Menggali sisi lain dari sejarah selalu dapat memnumbuhkan semangat baru. Terutama bila berkaitan dengan kisah kepahlawanan di tanah kelahiran. Itu sangat sesuatu! Pertempuran 10 November 1945 adalah peristiwa menggetarkan bumi nusantara sepanjang masa. Serasa melihat ulang film yang berjudul 300.
====
KAMIS, 8 November 1945.
Surat kedua dari Komandan Divisi ke-5 India Jenderal Mayor E.C. Mansergh itu datang begitu tiba-tiba dan langsung dibaca oleh Gubernur Jawa Timur, R.M.T.A. Soerjo. Isinya:
Mansergh menuduh pihak Indonesia telah menunda-nunda evakuasi kaum interniran dan pengembalian pasukan Inggris yang tertawan atau terluka dalam pertempuran 28–30 Oktober 1945. Tak lupa dia mengumbar lagi ancaman bahwa kota Surabaya yang telah dikuasai oleh para perampok (looters) secepatnya akan diduduki oleh militer Inggris.
“Pada akhir surat, sang jenderal meminta Gubernur Soerjo datang ke kantornya pada 9 November 1945,” ungkap sejarawan Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Namun Gubernur Soerjo tidak menuruti permintaan Mansergh dan hanya membalas suratnya. Dengan tegas dia menolak anggapan bahwa pihak Indonesia bermaksud menunda evakuasi kaum interniran dan para prajurit Inggris yang terkepung di dalam kota.
“Kami telah mengembalikan mayat-mayat tentara Inggris dan korban luka kepada induk pasukannya,” ujar Soerjo.
Pasti akan kami jawab: kami akan berjuang!
Soerjo juga mengingatkan Panglima Inggris untuk Jawa Timur itu kepada kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan koleganya, Jenderal Mayor D.C. Hawthorn pada akhir Oktober 1945. Menurut kesepakatan itu, terdapat dua lokasi di Surabaya yang akan dijaga oleh tentara Inggris yakni daerah sekitar Darmo dan Tanjung Perak. Penjagaan berlangsung selama proses pemindahan interniran dari sekitar daerah itu hingga Tanjung Perak. Jika proses pemindahan para tawanan telah selesai, pasukan Inggris dipersilakan mundur ke Tanjung Perak.
Mansergh tidak mengindahkan surat balasan Gubernur Soerjo yang diantarkan oleh Roeslan Abdulgani, Residen Soedirman dan T.B. Kundan. Ia malah mengirim dua pucuk surat lagi; yang pertama ditujukan kepada R. M. T. A. Soerjo (tanpa embel-embel jabatan gubernur), dan satu pucuk yang lain lagi dialamatkan kepada seluruh orang Indonesia di Surabaya. Kedua surat itu berisi pesan yang sama. Singkatnya, Mansergh menuntut pimpinan pemerintah RI di Surabaya, pemuda, dan badan-badan perjuangan agar melaporkan diri untuk menyerah kepada Inggris atau Sekutu.
Gubernur Soerjo tetap bersikap tenang menghadapi sikap sombong pihak Inggris. Dia tetap menekankan kepada para stafnya untuk mengikuti pesan Presiden Sukarno agar menghindari pertumpahan darah. Maka diutuslah lagi Residen Soedirman dan Jenderal Major Mohammad Mangoendiprodjo untuk menawarkan perundingan dan meminta Inggris mencabut ultimatumnya. Namun Inggris menolaknya. Begitu pula utusan Gubernur Soerjo berikutnya—Roeslan Abdulgani dan Dokter Soegiri—ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris.
“Sepanjang sejarah, British belum pernah membatalkan sebuah ultimatum militer. Kini terserah sepenuhnya kepada tuan-tuan, bersedia memenuhinya atau menolaknya. . .,” jawab seorang opsir Inggris, seperti dikutip Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Selepas tengah hari, masyarakat Surabaya dikejutkan oleh sebuah pesawat Inggris yang melayang-layang di atas kota. Pesawat menyebarkan ribuan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh selaku Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur. Isi pamflet persis sama dengan ultimatum yang telah diterima Gubernur Soerjo. Disebutkan bahwa semua yang tergolong pemimpin bangsa Indonesia, termasuk para pemuda, kepala polisi dan petugas radio diharuskan melapor kepada tentara Sekutu dan menyerahkan segala jenis senjata yang dimiliki.
Tak pelak, ultimatum Inggris itu membuat rakyat Surabaya sangat marah. Begitu “hujan pamflet” reda, nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. Dalam otobiografinya Memori Hario Kecik, Suhario Padmowirio (Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan Rakjat), saat itu di sekitarnya telah berkumpul ratusan pemuda. Semua menenteng senjata dan pistol otomatis.
“Minimal mereka yang disebut tidak lengkap, membawa granat,” ujar Suhario.
Pertemuan pemuda dan kaum bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sinilah muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah Pejuang Surabaya sebagai berikut.
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati!
Sekali Merdeka tetap Merdeka!