“Ki Cendhala Geni,” desis perlahan dari bibir Bondan. Matanya yang tajam segera mengenali sosok yang rambutnya berkibar-kibar dihempas angin. Baju tak berlengan dan tidak berkancing semakin menambah kesan garang pada orang yang disebut sebagai Ki Cendhala Geni.
Segera Bondan berdiri dan berlari sangat cepat menusuk barisan pasukan berkuda Ki Sentot.
“Mari bermain-main,” desah Bondan perlahan.
Dari kejauhan gerak gerik Bondan terpantau oleh Ki Wisanggeni. “Bersiap! Benturan segera terjadi di dekat kalian!” seru Ki Wisanggeni ditujukan pada barisan sebelah kanannya.
“Dasar gila! Anak ini benar-benar akan mengacaukan barisan kuda Ki Wisanggeni,” kata Ki Cendhala Geni dalam hatinya.
Melihat Bondan yang berlari ke arah pasukan berkuda lawan, Gumilang semakin mempercepat laju kuda. Ia memerintahkan pasukannya semakin cepat agar dapat mengimbangi lari Bondan. Sepasang kaki Bondan seakan-akan terbang di atas rumput, dan terkadang tubuhnya seolah terbang ketika melompati tanaman perdu.
“Siapkan anak panah!” teriak Ki Wisanggeni, “sekarang!”
Sekejap kemudian puluhan anak panah melayang ke arah Bondan.
Beberapa saat sinar matahari terhalang oleh anak panah yang mengapung di udara, deras menggapai Bondan. Menyadari dirinya dalam bahaya, Bondan menggandakan kecepatan, lalu kerisnya berputar-putar seperti gasing. Keris di tangan Bondan seolah memancar selubung berwarna hijau yang menutupi tubuhnya. Bondan melenting cukup tinggi. Sewaktu tubuhnya berada di atas kerumun puluhan batang panah musuh, ia melontarkan serangan balik berupa segenggam panah ke arah pasukan Ki Wisanggeni. Kegaduhan segera terjadi dalam barisan itu ketika anak panah yang dilontarkan Bondan mampu menggapai sasaran.
Tubuh Bondan meluncur deras ke bawah dan seperti tidak menginjak tanah, ia melesat ke pasukan berkuda Ki Wisanggeni. Namun Bondan harus mengurungkan niat ketika mendengar orang memaki-maki datang dari arah punggungnya. Seketika ia melenting, berjungkir balik di udara, lalu dilihatnya dengan jelas wajah orang yang mengejarnya. Sebatang anak panah yang tersisa pun dilontarkan dan sangat kencang meluncur ke dada orang tua bertubuh kekar.
“Ia berputar arah. Sungguh lawan yang berbahaya,” desis Bondan sambil menukik tajam.
Orang itu, yang ternyata Ki Cendhala Geni, meloncat ke atas dan melesat ke arah Bondan dengan terjangan yang sangat kuat. Sinar putih bersinar menyilaukan, berputar-putar dengan garang mengeluarkan gema yang menggetarkan dada setiap telinga yang mendengarnya. Teriakan keras Ki Cendhala Geni berbarengan dengan serangan ganas. Ia menebas Bondan, kemudian dengan cepat menarik kapaknya lalu memutar dengan gagangnya lalu menusukkan pada mata Bondan. Arus serangan itu berakhir dengan satu tebasan mendatar yang mengarah pinggang murid Resi Gajahyana. Dengan demikian, Bondan secara beruntun terbelit dalam serangan yang terangkai dengan dahsyat.
Bondan gesit mengelak serangan beruntun Ki Cendhala Geni. Sedikit ia meloncat mundur, lalu menerjang maju dan kini mereka terlibat dalam pertarungan yang sangat seru. Sesekali Bondan terdesak jauh ke belakang hingga berada sangat dekat dengan garis depan pasukan berkuda Ki Wisanggeni, dan kadang-kadang meledakkan serangan balasan. Segenap kemarahan Ki Cendhala Geni seolah mendapatkan sebuah jalan khusus. Ia menumpahkan kekesalan dan kemarahan melalui serangan-serangan yang sangat ganas. Demikian pula yang dilakukan oleh Bondan yang berhasrat kuat membuat perhitungan terakhir dengan mantan patih Kahuripan itu.
Ki Cendhala Geni sendiri adalah orang yang pada awalnya tidak ingin menentang Majapahit. Lambat laun ia mengalami pergeseran pendapat, terlebih sejak ia mendengar kabar bahwa ada sekelompok orang yang akan menentang Majapahit. Setelah ia bertemu dengan seorang pengikut Ki Sentot dalam pelariannya di lereng-lereng Merapi, maka ia mulai berani dan sedikit banyak telah menanamkan ketakutan pada rakyat yang menganggap Majapahit sebagai penerus Rakai Sanjaya dan Mpu Sindok. Di setiap tempat setelah ia membuat keonaran, Ki Cendhala Geni berbicara tentang berbagai persoalan. Ia mulai memengaruhi banyak orang dengan menyebar kabar bahwa raja dan pembantunya menyeleweng serta para pembesar yang melakukan pencurian. Ki Cendhala Geni pula meleburkan diri pada kelompok-kelompok pinggiran dan melalui mereka, gaung bahwasanya penetapan pajak yang tinggi adalah bentuk lain dari penindasan.
“Berjayalah wangsa Jayakatwang!” pekik Ki Cendhala Geni.
“Akhirnya!” Bondan berseru. “Akhirnya engkau benar-benar melepaskan pakaian. Biarpun aku mati dalam perkelahian ini, aku tidak merasa sendiri. Kiai, bahkan engkau telah mati sebelumnya. Tidak ada yang melarangmu untuk pergi seorang diri ke tanah kubur. Tetapi, ketika engkau memandang wajahku, aku dapat pastikan bahwa aku akan memberimu hukuman!”
Bondan melipatgandakan serangan.
Pertarungan kian menghebat. Setiap gerakan tangan maupun kaki selalu disertai angin yang menimbulkan hembus tenaga yang mampu mengguncang kedudukan prajurit biasa.