orang sedang duduk di bawah gubuk kecil yang banyak tersebar di persawahan. Agaknya mereka pun mengambil masa untuk istirahat. Serombongan burung kecil terbang melintas di atas persawahan dan sesekali terdengar teriak orang menghalau kawanan burung yang akan turun di atas sehamparan sawah.

Belum lagi terdengar percakapan di antara dua pemimpin yang masih berusia kurang dari separuh abad itu. Mereka sama-sama merasa dalam keadaan yang sulit untuk memulai kembali perbincangan. Dalam waktu itu, sebenarnya Adipati Arya Penangsang ingin mengungkap alasan sesungguhnya namun ia masih menimbang kemungkinan yang dapat saja terjadi. Sementara Adipati Hadiwijaya sendiri sedikit merasa sungkan bila terus mendesak orang kesayangan Ki Patih Matahun yang menurutnya masih menutup diri. Perlahan Adipati Arya Penangsang mengeluarkan seruling dari balik pakaiannya. Ia berpaling sejenak pada Adipati Hadiwijaya yang menjawabnya dengan anggukkan kepala. Tak lama setelah itu, udara yang keluar dari bibir Adipati Penangsang mulai menggetarkan angkasa.

Alunan yang keluar dari seruling itu dirasa oleh Adipati Hadiwijaya seperti ia sedang berdiri menghadap samudera yang tak bertepi. Ia mengerti getar alunan itu adalah keadaan batin Adipati Arya Penangsang yang sunyi namun begitu dalam hingga ia sendiri tak mampu mengira kedalaman hati pemimpin Jipang Panolan itu. Terkadang alunan lagu terdengar tinggi seperti menyiratkan keinginan Adipati Jipang itu menanjak langit dan mengadukan semuanya pada Pencipta. Kadang begitu rendah seolah menggambarkan suasana batin yang mampu menghempas semua kegalauan dan merubahnya seperti kedamaian di lereng Merbabu pada saat fajar merekah.

”Ah!” Adipati Hadiwijaya hingga tak sadar mengeluarkan suara tertahan.

Mendadak Adipati Arya Penangsang mengubah irama seruling menjadi ceria. Udara yang ditiup keluar dari sela bibirnya beralih menjadi kidung yang lincah. Adipati Arya Penangsang seperti ingin menyatakan perasaan ketika mendengar kelahiran Pangeran Benawa. Raut wajahnya terlihat cerah sekalipun ia memainkan seruling dengan mata terpejam. Sementara itu pemimpin Pajang, yang duduk di sampingnya. berdecak kagum betapa ia dapat merasakan sekitarnya seperti meliuk dan menari mengikuti detak perasaan Adipati Arya Penangsang.

Lalu tiba-tiba keadaan menjadi berubah. Adipati Arya Penangsang mengalirkan getar tenaga inti melalui udara yang dihembuskan dari rongga dada menuju lubang seruling. Perubahan itu dirasakan oleh Adipati Hadiwijaya meskipun ia tidak merasa dalam bahaya namun ia meningkatkan daya tahan yang disalurkan menuju bagian dalam telinganya. Siul seruling memang tidak menyakiti Adipati Pajang namun ia merasakan ada aliran tenaga yang ia kenal berasal dari seruling itu sedang merambat sepanjang tulang belakangnya. Sealiran angin yang sejuk menyusup masuk melalui bagian luar kulitnya. Angin sejuk itu perlahan merayap di dalam pembuluh darah dan menyentuh urat saraf pemimpin Pajang. Oleh karena itu, Adipati Hadiwijaya pun kemudian menyesuaikan diri dengan pengerahan tenaga yang dilakukan Adipati Arya Penangsang.

Selang beberapa lama kemudian, getar tenaga itu agaknya menuju pada sebuah batu yang berukuran seekor kerbau dewasa. Telinga Adipati Pajang itu dapat menangkap bunyi berderak ketika batu hitam itu mulai bergetar dan seperti ada kekuatan tak terlihat sedang mengangkat batu besar itu lalu memutarnya. Ia melirik sekilas pada Arya Penangsang yang masih terlihat tenang. Dan tiba-tiba saja batu hitam itu meledak dengan diiringi dentum yang menggelegar. Serpihan batu beterbangan ke segala arah, burung-burung pun terbang tak tentu arah karena terkejut dengan ledakan yang terjadi secara tiba-tiba. Tenaga inti Arya Penangsang mampu menggiring keluar hawa tenaga yang tersisa dan terjebak dalam tubuh Adipati Hadiwijaya.

“Anda mengejutkan,” kata Adipati Hadiwijaya sambil menggelengkan kepala. Lantas ia kembali memejamkan dua matanya dan membawa dirinya kembali ke arah penyembuhan.

“Kakang memang luar biasa,” puji Adipati Arya Penangsang. “Benturan tenaga yang luar biasa, bila Kakang tidak berada pada lapisan seperti sekarang ini, apakah kita masih dapat melanjutkan perjalanan meski sekadar mencapai gerbang kota Demak?”

Adipati Hadiwijaya tersenyum, bernapas panjang dan masih dengan mata terpejam, katanya, ”Saya tidak mengira Kakang telah menguasai ilmu pengobatan yang sedemikan tinggi.”

Adipati Arya Penangsang hanya menatap lurus wajah Adipati Hadiwijaya sambil menepuk bahu ayah Pangeran Benawa itu.

Tak lama kemudian dua orang prajurit Demak telah kembali ke tempat mereka menunggu dengan hasil buruan yang cukup untuk enam orang. Keduanya menghadap dengan sikap merendahkan tubuh, lalu salah seorang dari mereka berkata, “Kami mendengar ledakan. Namun kami begitu tenang. Kami berpikir baik bahwa Panjenengan Adipati sekalian tengah bertukar wawasan. Mohon maafkan kami yang tidak segera datang.”

No More Posts Available.

No more pages to load.