SuaraKawan.com
Bab 15 Pertempuran Hari Kedua

Pertempuran Hari Kedua 6

Ki Jayapawira melihat perlawanan yang dilakukan oleh Pragola, kemudian ia bergeser cepat disertai beberapa prajurit pilihan untuk mendekati Pragola.

Pasukan Ki Jayapawira semakin maju dan mulai menguasai sayap kanan. Sementara itu Ki Sentot Tohjaya telah memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab di sayap sebelah kiri yang sedang terdesak oleh para prajurit Sumur Welut dan Wringin Anom. Ia tidak melihat seorang senopati dari barisannya yang bebas dari lawan. Ki Wisanggeni terikat perang tanding dengan anaknya, Lembu Daksa. Sedangkan Ki Cendhala Geni terlibat pertarungan dahsyat dengan Bondan di tempat berdekatan dengan pasukan Ki Wisanggeni.

Ki Sentot Tohjaya datang dengan suara menggelegar menggema di atas riuh suara senjata yang berbenturan. Ia melompat jungkir balik di atas prajuritnya, ketika kakinya menyentuh tanah, Ki Sentot menyeruak sela-sela para prajuritnya yang sedang mempertahankan baris pertahanan. Sorak sorai para prajuritnya membahana seakan-akan mereka terbebas dari himpitan prajurit lawan yang datang dari depan. Kedatangan Ki Sentot benar-benar seperti minyak yang disiramkan pada api yang bernyala kecil.

“Pragola! Tinggalkan lawanmu, kembalilah ke tengah pasukanmu!” perintah Ki Sentot dengan suara yang terlambari tenaga dalam.

“Tidak, Kiai!” bantah Pragola. Ia merendahkan Ki Jayapawira dengan berkata, “Biarkan saya yang hadapi orang tua kering ini. Tak lama lagi ia akan menyesali keputusannya terlibat dalam perang ini.”

Pragola  berseru nyaring sambil menerjang ke depan dan menyerang Ki Jayapawira dengan garang. Pedangnya berkelebat cepat seperti sambaran elang, berusaha menutup gerak lawannya yang gesit menghindar. Pragola seakan terbungkus warna merah dari pedangnya yang berlumur racun dari bisa ular bercampur racun dari hewan lainnya.

Ki Jayapawira terdesak cukup hebat, usianya yang merambat jauh mau tidak mau telah mengurangi kegesitannya. Ditambah lagi pertarungan sebelumnya dengan Ubandhana maka tubuhnya bergerak semakin lambat. Namun ia merasa belum sampai pada titik akhir tenaga dan ilmunya, tiba-tiba terdengar ia tertawa dari balik tombaknya yang berputar menangkis serangan Pragola. Asap putih terlihat keluar dari telapak tangannya lalu merambat keluar menyelubungi tombaknya dari pangkal hingga ujung runcingnya, pada saat itu ia memutar tombak lebih cepat dan tubuhnya tidak lagi bergeser tempat.

Pragola semakin gencar menggebrakkan serangan-serangannya. Ia melipat gandakan tenaga ketika kekuatan lawan  beralih lebih tinggi. Dalam sekejap aroma anyir merebak di arena pertarungan. Semakin lama bau anyir seperti bau bangkai yang terbakar itu meluas hingga memasuki indra penciuman orang-orang yang bertempur di sekeliling dua senopati itu. Tentu saja bau itu menjadi gangguan yang menyakitkan orang-orang biasa. Para prajurit yang bergulat dengan nyawa itu semakin menjauh sehingga kini lingkaran perang tanding menjadi semakin luas. Hantaman demi hantaman Pragola yang datang bergelombang belum dapat mengoyak kekokohan benteng Ki Jayapawira.

Gumilang yang tidak terikat pertarungan satu lawan satu memanfaatkan  kekosong yang melingkari Ki Jayapawira dan Pragola. Ia membawa beberapa orang prajurit berkuda melintasi arena yang kosong untuk menusuk ke garis belakang musuh. Meskipun jumlahnya sedikit tetapi kemampuan penunggang kuda itu di atas rata-rata prajurit kebanyakan. Mereka mahir menggunakan banyak senjata dari atas kuda.

Pergeseran Gumilang tak lepas dari pengamatan Ki Sentot. Ia meneriakkan perintah pada senopati pengapit Ki Wisanggeni untuk menutup celah dalam gelarnya.

Ujung tombak Ki Jayapawira menebas dada Pragola, tetapi lawannya gesit mengelak sambil berkata, ”Sudahlah. Untuk orang seusiamu sudah sepantasnya menimang cucu atau berada di pategalan menikmati hari.”  Namun Ki Jayapawira tidak membiarkan Pragola melanjutkan kata-kata, tombaknya mengejar Pragola yang memandang rendah dirinya. Tombaknya meluncur ke arah wajah Pragola, dan kepalan tangan kirinya melesat memasuki dada lawannya. Pragola selangkah mundur, mempersiapkan tenaga inti untuk menerima pukulan ke dadanya dengan satu kepalan yang akan dibenturkannya pada tangan Ki Jayapawira.

Terjadilah benturan dahsyat yang disertai lambaran tenaga inti yang luar biasa. Keduanya beringsut mundur, tetapi Ki Jayapawira masih sempat memilin tombak pada tangan kanannya lalu tiba-tiba tombak itu seperti menancap pada ujung jari telunjuk Ki Jayapawira. Pragola mengumpat kotor, ia tidak menyangka jika lawannya dapat memilin senjata dan memutarnya dengan dua jari dan seolah terpaku pada jari telunjuk. Ujung tombak Ki Jayapawira mampu menggapai dada Pragola dan melesak masuk sedalam jari kelingking. Selagi Pragola terhuyung ke belakang, lawannya telah mendorongkan telapak kakinya dan menghantam dada Pragola, tubuhnya terlempar, jatuh terjengkang. Sorak sorai prajurit Majapahit dan pengawal Sumur Welut segera menggema menjatuhkan semangat prajurit lawan.

Related posts

Merebut Mataram 39

Redaksi Surabaya

Kiai Plered 24 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 45

Redaksi Surabaya