SuaraKawan.com
Opini - Politik

Perumahan Citraland, Wilayah Otonomi di Surabaya?

Jalan jalan di Kawasan G-Walk Citraland, seolah–olah kita berada di luar Indonesia.

Tapi benar saja, dibalik gemerlap lampu-lampu ciri khas Daerah Bisnis Pecinan, Citraland, banyak yang menduga bahwa kawasan ini tidak bisa disentuh aturan pemerintah kota Surabaya.

Seperti terkait IMB, fasum/fasos, termasuk Jalur Hijau (RTH) dan Pendestrian.

Berkesempatan kongkow di sebuah cafe di kawasan G-Walk, Rabu (17/11) sekitar pukul 19.00, saya memang sempat merasa nyaman. Ditemani minuman air kelapa botol, sembari melihat banyak pemandangan penuh warna serta gadis-gadis keturunan yang tak kalah indahnya.

Beberapa saat duduk, pikiran saya mulai tergelitik melihat ratusan mobil dan motor yang terparkir di sepanjang jalan Taman Gapura atau biasa disebut G-Walk yang panjangnya sekitar 800 meter. ” Pastilah Pemkot menerima restribusi yang besar,” pikir saya.

Tapi, pikiran itu mulai berkelanjutan ketika tahu kendaraan parkir sebanyak itu tidak dipungut biaya alias gratis. ” Kalau gratis, Pemkot dapat apa,” pikir saya kembali.

Padahal, jalan taman Gapura dengan lebar lebih kurang 8 meter di salah satu sisi jalannya, tak sampai setengah yang bisa dilalui karena termakan parkir ratusan mobil dipinggir dan parkir motor di tengah antara 2 ruas jalan untuk satu hari ini saja.

Ketika melihat ratusan cafe, restoran dan rumah hiburan disepanjang jalan juga menjadi gelitik tersendiri di benak saya.

Sesuai informasi dari beberapa sumber di lokasi, bangunan cafe, restoran dan rumah hiburan ini berdiri di jalur hijau, dan mereka memasang tenda-tenda permanen di pendestrian yang seharusnya diperuntukkan para pejalan kaki.

Belum lagi ada salah satu toko bangunan yang meletakkan barang dagangannya menutup pendestrian, sehingga pejalan kaki harus memutar. Begitu juga beberapa depot yang meletakkan kursi dan mejanya menutup lintasan pejalan kaki, semakin salah kaprah.

Kemudian adapula tanah fasum yang dijadikan ATM center dan juga terlihat beberapa stan permanen.

”Kalau mau jalan-jalan disini pasti kesulitan mas,” ujar teman kongkow saya.

”Yang menjadi pertanyaan adalah status fasum/fasos apakah di bawah pengelolaan pihak pemerintah ataukah masih pihak pengembang ?” tanya kawan saya.

Kondisi ini, menurut beberapa sumber di lokasi, sudah terjadi belasan tahun dan sepertinya ada pembiaran dari pemerintah kota Surabaya. ”Untuk IMB rumah kami pun, diurus ke pengembang, tidak langsung ke dinas yang berwenang,” kata salah satu warga Citraland yang kebetulan sama-sama nongkrong di salah satu cafe.

”Kabarnya, Citraland adalah penyumbang terbesar pemkot Surabaya. Entah berapa sumbangannya per tahun, tapi yang saya tahu, Walikota-pun akan datang ke sini apabila dipanggil oleh Citraland,” tambah warga yang enggan disebut nama maupun alamat tempat tinggalnya.

Merujuk Pasal 47 point (4) UU Perumahan No. 1 tahun 2011 disebut, Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah selesai dibangun oleh setiap orang harus diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kalau mengacu UU diatas, maka seharusnya pengeloaan PSU sudah ada di tangan pemerintah kota Surabaya melalui SKPD nya.

Menurut beberapa pelaku usaha di lokasi tersebut, semua tenant baik sewa, restribusi dll dikelola oleh pihak pengembang. Untuk IMB pun, mereka mengaku tidak punya karena saat diminta, pihak pengembang menyatakan ini merupakan jalur hijau dan tidak bisa dikeluarkan ijin mendirikan bangunan (IMB).

Jalur jalan kaki untuk material bangunan.

Anehnya, meski diduga jalur hijau (RTH), tapi semua tenant dibangun secara pemanen dengan desain yang berlainan sesuai keinginan masing-masing.

Dari harga sewanya pun berlainan menurut salah satu toko kecil yang berada diantara dua restoran besar. Ia mengaku, sebulan harus membayar 2 juta untuk sewa stan berukuran sekitar 10 meter persegi.

Bayangkan, untuk sekitar 10 meter pesegi, harga sewanya 2 juta. Nah, untuk tenant yang luasannya diatas 100 meter persegi berapa harga sewanya, dikalikan ratusan tenant yang ada.

Sekitar 1 km di sebelah utara G-Walk juga terdapat sebuah pasar modern TPR yang diduga juga menggunakan ruang terbuka hijau (RTH).

Kalaulah pajak restribusi resto dan parkiran dimaksimalkan, pikir saya, tentunya sangat besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang didapat Pemkot Surabaya dalam setahun.

Pertanyaannya lagi, apakah selama ini sudah ada serah terima Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Kawasan Perumahan tersebut kepada Pemerintah Kota Surabaya

Sesuai aturan, apakah memang diperbolehkan menyewakan fasum/fasos dan jalur hijau untuk aktivitas bisnis. Kemudian apakah diperbolehkan menggunakan pendestrian sebagai tempat usaha, sedangkan di luar sana banyak pedagang kecil yang diobrak bahkan barang dagangannya disita karena ketahuan berjualan di pendestrian.

Hal di atas sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) kota Surabaya No. 2 tahun 2014 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, khusus di pasal 5 point (1) menyebut, Setiap orang dan/atau badan dilarang menghuni, melakukan aktifitas berjualan dan/atau memanfaatkan ruang terbuka di bawah jembatan/jalan layang, diatas tepi saluran dan/atau tempat-tempat umum lainnya secara terus-menerus/permanen.

Ditambah lagi di pasal 10 dan 31 terkait larangan merubah fungsi jalan dan penggunaan trotoar sebagai tempat parkir juga terkait terbit bangunan.

Sanksinya juga sudah diatur dalam pasal 44, dari teguran lisan, hingga Pencabutan izin. Selain sanksi administratif, untuk pelanggaran berat juga dapat dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam pasal 45.

Harapannya, pemerintah kota Surabaya menerapkan aturan tanpa tebang pilih, yang setorannya banyak diperbolehkan untuk menabrak hukum, sedangkan yang tidak setorannya minim atau bahkan tidak ada setoran diterapkan aturan dengan keras bahkan terkadang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. (bersambung-BNW)

Related posts

Pendaftaran PPS Surabaya Diperpanjang, KPU Minta Pendaftar Lengkapi Persyaratan

Redaksi Surabaya

Wali Kota Eri Cahyadi Ingin Setiap Kampung Miliki Ciri Khas Destinasi Wisata

Redaksi Surabaya

Strategi Jitu Wali Kota Risma Agar Surabaya Terhindar dari Resesi

redaksi