SuaraKawan.com
Bab 8 Gerbang Demak

Gerbang Demak 2

Untuk selanjutnya mereka berempat berjalan menapaki tanah yang berwarna hitam karena abu kebakaran yang sangat hebat.  Setibanya di luar hutan, Arya Penangsang bersuit sangat kencang dan tak lama kemudian terdengar derap kuda yang semakin jelas terdengar mendekati tempat mereka.

“Siapakah para penunggang kuda itu, Wayah Penangsang?” bertanya Pangeran Parikesit.

“Ki Tumenggung Suradilaga dan beberapa prajurit,” singkat Arya Penangsang menjawab.

“Bukankah ia telah meninggalkan Pajang bahkan jauh hari sebelum pekan ini tiba?” Adipati Hadiwijaya berpaling pada Arya Penangsang.

Disertai anggukkan kepala dan senyum yang mengembang pada bibirnya, Arya Penangsang menjawab, ”Aku bertemu dengannya ketika ia berkelahi melawan dua orang Pajang yang salah satunya sangat aku kenal. Kidang Tlangkas.”

Adipati Hadiwijaya berkerut dahi. Ia masih ingat Ki Sambaga dan Ku Suradilaga ditugaskannya untuk menilik perkembangan pembuatan senjata di Pedukuhan Sambisari, tetapi ia belum dapat menghubungkan perkelahian di antara dua orang berpangkat tinggi itu dengan Kidang Tlangkas. Tetapi ia segera mengabaikan rasa penasaran yang hinggap di hatinya tatkala Pangeran Parikesit tersenyum dan mengangguk padanya.

Ki Getas Pendawa yang sedari tadi berdiam diri kemudian membuka suara, ”Mereka telah hadir.” Ia mengangkat kedua tangannya lalu menyambut kedatangan Ki Tumenggung Suradilaga bersama empat orang prajurit Demak.

“Tidak banyak yang dapat saya bawa ke sini, Adipati Penangsang,” berkata Ki Tumenggung Suradilaga sambil menyerahkan tali kekang kuda pada Arya Penangsang. Adipati Jipang mengulurkan tangan dan setelah menerima kekang kuda, ia berkata, ”Eyang Parikesit, Paman Pendawa dan Ki Tumenggung. Saya telah putuskan untuk berjalan kaki menuju Demak bersama kakang Hadiwijaya. Keputusan ini bulat berasal dari kesepakatan kami berdua. Harap Eyang dan Paman dapat memahami keputusan ini.”

Pangeran Parikesit yang tidak mempunyai kecurigaan pada orang lain kemudian mengatakan, ”Keputusan itu adalah keputusan yang berani, terlebih angger Hadiwijaya baru saja lepas dari cengkeram Wedhus Gembel. Apakah kalian sudah pikirkan tentang Kiai Rontek?”

Sejenak Adipati Hadiwijaya bertukar pandang dengan pemimpin Jipang, lalu keduanya menganggukkan kepala. Ia berkata kemudian, ”Semoga tidak terjadi gangguan dalam perjalanan ini.” Mereka semua menundukkan kepala. Mengheningkan cipta dan mencoba memadukan antara harapan dan segala kemungkinan yang dapat terjadi di masa berikutnya.

Demikianlah dua adipati yang menjadi bagian dari Demak kemudian menuju pesisir  utara diiringi dua prajurit Demak, sementara Ki Tumenggung Suradilaga beserta dua prajurit lainnya bergegas mendahului untuk memberi laporan pada Raden Trenggana.

Ki Getas Pendawa yang berjalan beriring dengan Pangeran Parikesit kemudian menengok ke balik punggung dan melihat rombongan menuju Demak semakin jauh. Ia menarik napas dalam-dalam. ”Bagaimana keadaan Rambesaji dan Batara Keling, Paman?”

“Aku meninggalkan mereka di tempat kita berkelahi dengan mereka.”

Gambar bukan bagian karya. Hanya pemanis.

 

Pangeran Parikesit tidak terlihat terburu-buru untuk melihat keadaan mereka. Sambil tersenyum ia berkata, “Setidaknya untuk beberapa saat mereka akan bermalam dengan sekawanan serigala dan mungkin mereka juga akan merasa hangat.” Sejenak kemudian senyum itu menghilang dari wajah Pangeran Parikesit. Lantas ia menghentikan langkah kakinya lalu menatap lekat mata Ki Getas Pendawa sambil bertanya, ”Tidakkah kau merasa kejanggalan pada sikap wayah Penangsang?”

“Saya tidak begitu mengenalnya lebih mendalam, Paman.” Ki Getas Pendawa pun berhenti melangkah. Ia memutar bola matanya seperti sedang berusaha mengerti maksud Pangeran Parikesit.

“ Pada waktu belakangan ini, wayah Penangsang menyebut Adipati Hadiwijaya sebagai kakak. Itulah kejanggalan yang aku maksudkan,” lanjut Pangeran Parikesit. Ki Getas Pendawa manggut-manggut. Sesaat kemudian mereka kembali melangkah.

“Tentu saja sebutan kakak itu bukan tanpa sebab, karena angger Penangsang adalah orang berpikiran tajam dan tidak pernah kehabisan nalar untuk mencari jalan keluar,” tanggap Ki Getas Pendawa kemudian. Pangeran Parikesit tidak berkata-kata lagi hingga kemudian mereka tiba di tempat Rambesaji dan Batara Keling terbaring dalam belenggu ilmu Pangeran Parikesit.

“ Rupanya kawanan serigala itu tidak mempunyai selera meski mereka sebenarnya kelaparan,” kata Pangeran Parikesit.

“ Gandrik! Kau benar-benar berhati iblis, orang sial!” Batara Keling mengumpat Pangeran Parikesit habis-habisan.

Seperti tidak peduli dengan ucapan Batara Keling, Pangeran Parikesit berpaling pada Rambesaji lalu, ”Jadi benar bila Sang Hyang ternyata menyimpan banyak belas kasih padamu.” Rambesaji hanya mendengus lalu mencoba memalingkan muka.

Related posts

Jati Anom Obong 61

Ki Banjar Asman

Kabut di Tengah Malam 1

Ki Banjar Asman

Pemberontakan Senyap 7

Ki Banjar Asman