SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 2

Aku bukan anak perempuan biasa. Kalimat itu sering diucapkan ibu setiap kali bulan masih terlihat seperti tandan pisang. Aku belum dapat mengerti maksud ucapan itu hingga usiaku mencapai lingkaran kembar.

Suatu ketika aku menanyakan artinya pada Mpu Pali. Lelaki yang telah mengayun langkah seiring dengan terbenamnya matahari kemudian memberi jawaban. Jawaban yang tidak dapat aku pahami. Beliau mengatakan, bahwa itu adalah maksud ibu agar aku berkembang pada jalan yang telah disiapkannya. Hanya itu.

Hari ini usiaku telah lebih tiga tahun semenjak aku melewati angka kembar. Di awal pagi, Mpu Pali berpesan agar aku tidak bermain terlalu jauh dari rumah. Meskipun maksud hati ingin menyisir pematang sawah hingga mencapai seonggok tanah yang serupa bukit, aku pikir lebih baik menuruti beliau. Tidak ada salahnya, pikirku begitu.

Hari ini adalah tahun ketiga dari waktu pelantikan ayahku menjadi penguasa Kadatuan Mataram. Ia yang bernama Rakai Panangkaran jarang mengunjungiku, tetapi aku tahu beliau adalah ayah yang baik hati. Sekalipun terhitung jarang mengajakku bicara, tetapi sorot matanya adalah bahasa yang mudah dimengerti. Hanya melalui pandang mata, aku dapat memahami kehendak dan segala sesuatu yang tidak beliau inginkan.

Hari ini adalah waktu berendam bersama-sama dengan banyak orang di sungai. Seperti yang dikatakan oleh kakek, bahwa karunia terlimpah ketika mandi atau berendam bersama-sama pada waktu bulan bersinar penuh pada bulan ketujuh setiap tahun genap.

Hari ini adalah hari ketika Mpu Pali mengulang perkataan ibu. Aku bukan perempuan biasa. Kali ini aku mengerti, bahwa, sebagai putri Rakai Panangkaran telah melekat kehormatan tinggi. Kehormatan yang melebihi anak gadis tercantik di Kalingan.

Hari ini perlakuan istimewa aku dapatkan ketika kakek memerintahkanku menjadi perempuan pertama yang turun ke sungai. Aku berhak memilih tempat untuk berendam.

“Memilih tempat adalah karunia untukmu sebagai keturunan Rakai Pangkaran,” kata kakek menjelang siang.

“Kelebihan apakah dengan memilih tempat berendam?”

“Puja mantra yang kau baca akan mendapat perhatian penuh dari Yang Tak terbantahkan.”

“Bukankah Yang Tak Terbantahkan mempunyai sifat welas?”

“Tetapi selalu ada yang dapat merebut hati Yang Tak Terbantahkan.”

Aku merenung, kemudian aku katakan pada kakek, “Apakah perebut hati itu selalu anak seorang ratu?”

“Tidak. Setiap orang mampu melakukannya. Tak hanya itu, kasih Yang Tak Terbantah bahkan mencakup semua benda yang ada di wanua ini. Namun untuk malam ini, engkau adalah seseorang yang diistimewakan. Engkau adalah perempuan yang mempunyai tanda khusus ketika dilahirkan.”

Aku perhatikan wajah, tubuh, kaki dan tangan. Rambut dan kuku. Paha dan payudara. Semuanya sama persis dengan yang ada pada perempuan lain. Tak pula ada warna yang berbeda pada kulitku.

Namaku Dyah Murti Hansa Gurunwangi dan aku bertanya pada kakek, “Seperti apakah tanda khusus itu?”

“Tidak ada orang yang berhak menjawab, termasuk aku. Walaupun engkau bertanya pada ayahmu, Rakai Pangkaran akan memilih diam.”

Aku terbiasa dengan kejadian yang tidak terduga, maka dari itu, ucapan kakek adalah angin yang berlalu.

Aku tidak membuat persiapan sebagaimana wanita-wanita lain di Kalingan yang terlihat sibuk dengan sesaji-sesaji yang beragam.

Makanan dan minuman.

Bunga dan kayu wangi.

Kain dan hasil bumi.

Batu pahat dan kayu ukir.

Delapan rupa segera diletakkan di bawah pohon besar, di atas batu pipih yang besar, dan sebagian dilarungkan ke sungai setelah dilekati hiasan. Mereka bersuka cita menyambut perayaan bulan penuh bulan ketujuh setiap tahun genap.

Senja telah berlalu meninggalkan Kalingan. Alat musik berbentuk bulat telah ditabuh. Seluruh penghuni Kalingan telah menyalakan obor-obor kecil pada tepi jalan di depan rumah masing-masing.

Malam itu segala gegap gempita membuncah di dalam dada orang-orang Kalingan. Mereka telah mengingat mantra, memenuhi hati dengan keinginan, mengisi benak dengan rancang bangun perjalanan.

Aku adalah perempuan yang lahir di tanah Kalingan.

Kakekku bernama Han Rudhapaksa.

Sedangkan aku adalah Dyah Murti, dua kata yang sering digunakan teman-temanku ketika mereka ingin bicara denganku.

Related posts

Lembah Merbabu 13

Ki Banjar Asman

Pertempuran Hari Kedua – 15

Ki Banjar Asman

Puisi : Catatan Senja

Redaksi Surabaya