“Ki Patak Ireng!” seru Ki Rangga Ramapati ketika mengenali bayangan orang yang berkelebat menerjang seorang rekannya, Ki Demang Brumbung.
“Maafkan saya, Ki Rangga!” sahut orang yang disebut namanya oleh Ki Ramapati. “Bila terpaksa, saya harus membunuhnya. Harap tidak menjadikan kematiannya sebagai sesuatu yang dapat memberatkan saya.”
“Apa yang harus aku lakukan? Ki Ramapati, benarkah engkau bersama mereka?” teriak Ki Demang Brumbung sambil menghindari serangan pertama Ki Patak Ireng. “Sepertinya memang benar yang aku perkirakan selama ini. Apakah engkau tidak ingin tahu tentang penilainku padamu, Ki Rangga?”
“Oh, betulkah yang kau katakan itu, Ki Demang?”
“Ki Patih pernah mengatakan padaku, bahwa sebaiknya aku tetap menjaga jarak dengan orang-orang berpangkat tinggi dan engkau adalah orang yang termasuk di dalamnya,” kata Ki Demang Brumbung.
Sebenarnya Ki Demang Brumbung bernama asli Ki Wetan Pamungkas. Namun semenjak menggantikan ayahnya, Ki Wetan Pamungkas — yang telah menjadi prajurit Mataram sejak masa Panembahan Hanykrawati – lebih dikenal luas sebagai pemimpin Kademangan Brumbung.
Kemudian, lanjut Ki Demang Brumbung pada Ki Ramapati, “Aku mengamati pergerakan Raden Atmandaru dari petugas sandi yang bersinggungan denganku. Aku tahu bahwa engkau akan berada di dalam incarannya. Aku tahu engkau adalah orang yang mendambakan keuntungan tanpa perlu bermuka minyak. Engkau adalah orang yang cerdik dengan menunggangi kepentingan-kepentingan atau hasrat berkuasa dari orang lain. Engkau berwawasan luas dan pandai menempatkan diri dalam banyak keadaan. Tidak terkecuali terhadap tawaran Raden Atmandaru.”
Dengan nada sopan, Ki Ramapati menjawab, “Sepertinya saya tidak perlu menjelaskan, Ki Demang. Anda mempunyai pengamatan yang lebih tajam daripada pedang.” Usai berkata, Ki Ramapati bergerak mengambil tempat untuk mengepung Ki Demang Brumbung bersama seorang lagi yang datang kemudian.
Ki Demang Brumbung mengatupkan bibir rapat-rapat. Perkembangan yang jauh dari perkiraannya. Sebagai prajurit berpangkat rangga, Ki Demang Brumbung telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Berkelahi melawan tiga pengeroyok sudah pasti akan menutup jalan baginya untuk menyelamatkan diri. Ki Rangga Ramapati adalah lawan yang tidak dapat diabaikan. Sebagai rangga, tentu kepandaian Ki Ramapati berada di atas rata-rata. “Bukan tidak mungkin, ia mempunyai kelebihan yang tidak aku ketahui,” ucap Ki Demang Brumbung dalam hati.
Agaknya lawan Gajah Mada adalah orang yang mempunyai pengalaman cukup sehingga ia menggeser setapak ke samping, menyambut Gajah Mada dengan sabetan ujung tombak pendeknya. Bab 10 - Malam Penumpasan
Dalam waktu kurang dari sekejap, perkelahian telah meningkat.
Tidak seorang pun yang terlihat gelisah. Empat orang itu semuanya bersikap sangat tenang ketika menyusun tata gerak dan mengembangkan berdasarkan jalur perguruan masing-masing. Terlebih sikap tiga pengeroyok Ki Demang Brumbung yang jelas berkelahi dengan cara yang cermat. Mereka tidak gegabah untuk bergegas menghabisi orang yang setia pada Ki Patih Mandaraka. Sejauh itu, perkelahian masih tampak seimbang.
Hingga seorang dari pengeroyok meningkatkan serangan dengan kekuatan ilmu yang selapis lebih tinggi. Perubahan itu cukup mengganggu Ki Ramapati yang ingin menangkap Ki Demang Brumbung hidup-hidup. Kata Ki Ramapati, “Ki Krembung Wantah, aku menginginkan orang ini tetap hidup.”
“Untuk apa? Ia akan menjadi penghalang di kemudian hari!” sahut Ki Krembung Wantah. Bahkan orang dengan kemampuan tinggi ini menyerang Ki Demang Brumbung dengan terjangan yang sangat keras dan semakin cepat. Ki Patak Ireng pun mengikuti peningkatan yang dilakukan kawannya. Maka dalam sekejap, Ki Demang Brumbung segera terdesak sangat hebat.
