”Eyang!” ucap lembut Arya Penangsang sambil memeluk tubuh Pangeran Parikesit begitu erat. Tak lama kemudian ia berpaling pada Adipati Hadiwijaya dan Ki Getas Pendawa.
” Kakang Adipati!” seru tertahan Arya Penangsang yang kemudian bergegas mendekati Adipati Hadiwijaya. Segera Arya Penangsang dapat mengetahui keadaan parah yang menimpa menantu Raden Trenggana. ”Istirahatlah, Paman! Biarkan saya yang menjadi pamungkas penyembuhan ini!” pinta Arya Penagsang dengan tatapan mata melekat pada Ki Getas Pendawa..
Ki Getas Pandawa memandang wajah gagah Arya Penangswang, dan ia sadar bahwa bantuan Arya Penangsang akan lebih cepat memulihkan keadaan Adipati Hadiwijaya. Lantas Ki Getas Pendawa bergeser tempat sebelum memberi perkenan pada Arya Penangsang.
Sinar surya datang menerangi daerah yang telah hangus terbakar. Tebar pandang memutar hanya tampak kayu menghitam, tanah yang di atasnya penuh berserakan dahan-dahan membujur lintang. Pedih hati Pangeran Parikesit menyaksikan sandaran hidup banyak burung dan binatang lainnya tak lagi mampu memberi kelapangan bagi penghuninya.
”Sementara adalah waktu yang lama bagi hewan-hewan liar,” desah Pangeran Parikesit.
Ki Getas Pendawa menarik napas dalam-dalam lalu menyahut lirih, ”Satu kesalahan yang tentunya membawa kesusahan bagj yang lain.”
” Kau tidak bersalah, Ngger. Keputusanmu mengerahkan ilmu yang dahulu dikuasai Ki Jalak Pameling tidak dapat dijadikan sebab terjadinya kebakaran ini.” Pangeran Parikesit beralih tatap mata pada Arya Penangsang yang telah mengakhiri penyembuhan bagi Adipati Hadiwijaya.
Kemudian Pangeran Parikesit berkata lagi, ”Kiai Rontek bukan orang yang mudah menyerah. Ia dapat membakar Demak bila merasa perlu untuk memaksa Angger Trenggana.” Panjang ia menarik napas berulang kali. Kemudian katanya lagi, ”Membakar hutan ini tentu sudah diperhitungkan olehnya asalkan Adipati dapat dibunuh.”
“Alasan apakah yang menjadi sebab Kiai Rontek berhasrat kuat ingin menghabisi Angger Adipati?” gumam lirih Ki Getas Pendawa. Pangeran Parikesit mengerling padanya seraya menarik napas dalam-dalam tetapi tidak sepatah kata yang diucapkan. Lantas keduanya berpaling pada Adipati Hadiwijaya yang berjalan pelan dengan bantuan Arya Penangsang.
Adipati Hadiwijaya mengangguk ketika melihat sinar mata keraguan dari dua orang sepuh yang berdiri di hadapannya. Katanya, ”Saya akan melanjutkan perjalanan ini bersama ksatria tangguh dari Jipang Panolan.”
Pangeran Parikesit tajam menatap bergantian dua orang yang menjadi pemimpin kadipaten yang berbeda. Kemudian ia berkata, ”Itu sepenuhnya terserah pada keputusanmu, Ngger. Tapi sebaiknya kita berjalan bersama sampai keadaan memungkinkan untuk kalian berdua. Ingat! Kiai Rontek dan Lembu Jati masih menyimpan kemungkinan untuk bertahan di sekitar wilayah ini hingga Demak.”
“Lembu Jati tidak akan dapat bertempur untuk kedua kali dalam masa yang singkat,” sahut Arya Penangsang.
“Bagaimana Angger mengetahuinya?” bertanya Ki Getas Pendawa sambil mengerutkan kening.
“Saya melihat dua orang bergerak cepat dari arah yang sama dengan kedatanganku. Tentu saja saya ingin mengejar dan menanyai mereka sekedar mengetahui keadaan di bagian dalam karena mereka melangkah keluar dari bagian yang terbakar,” kata Arya Penangsang kemudian, ”lalu saya pikir lebih baik menunda keinginan itu karena aku mencemaskan keselamatan kakang Adipati Pajang. Saya yakin ada perkelahian sangat hebat di sekitar sini. Salah seorang berada di pundak temannya. Bila ada disebut nama Lembu Jati, maka seorang lain dapat dipastikan adalah Kiai Rontek.”
“ Maksudku, bagaimana Angger dapat mengenali Kiai Rontek sebagai salah satu dari dua orang itu?” masih Ki Getas Pendawa mengeluarkan pertanyaan.
“Saya pernah bertemu dengannya di rumah Ki Tumenggung Adiwangsa. Selempang kain berbenang emas seperti yang biasa dipakai oleh keluarga raja membelit rapi pada pinggang, dan saya melihat benda yang mirip itu melekat pada bagian dadanya. Mungkin Lembu Jati mengalami cedera berat karena terkulai lemas di pundak Kiai Rontek,” jawab panjang Arya Penangsang.
Pangeran Parikesit bergumam lirih mengulang ucapan Arya Penangsang, ”Ki Tumenggung Adiwangsa.”
Adipati Hadiwijaya menoleh padanya lalu, ”Eyang mengenal orang itu? Atau mungkin Eyang mengetahui alasan mereka?”
Sambil menggeleng, Pangeran Parikesit menjawab, ”Sudahlah, kita tak bisa membuang waktu lebih lama. Mengenai Ki Tumenggung Adiwangsa akan aku lakukan penyelidikan lebih lanjut. Sementara ini, kita harus mengejar waktu keberangkatan Raden Trenggana.” Permukaan wajah Pangeran Parikesit begitu tenang, sehingga tidak seorang pun dapat menduga bangsal pengalaman dan wawasannya di masa lalu.
Bagian sebelumnya : Bab 7 Wedhus Gembel