Berhitung 3

oleh

Sejumlah orang mempunyai niat untuk mengalihkan per-hatian Raden Trenggana terhadap rencananya menguasai daerah Brang Wetan. Mereka telah melakukan pengamatan terhadap kebiasaan di padepokan Ki Buyut Mimbasara, Ketekunan dan kesabaran mereka pada akhirnya membuahkan hasil. Mereka berhasil menyusup masuk ke dalam padepokan beberapa saat setelah kepergian Ki Buyut Mimbasara ke istana Pajang. Meskipun Ki Getas Pendawa menyempatkan diri untuk menjemput Ki Buyut dan melihat keadaan padepokan, tetapi para penyusup itu mampu membaur beserta cantrik-cantrik yang lain.
Seorang cantrik, yang berusia kurang lebih sebaya dengan Adipati Pajang, agaknya menyadari kehadiran orang-orang yang tidak dikenal telah berada di lingkungan padepokan. Dengan dahi berkerut, ia mengamati dengan seksama orang-orang yang sama sekali tidak terlihat canggung ketika bergaul dengan cantrik yang lain. Setelah menimbang satu atau dua kemungkinan, ia memberanikan diri untuk mendekati salah seorang dari mereka.

“Maaf, Ki Sanak,” kata cantrik itu, ”apakah aku mengenal Anda sebelum ini?”

Orang yang ia tanya tidak menampakkan rasa terkejut, bahkan mengajak cantrik itu duduk di atas sebuah batu pipih yang terletak di sudut sanggar terbuka. Katanya, ”Benar, kau memang tidak pernah melihatku sebelum ini. Tetapi aku pernah menjadi cantrik di tempat ini.” Ia tersenyum lalu mengangguk pada cantrik di depannya yang masih memandang dengan sorot mata curiga.

“Saya telah bertahun-tahun tinggal di padepokan ini, dan tidak pernah melihat Anda,” sahut cantrik itu semakin curiga.

“Orang biasa memanggilku sebagai Ki Gurasan,” kata orang asing itu seraya menyodorkan tangan pada cantrik Ki Buyut Mimbasara.

Dengan sejumlah pertanyaan dalam hatinya, cantrik itu menyambut uluran tangan Ki Gurasan sambil berkata, ”Saudara seperguruanku memanggilku Kakang Tanur.”

“Kakang Tanur,” gumam Ki Gurasan,” nama yang bagus.” Ia berpaling pada Kang Tanur lalu berkata,

”Panggilan itu se-perti menunjukkan bahwa Anda adalah orang terbaik di tempat ini.”

“Itu penilaian Anda, Ki Gurasan,” sahut Kang Tanur.

Ki Gurasan menarik napas panjang. Ketika ia menebar pandangan, matanya melihat sejumlah obor telah menyala me-nerangi halaman tengah yang luas. Sekejap kemudian ia menatap langit dan terlihat olehnya bulan yang masih berada ujung garis timur. Lalu ia berkata, ”Kakang, aku rasa memang pantas aku memanggilmu seperti itu, Kakang, karena saat ini kau adalah murid tertua dan mungkin yang terbaik. Itu adalah pendapatku tentangmu.”

“Ki Gurasan,” kata Kang Tanur kemudian, ”saya tidak ingin ada pertanyaan yang kemudian akan menimbulkan persoalan di antara kita.” Kang Tanur memandang wajah Ki Gurasan dengan sorot mata sungguh-sunguh.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]

“Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu, Kang Tanur,” Ki Gurasan mencoba untuk menyembunyikan sinar mukanya sementara dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa penyamaran mereka akan terbongkar.

“Aku adalah orang yang tidak suka berputar-putar dalam sebuah pembicaraan,” tegas Kang Tanur berkata, ”aku mempunyai kecurigaan padamu dan teman-temanmu saat pertama kali melihat kehadiran kalian di tempat ini.” Sambil beranjak berdiri, Kang Tanur berkata lagi, ”Tentu saja aku juga tidak ingin mempunyai prasangka buruk terhadap kalian.” Kang Tanur menarik napas dalam-dalam. Suaranya terdengar bergetar ketika ia melanjutkan ucapannya, ”Kau dan temanmu datang pada saat guru kami tidak berada di tempat. Dan kau juga menghindar saat kami mencoba memperkenalkan kalian pada paman guru kami. Oleh karena itu, wajar bila kemudian aku curiga dengan kedatangan kalian.”

Ki Gurasan manggut-manggut sambil memegang dagunya, katanya, ”Apakah kau akan menganggap persoalan ini telah selesai dengan pembicaraan ini?”

“Tentu tidak,” Kang Tanur menggelengkan kepala, ”Pembicaraan ini tentang penyusupan kalian dan itu adalah persoalan tersendiri.”

“Sayang sekali, Kang Tanur. Aku tidak peduli dengan kecurigaanmu,” sahut Ki Gurasan.

Kang Tanur merenung sejenak. Ia telah menghitung kawanan Ki Gurasan dan sekalipun mereka berjumlah sedikit tetapi kekuatan mereka belum dapat diraba secara mata kasar. Kemudian Kang Tanur berkata, ”Ki Gurasan, aku masih berharap pembicaraan ini tidak berakhir dalam keadaan gawat dan membahayakan semua orang yang berada di sini. Tetapi Ki Buyut telah mempersiapkan kami untuk menentukan sikap apabila sebuah perkembangan menjadi tidak terkendali.”

No More Posts Available.

No more pages to load.