”Ia seorang anak kecil.”
”Itu bukan alasan yang dapat diterima.”
”Atau Kakang Penangsang mempunyai alasan yang masih belum diungkapkan.” Lantas Adipati Hadiwijaya diam sejenak. Dugaan yang sebelumnya telah mengendap dalam benaknya mulai menyentuh perasaannya.
Adipati Arya Penangsang tajam melirik menantu Raden Trenggana. Lalu ia berkata, ”Katakan jika Kakang telah mempunyai perkiraan tentang itu.”
” Tidak mudah bagi seseorang untuk dapat menerima kenyataan yang pahit. Peristiwa yang membuat hati serasa tersayat setiap kali teringat,” kata Adipati Hadiwijaya sambil menahan gemuruh dalam hatinya.
Dengan kepala manggut-manggut, Adipati Jipang menyahut lirih,” Kejadian yang akan disesali oleh banyak orang di kemudian hari. Persoalan yang sebenarnya dapat diselesaikan tanpa perlu ada darah yang mengalir sia-sia. Dan perencanaan itu mengabaikan kehadiran seorang anak. Para perencana itu tidak peduli jika kemudian anak itu tidak mengenali ayah kandungnya.”
”Apakah berarti maksud ucapan Kakang Penangsang hendak meletakkan musibah itu sebagai kesalahan pemimpin Demak?”
”Kakang akan menempatkan saya dalam keadaan sulit bila kemudian saya mempunyai banyak ruang untuk menyalahkan segala sesuatu atau menyalahkan setiap orang. Memandang musibah atau ketika mengenang kembali latar belakang kematian ayah, saya hanya merasa seolah mengisi hari demi hari dengan nada sedih. Menangis sepanjang waktu. Sedangkan bencana terbesar yang menjadi akibat adalah saya belum dikunjungi oleh sanak kerabat. Apakah Kakang pernah mendengar atau mengetahui ususan Demak yang datang ke Jipang Panolan untuk sekadar, ya, sebagaimana lumrah orang-orang berkerabat. Setidaknya seperti itu,” Adipati Jipang Panolan itu tajam berkata-kata dengan rendah. Tidak ada ledakan perasaan yang dapat ditangkap dari setiap perkataannya. Wajah bersih Arya Penangsang masih terlihat begitu tenang. Sebenarnyalah Arya Penangsang dapat menginjakkan kaki di tanah Jipang setelah Ki Patih Matahun membawanya pulang dari timur. Arya Penangsang menyadap banyak wawasan dari Ki Bogorami, nama yang tidak banyak dikenal oleh orang-orang. Tetapi apabila merunut kembali ke masa belakang hari, tentu Ki Bogorami bukan sosok yang dapat diminggirkan.
Ki Bogorami meletakkan landasan-landasan yang luwes dan memiliki keragaman ilmu tingkat tinggi. Ia menggembleng Arya Penangsang dengan unsur ilmu yang kebanyakan berbeda dengan jalur ilmu senapati dan tumenggung Demak lainnya. Walau terkesan sulit tetapi Arya Penangsang mampu membuat perpaduan yang serasi untuk penguasaan olah kanuragannya. Kehidupan keras di dataran tinggi yang dekat dengan tanah pesisir menjadikan Arya Penangsang mempunyai kemampuan nyaris lengkap. Ki Bogoromai melatih kaki kecil Arya Penangsang berlari di tepi pantai. Tak jarang Ki Bogorami membawa Arya Penangsang berlatih di lereng Penanggungan. Oleh karena itu kemampuan tinggi Arya Penangsang telah digapainya pada usia muda. Ki Patih Matahun pun melengkapi Arya Penangsang dengan mengirimnya berguru di padepokan Ki Kebo Kenanga. Setelah mengamati keponakannya yang tak dilihatnya selama bertahun-tahun, lantas Ki Kebo Kenanga pun mengajarkan padanya ilmu yang sulit ditemukan tanding. Jendra Bhirawa. Semasa ia berada dalam bimbingan Ki Buyut, lahirlah kemudian Pangeran Benawa. Kegembiraan yang tumbuh berbunga dalam hatinya meski terkadang rasa haru sesekali mendatanginya.
Keberadaan Pangeran Parikesit, kehadiran Jaka Wening dan sikap Ki Kebo Kenanga membantu Arya Penangsang muda melewati masa yang sangat sulit. Kematangan jalan pikiran Arya Penangsang pun seperti ditunjang dengan kecakapan Ki Patih Matahun dalam mengurus wilayah Jipang yang luas.
”Siapa yang tidak mengenali Anda? Mereka mengenal Anda seperti anak mereka sendiri, Kakang Penangsang!” sahut Adipati Hadiwijaya.
”Kau merawat prasangka dan kau nyatakan itu sebelum bertanya padaku.”
”Karena kau sendiri tak pernah mengungkap isi hatimu pada kami!”
Pemimpin Jipang itu menarik napas dalam-dalam. Masih terdengar lirih ketika ia berkata, ” Sepeninggal ayah, banyak orang memasuki kehidupanku. Eyang Pangeran, Paman Kebo Kenanga dan Jaka Wening adalah orang-orang yang memberi warna yang berbeda. Tidak sekalipun mereka menampakkan perasaan buruk padaku. Tidak pula dalam benak mereka mengira aku akan menuntut singgasana Demak. Terlebih jika aku melihat tawa Jaka Wening. Melihatnya berlari, bercakap, tertawa dan menangis seolah menyadarkanku bahwa kedudukan tertinggi bukanlah tujuan akhir.”
Adipati Hadiwijaya menundukkan kepala haru. Ia sebelumnya mempunyai dugaan bahwa penguasa Jipang itu kelak akan menuntut hak. Ia tahu apabila lawan bicaranya mempunyai kemampuan lebih dari sekedar menjadi seorang adipati. Merunut ulang langkah di masa silam tentu bukanlah pekerjaan yang mudah, pikir Adipati Hadiwijaya. Tetapi ia sendiri belum mempunyai kesimpulan yang dapat ia yakini kebenarannya.