SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 18

Tidak ada kejadian pada waktu malam ketika kami merenggangkan segala persendian. Kejadian yang aku temui selagi matahari masih mengapung masih kuat mencengkeram pikiranku. Aku ingin menepis bayangan tentang kekuatan yang mendekapku semasa senja, tetapi seperti sia-sia. Justru semakin banyak tumbuh prasangka yang meneguhkan hatiku : aku bukan perempuan biasa.

Ya, ungkapan yang telah akrab dengan pendengaranku seolah datang untuk menyegarkan ingatan yang memudar.

Malam yang begitu berat, aku merasa begitu, untuk dilalui dengan mata terpejam. Sesekali aku tertidur, hanya sekejap, lalu terjaga. Potongan-potongan gambar ketika aku melayang, jungkir balik dan menendang tersusun acak ketika melintasi kelopak mataku. Aku ingin terbujur kaku lalu membeku.

Aku masih tenggelam dalam aneka bayangan dan gambar-gambar yang tidak mudah dipahami ketika riuh suara pengawal ibu mulai memenuhi udara.

“Begitu indah!” aku berkata untuk pertama kali saat menginjakkan kaki pada tanah lapang. Aku berpaling, melihat lingkaran besar kemerahan, menyaksikan kilau mutiara pada pucuk embun. Aku menaruh harapan bahwa semua yang ada di dalam hutan dapat merasakan kegembiraan seperti yang aku alami. “Mungkinkah saat-saat seperti ini selalu menebarkan keriangan?” Pertanyaan yang tak perlu jawaban terlontar dari hatiku.

Lis Prabandari mendekatiku dengan senyum, kemudian berkata, “Sudah sepantasnya kita merasa lega dan berbahagia pada pagi ini.” Nada riang memancar kuat darinya.

“Saya tidak mengerti alasan Ibu mengatakan itu. Sementara kita nyaris membujur kaku di tanah ini.”

“Kita telah melewati malam yang sulit.”

“Bukankah tidak ada gangguan setelah perkelahian menjelang senja?”

“Mungkin itu yang terpatri dalam hatimu. Dyah Murti, Kayu merang tidak pernah melepaskan buruan, dan itu telah menjadi berita yang sangat terkenal. Ibu harap engkau dapat berpikir lebih dewasa kali ini.”

“Bila Kayu Merang tidak mengusik kita setelah senja berlalu. Apakah itu belum dapat memberi Ibu ketenangan?”

Hari ini adalah tahun ketiga dari waktu pelantikan ayahku menjadi penguasa Kadatuan Mataram. Ia yang bernama Rakai Panangkaran jarang mengunjungiku, tetapi aku tahu beliau adalah ayah yang baik hati. 

Bulan Telanjang – 2

“Jika Kayu Merang menempatkan semacam gardu atau mempunyai penghubung, tentu berita tentang kematian pengikutnya yang mengenaskan akan sampai padanya sebelum tengah malam. Maka dari itulah Ibu sedikit merasa lega bahwa tidak ada penyerangan pada kita semalam. Meski demikian, Ibu dan kepala pengawal sepakat tidak akan mengambil pemberhentian sebelum mencapai Kabuyutan Poh Pitu.”

“Sejauh mana tempat itu, Ibu?”

“Kita akan mencapainya sebelum senja datang bila tidak ada kendala di depan. Tentu kita bukan  orang pertama yang menyusuri jalur itu.” Telunjuk Lis Prabandari mengarah pada jalan yang mempunyai lebar dua kali ukuran pedati.

“Apakah tidak ada jalan lain?”

Ibu berdiam diri seolah tidak mendengar pertanyaanku. Ah, aneh! Apakah seperti itu yang dilakukan oleh orang-orang dewasa jika mendapat pertanyaan yang mungkin menggelisahkan hatinya? Aku hanya bertanya mengenai jalur lain yang mungkin ada, tapi, baiklah, beliau sepertinya tidak berkenan menjawab.

Suara sais sedikit lantang terdengar. Ia memerintahkan orang-orang Han Rudhapaksa agar bergegas berkemas. Aku sempat melihatnya bertukar kata dengan kepala rombongan yang berdampingan dengan kami semalam. Mungkin untuk berterima kasih atau berkenalan, aku tidak dapat menduganya. Itu adalah kewajaran.

“Ayo, kita harus berlekas pergi dari tempat ini. Hilangkan semua jejak. Dua orang berada di belakang untuk mengaburkan jejak rombongan kita.”

“Paman, apakah kita memang terburu-buru?”

“Ya dan tidak,” jawab beliau pendek.

Membingungkan! Jawaban yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh. Tetapi beliau tidak memandangku seperti itu. Mungkin dalam pandangannya, Dyah Murti hanya seorang bocah perempuan yang beruntung dengan perlindungan kekuatan gaib! Aku harus mempunyai pendirian semacam itu agar dapat mengerti alasan beliau. Ya, setidaknya untuk menghibur hatiku sendiri meski aku tahu pembenaran melalui caraku mungkin terkesan bodoh. Biarlah, kelak aku akan mencari jawabannya.

“Ibu,” ucapku ketika berdiri di dekat pintu kereta.

Ibu menyibak tirai lantas memintaku segera menaiki kereta kuda.

Aku menggeleng. “Saya ingin mengendarai kuda pada kesempatan ini.”

“Kakekmu tidak pernah mengajarimu cara berkuda.”

Tiba-tiba sais beralis putih berkata lantang dari balik punggungku, “Tidak. Anak-anak tak boleh menaiki kuda.”

“Aku ingin naik kuda, Paman.” Nada tinggi mendadak menyeruak dari suaraku. “Mengapa tidak boleh? Apakah kalian tidak pernah melihatku menunggang kuda semasa di Kalingan?”

Lis Prabandari berseru pelan dari dalam kereta, “Biarkanlah, Paman. Dyah Murti akan belajar banyak hari ini.”

Sais beralis putih yang bernama Empu Balitung kemudian berkata, “Semoga begitu. Barangkali anak gadis Anda memang akan belajar keras, tapi untuk berkuda, cukup satu hari ini saja.”

Aku melompat, dan aneh, mengapa tubuhku terasa begitu ringan ketika menjejak pijakan yang menggantung di sisi pelana? Mungkin aku terlampau senang, maka keanehan itu segera lenyap seketika! Aku membedal lambung kuda lalu memacunya secepat kemampuannya. Aku ingin memaksa kuda mencapai batas tertinggi kecepatannya!

“Angger Kebo Kenanga, marilah masuk ke dalam rumah,” suara Pangeran Parikesit jelas terdengar di kedua telinga orang yang dipanggil sebagai Kebo Kenanga.

Pageran Benawa – Bab 4

Dari belakang, suara Empu Balitung terdengar jelas ketika menggema di sisi pendengaranku. “Jangan terlalu cepat. Hari masih terlalu pagi.”

Meski bingung untuk menjelaskan di ruang pikiran, aku tetap menerima suara itu tanpa halangan. Begitu jelas sedangkan jarak kami telah terpisah selemparan anak panah. Aku yakin Empu Balitung tidak berteriak. Aku masih dalam kebingungan ketika sejumlah orang tiba-tiba muncul di hadapanku dengan tali melintang dan senjata telanjang.

 

Related posts

Panarukan 18

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 57

Redaksi Surabaya

Merebut Mataram 31

Ki Banjar Asman