Karena dua rekannya terlihat sulit untuk dikendalikan, Ki Ramapati menerjang lebih dahsyat. Ia tidak ingin dua temannya dapat mendahuluinya lalu menghabisi Ki Demang Brumbung. Dalam pikiran Ki Ramapati, Ki Demang Brumbung mempunyai harga tinggi bila tetap hidup. Ia dapat digunakan untuk mempengaruhi orang-orang Kademangan Brumbung. Maka dengan begitu, Mataram tidak terlalu banyak menciptakan musuh dalam waktu yang berdekatan. Pertimbangan-pertimbangan seperti itulah yang mendorongnya untuk memutar sepasang tangannya, mengayun lalu menggapai bagian-bagian tubuh yang berbahaya namun tidak mematikan.
Tiga serangan mengalir sedemikian cepat, menghujani Ki Demang Brumbung dari segala penjuru. Lalu, bagian paha Ki Demang Brumbung dapat digapai oleh cakar tajam Ki Patak Ireng! Jari-jari Ki Patak Ireng yang kaku dan keras mampu menjebol pertahanan tangguh Ki Demang Brumbung. Sekejap kemudian, terjangan Ki Krembung Wantah mendarat pada bagian dada perwira prajurit yang seusia dengan Untara itu.
Ki Demang Brumbung terdorong dan jatuh. Namun ia sigap, lalu memutar tubuh dan bangkit kembali dengan sikap rendah. Seolah tidak merasakan nyeri dan sesak, Ki Demang Brumbung kembali menerjang tiga pengeroyoknya dengan sengit.
Perkelahian yang sangat seru itu kemudian dapat dilihat oleh Kiai Bagaswara dan dua teman perjalanannya, Sukra serta Ki Plaosan. Mereka sedang menyisir wilayah untuk mencari kemungkinan jalan yang akan dilalui Ki Patih Mandaraka beserta pengiringnya. Dalam waktu itu, Ki Plaosan tertegun dan tidak berkata-kata ketika mengenali dua orang yang sedang berjibaku keras. Pikirnya, ia harus berhati-hati mengambil tindakan dan menentukan sikap. Bahwa seorang prajurit Kepatihan sedang dikepung dan dikeroyok oleh tiga orang dan salah satunya adalah perwira Mataram.
“Apakah Ki Plaosan mengenali orang-orang yang tengah bertempur itu?” tanya Kiai Bagaswara setelah mereka mampu mencapai tempat yang lebih dekat untuk mengamati.
“Bila tidak ada kesalahan pada dua mata saya, dua orang dari mereka adalah pemimpin prajurit yang bertugas di Kepatihan,” jawab Ki Plaosan sambil memicingkan mata. “Dan, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?”
Sukra memalingkan wajah, menatap lurus Ki Plaosan dengan sinar mata bertanya. “Maksud Ki Plaosan, apakah dua prajurit Kepatihan itu saling berhadapan dan bertarung satu sama lain?”
“Benar. Itulah yang terjadi di hadapan kita,” jawab singkat Ki Plaosan.
“Sebaiknya Ki Plaosan menampakkan diri, mungkin kita bisa melerai mereka dan mencari tahu akar persoalan. Meski begitu, saya mempunyai pikiran buruk mengenai pertarungan itu,” kata Kiai Bagaswara.
Belum sepenuhnya bibir Kiai Bagaswara mengungkap pikirannya, Ki Plaosan telah melesat ke bagian tengah perkelahian.
“Hentikan!” bentak Ki Plaosan sambil menyerang empat orang — tepatnya menghalau mereka.
Ki Ramapati terperanjat melihat kehadiran Ki Plaosan di dalam perkelahian. Meski berat hati karena pasti akan membuka kedoknya, Ki Ramapati segera menenangkan diri. Lalu katanya, “Aku kira Anda datang untuk menolong kami dari segala tuduhan yang dilontarkan Ki Demang Brumbung.”
Kalimat yang diucapkan Ki Ramapati seolah menjadi pemicu api yang berada di dalam dada Ki Demang Brumbung. Seketika Ki Demang Brumbung membentak, “Apakah engkau akan memutar balik kenyataan, Ki Rangga? Bukankah temanmu itu adalah dua pesuruh Raden Atmandaru? Seperti inilah ternyata sejatinya dirimu yang selalu berlindung di balik tata krama dan paugeran prajurit. Setan!”