Semua itu tidak luput dari pengamatan Mas Karebet.
Hutan yang tak begitu rapat dengan pepohonan tumbuh tidak dalam jarak teratur menjadikan mereka leluasa mengembangkan ilmu masing-masing. Kepekatan malam tidak menjadi penghalang karena penglihatan mereka justru semakin tajam oleh pengerahan ilmu pada tingkat yang mereka kuasai. Pertarungan jarak dekat yang mereka lalui dengan lambat banyak meninggalkan guratan yang dalam pada bagian tanah yang tersentuh kaki mereka.
Tidak ada bagian yang rumit dari gerak kanuragan yang dilakukan oleh Adipati Hadiwijaya. Lantas orang kepercayaan Sultan Trenggana itu mengeluarkan puncak tertinggi dari ilmu Lembu Sekilan agar dapat membendung geliat liar Jagat Manunggal. Meskipun begitu, pengaruh ilmu Jagat Manunggal tetap saja mampu mempengaruhi daya tahan Adipati Hadiwijaya.
Kedudukan masih terlihat seimbang hingga Lembu Jati melejit, melayang deras di atas Mas Karebet sambil mendorongkan tenaga inti Jagat Manunggal. Serangkum angin dahsyat menghantam dari belakang, tepat pada tengkuk Mas Karebet!
Penguasa Pajang itu cepat memutar tubuh lalu menyambut pukulan dengan lambaran tenaga inti.
Keduanya terdorong surut. Meski tidak ada yang terpental dan kehilangan keseimbangan, tetapi baik Mas Karebet maupun Lembu Jati sama-sama maklum bahwa kekuatan mereka masih berimbang, sejauh ini!
Sejenak mereka mengukur kedalaman lawan masing-masing, lalu, keduanya kembali tenggelam dalam pergumulan hebat. Gerak kaki dan tangan sama-sama berusaha melibat dan menggilas. Lembu Jati kian menggiriskan dengan peningkatan hawa tenaga Jagat Manunggal. Sementara Adipati Hadiwijaya menambah lapisan benteng bagi tubuhnya dengan Tameng Waja. Walau demikian, bagian inti dari ilmu Jagat Manunggal mulai menyakitinya. Kulit tangan Adipati Hadiwijaya mengalirkan darah setelah berbenturan dengan tapak tangan Lembu Jati yang hendak menggapai bagian samping wajahnya.
Terbeban pikiran tentang anak buahnya, lapisan ganda dari dua ilmu kebal belum membuat Adipati Hadiwijaya merasa nyaman. Namun sekejap kemudian ia merasa lega karena beberapa bayangan tampak bergerak dan ia mengenali bahwa mereka adalah pengawalnya.
Keleluasaan tidak berlangsung lama, dalam waktu sangat singkat Adipati Hadiwijaya merasakan getar tenaga yang sudah tak asing lagi baginya.
“Bagus! Sekalian saja kalian berkelahi bersama-sama!” desis orang yang di masa mudanya dikenal sebagai Jaka Tingkir itu.
Satu loncatan pendek dilakukan Lembu Jati untuk menjauhi Adipati Hadiwijaya.
“Kau tentu mengenal sumber tenaga ini, Mas Karebet!” kata Lembu Jati.
Tak lama kemudian sebuah bayang berpakaian putih meluncur cepat di sela pepohonan lalu berhenti dan berdiri di samping Lembu Jati.
“Wong gendeng!” kata orang yang baru datang itu pada Adipati Hadiwijaya.
Adipati Hadiwijaya hanya menggelengkan kepala melihat penampilan orang yang derap langkahnya mampu didahului oleh getar tenaga yang luar biasa. Kemudian Adipati membuka bibirnya dan katanya, ”Kau sekarang terlihat berbeda. Aku harap warna putih itu adalah tanda bahwa kau telah berubah, Sarpakenaka.”
Sarpakenaka alias Kiai Rontek tertawa keras. Kemudian katanya, ”Kau ingin aku dapat merubah tingkah laku dan sikap hati untuk sesuatu yang baru, tapi lihatlah dirimu sebelum bicara tentang itu.”
“Wong gendeng,” lanjut Kiai Rontek, ”memang aku tidak lagi pernah mendengarmu berbuat usil, tetapi bagaimana kau selalu mendapatkan cara untuk memenuhi bilik kamarmu dengan para wanita? Seharusnya tak kau lakukan itu.”
Adipati Hadiwijaya mengerti sepenuhnya dengan siasat Kiai Rontek yang berusaha membongkar kendali hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berujar, ”Para perempuan itu datang ke istana bukan sebagai budak. Telah diberitahukan pada mereka semua tentang setiap tujuan yang akan kami lakukan.”
“Terlalu pandai kau bertukar alasan,” potong Kiai Rontek. Ia berpaling pada Lembu Aji lalu berkata, ”Mungkin Lembu Jati belum mengatakan padamu bahwa seorang kerabatmu berada di balik semua peristiwa yang tidak biasa terjadi.”
“Kakang Gagak Panji?” sambil membeliakkan mata, Adipati bertanya.
Kiai Rontek menggoyangkan kepala dengan bahu terangkat. Ia kemudian mengurungkan niatnya untuk meneruskan ucapan ketika Adipati Hadiwijaya bergerak maju disertai angin prahara yang sangat kencang.
“Mas Karebet! Aku tahu kau tidak dapat menerima julukanmu yang baru. Aku tidak ingkari kenyataan bahwa seorang pemimpin haruslah selalu mendapat penghormatan, tetapi seorang Adipati Pajang adalah pengecualian!” teriak Kiai Rontek yang suaranya muncul tenggelam dalam pusaran angin yang timbul dari Adipati Hadiwijaya yang menggeliatkan seluruh bagian tubuhnya dengan luar biasa.