Prosa Pendek : Telaga dan Mentari

oleh
Telaga
Di puncak bukit, aku merebahkan diri.
Di sini, setiap pagi aku menyambut seri mentari. Ketika kegelapan masih melingkupi bumi, aku telah bermain dengan binar mentari. Hangat kirana, berpendar di permukaan. Bercanda dengan riak yang bergeliat perlahan. Sebelum surya menyinari dunia, ia menyapaku penuh suka cita.
Di tepian, seorang lelaki bercaping bambu menebar jaring. Bersiul untuk mengusir hatinya yang masygul. Bilangan hari berlalu, jaring itu tak pernah terisi. Aku tak lagi mengizinkan ikan-ikan menyentuh jaring itu. Biar saja. Biar ia dan mereka semua paham, aku juga bisa marah. Marah dengan perlakuan buruk mereka padaku.
Jika membersihkan onggokan sampah di tepian saja mereka tak mau, untuk apa aku memberikan isi perutku? Jika mereka hanya bisa menebar sampah di permukaan, untuk apa aku memberikan segala manfaat dari kedalaman?
Sekali lagi, aku tak peduli pada lelaki bercaping bambu.
Tepian utara lebih menyenangkan.
Lihat! Sepasang lansia bercengkrama. Mereka bagai sejoli yang sedang jatuh cinta. Menatap mesra, tersenyum simpul, tertawa bahagia. Saling menggenggam seolah tak ingin melepaskan.
Terkadang, aku tak tahan ingin bercengkrama dengan mereka. Berharap kebahagiaan itu bisa mengalir lewat air dan riak yang menyentuh jemari mereka.
Aku selalu bahagia melihat mereka. Terasa menentramkan.
Aku berharap, bukan hanya sejoli itu yang merasa bahagia. Penuhilah seluruh tepian dengan aura bahagia kalian. Maka kebahagiaan itu akan merasuk hingga ke kedalaman.
Satu hal. Jangan merusak kebagiaanku dengan aura mesum kalian.
Aku telaga di puncak bukit, menyaksikan semua.
Ditulis oleh Dianyk, 30 Mei 2019
Kelas Menulis Dalam Jaringan – Kepak Sayap Angsa
Bersama mengarungi samudera aksara. Memperkaya sastra Indonesia.

No More Posts Available.

No more pages to load.