SuaraKawan.com
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 14

Kehebatan tempur prajurit ditambah kekuatan Bondan menjadikan kawanan Laksa Jaya mulai terpojok.
Bentak keras Ubandhana menjadi awal terjangan dalam menghadang Bondan. Meskipun Ubandhana menyimpan rasa kagum pada Bondan yang cepat memulihkan dirinya, ia harus memperjuangkan hasratnya. Merebut Arum Sari lalu pergi bersama anak gadis pemimpin kademangan itu. Di tengah kemelut perkelahian, di tengah rasa terkejutnya, Ubandhana belum sepenuhnya percaya jika Bondan sembuh lebih cepat dari perkiraannya. Bahkan ia menduga Bondan telah mati!

Ujung tombak segera menuju dada Bondan dan siap menyayatnya seperti singa merobek kulit mangsanya. Satu tusukan mennggapai dada Bondan. Suara mendesis keluar ketika tombak Ubandhana melayang di udara. Desiran angin dan hawa panas yang keluar dari tombak itu dirasakan Bondan. Ia segera melepaskan ikat kepalanya dan menangkis serangan tombak Ubandhana. Sehelai kain dengan panjang kira-kira seukuran kaki orang dewasa ini berubah menjadi ganas, ikat kepala ini tak kalah gesit, ia garang balas mematuk dan menjadi keras ketika menyentuh bagian samping ujung tombak Ubandhana.
Bondan membalas serangan dengan serangan yang berbahaya. Ia ber-gantian mencecar Ubandhana dengan sabetan keris dengan ikat kepalanya sebagai senjata.

Keduanya pernah berkelahi sebelumnya, tetapi pada pertarungan waktu itu kemampuan kedua orang muda ini belum sepenuhnya dikeluarkan. Selama pelariannya, Ubandhana sempat menyesali kegagalannya menghabisi Bondan. Dalam hatinya, ada sedikit rasa cemas jika ia kembali harus berkelahi melawan Bondan. Dan ternyata ia menjalani pertarugan ulang melawan pemuda bertubuh sedang ini. Penyesalan Ubandhana tidka berhenti sampai di situ, ia melakukan banyak pekerjaan tetapi hanya sebagian kecil waktunya dapat digunakan untuk mengasah kemampuan. Oleh karena itu, Ubandhana merasakan perbedaan besar pada perkelahian malam itu.

Ia menjadi saksi perkembangan pesat pada Bondan. Yang lebih membuatnya sesak adalah pertemuan itu, sebenarnya, malam yang berarti baginya. Malam yang menjadi langkah terakhir baginya sebelum memperoleh imbalan terbesar dalam hidupnya.
Penghalang ini memang sepantasnya mati! Batin Ubandhana.

Ia menimbun hasrat ke dalam kubangan besar lalu membakarnya, dan ia menunggu waktu untuk meledakkannya. Tetapi sebelum harapannya dapat dipenuhi, ia harus mengerahkan segenap kekuatannya agar mampu menembus pertahanan Bondan.
Mereka saling menekan.
Dengan menggunakan pangkal lengan, Bondan mementahkan hantaman tombak Ubandhana. Seketika itu Bondan melakukan serangkaian serangan dengan hantaman siku kiri saling bergantian dengan keris di tangan kanan.
Ubandhana terkejut dengan perubahan yang dilakukan Bondan. Ia tidak mempunyai perkiraan jika Bondan mampu menyerang di bawah tekanan. Maka Ubandhana ia harus menerima akibat yang sama sekali tidak diharapkan. Rahang kirinya terhantam siku kiri Bondan, kemudian disusul satu tamparan keras melalui ikat kepala yang tergenggam tangan kirinya. Cairan berwarna merah yang kental mengalir tipis dari sela-sela bibir Ubandhana.

Ken Banawa yang masih terlibat pertarungan sengit dengan Ki Cendhala Geni seperti berada di atas angin. Ki Cendhala Geni mulai keteteran dan pertarungan jarak pendek ini menjadi tekanan baginya. Ken Banawa yang memegang pedang sejajar dengan satu bagian menempel erat pada lengannya kian hebat melancarkan serangan. Gerak pedangnya menjadi susah ditebak. Ken Banawa tidak lagi banyak melakukan tusukan-tusukan secara gencar. Serangan demi serangan disusun bergantian dengan pukulan tangan kiri dan tendangan yang seolah hujan dari berbagai arah.
Perubahan ini, mau tidak mau, akhirnya memaksa Ki Cendhala Geni segera merngubah siasat untuk mengimbangi serangan gencar dan berge-lombang musuhnya. Dengan memanfaatkan panjang kapak, Ki Cendhala Geni mundur sambil mencoba melakukan serangan balasan.

Pada waktu ia mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan jangkauan kapaknya, Ki Cendhala Geni melompat agak tinggi dan menerjang Ken Banawa dengan hantaman dahsyat.
Tubuh Ki Cendhala Geni melayang, lalu menukik deras, kemudian me-lenting ibarat batu yang terlontar dari alat pemantik. Perubahan tata gerak ini memberi tekanan balik pada Ken Banawa. Harapannya untuk dapat memukul mundur Ki Cendhala Geni melalui pertarungan jarak dekat telah menemui jalan buntu. Lawannya adalah Ki Cendhala Geni, orang yang berilmu tinggi dan mempunyai pengalaman sangat luas. Kekuatan dan kecepatannya telah mendapat pengakuan dari orang-orang berkepandaian puncak di tanah Jawa.

Related posts

Merebut Mataram 47

Redaksi Surabaya

Kiai Plered 57 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Pengepungan 8

Ki Banjar Asman