SuaraKawan.com
Suara Sejarah

Naskah Pegon Tertua di Jawa

Berdasarkan angka tahun yang terbaca di dalamnya, diduga naskah ini ditulis pada 1347 Masehi. Naskah ini sekaligus menjadi naskah pegon tertua di Jawa sejauh ini. Isinya tentang sejarah para nabi dan ajaran tasawuf dalam bentuk tembang. Naskah ini ditulis dengan huruf Arab dalam bahasa Jawa atau disebut pegon.

“Naskah ini dimiliki seorang kolektor, katanya ditemukan di NTB (Nusa Tenggara Barat). Ternyata, menurut beberapa info dan beberapa temuan lain, ada upaya membawa naskah ini ke luar negeri. Saya berterima kasih kepada kolektor yang membawa naskah ini ke Salatiga,” kata Masyhudi Muhtar, peneliti bidang arkeologi Islam di Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam diskusi daring berjudul “Beberapa Jejak Peradaban Asing di Jawa”, Kamis, 15 April 2021.

Saat ditemukan oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2019, naskah ini dalam kondisi kurang terawat. Naskah berbahan daluwang ini disimpan di dalam kotak kayu yang di dalamnya terdapat botol berisi minyak. Bahan daluwang dibuat dari kulit kayu atau serat tanaman.

“Sangat mungkin tua karena dibuat dengan bahan deluwang yang sangat asli,” ujar Masyhudi.

Sampulnya tipis dari kulit binatang. Warnanya cokelat kehitaman. Bagian depan dan belakangnya sudah rapuh, berlubang, dan mengelupas. Serangan serangga juga membuat beberapa lubang pada lembarannya. Tinta yang dipakai berwarna hitam dan merah. Bahannya dari tumbuh-tumbuhan. Alat tulisnya dari ilalang atau lidi aren.

Naskah ditulis dengan huruf Arab berbahasa Jawa (pegon) dengan menggunakan jenis khath naskhi dalam bentuk yang sangat sederhana. Khat naskhi merupakan salah satu jenis seni menulis dalam tradisi tulisan Arab, yang tidak terlalu rumit dalam penulisannya, mudah untuk ditulis dan dipelajari.

“Kenapa masih sederhana? Dugaan kami ini bentuk keterbatasan penulis. Belum mampu menerapkan kaidah-kaidah penulisan yang bagus,” kata Masyhudi.

Baca Kisah FIksi : Matahari Majapahit

Sayangnya, nama penulis naskah belum diketahui. Pun soal di mana naskah ini ditulis.

“Kalau bahasa yang digunakan, istilah-istilahnya untuk zaman sekarang sudah sulit dimengerti. Mungkin sebagian Jawa Kuno dan sebagian lagi Jawa Pertengahan,” jelasnya. Kendati begitu, Masyhudi mengakui belum terlalu mengkaji naskah itu dari sisi filologi dan kebahasaan. Tetapi, dia yakin naskah ini bukanlah naskah salinan.

Menariknya, naskah pegon ini ditulis pada masa Majapahit masih berjaya. Pada 1347 Masehi, sebagaimana angka tahun yang tertera dalam naskah, Gajah Mada masih menjabat sebagai Mahapatih. Berdasarkan pemberitaan Kakawin Nagarakretagama Gajah Mada mangkat pada 1364. Saat itu, Tribhuwana Tunggadewi masih berkuasa, yang kemudian digantikan putranya, Hayam Wuruk pada 1350.

Islam memang bukan agama resmi negara kala itu. Namun, jejak Islam sudah kuat di Majapahit. Selain dari naskah pegon itu, keberadaan umat Islam di tengah periode emas Majapahit sudah banyak dibuktikan sebelumnya. Salah satunya lewat keberadaan permakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trowulan, Mojokerto. Tak jauh dari makam-makan itu terdapat area yang diduga kompleks Kedaton Majapahit.

Muhammad Chawari, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam “Fenomena Islam pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit” yang termuat dalam Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaannya, menjelaskan bahwa yang dimakamkan di sana adalah penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah memeluk agama Islam.

“Khususnya tujuh makam bertuliskan aksara Arab yang letaknya tak jauh dari pusat kota Majapahit,” tulis Chawari.

Dari nisannya, makam-makam ini berasal dari tahun 874 H atau 1391 Saka (1469 M) dan 1533 Saka (1611 M). “Artinya, muslim atau mungkin kerabat raja Majapahit yang muslim sudah ada sejak Hayam Wuruk berkuasa,” lanjut Chawari.

Bahkan, ada sebuah balok batu berangka tahun 1204 Saka atau 1282 M. Jika dilihat dari usianya, balok batu ini berasal dari masa sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit.

“Apakah balok batu itu benar-benar merupakan nisan atau hanyalah bagian dari sebuah bangunan yang bercorak Hindu yang kemudian dimanfaatkan untuk nisan,” tulis Chawari.

Ditambah lagi keterangan Ma Huan, penerjemah resmi Laksamana Cheng Ho, dalam karyanya Ying-yai Sheng-lan. Ma Huan mencatat, terdapat tiga golongan penduduk di Majapahit. Salah satunya penduduk muslim. Mereka adalah saudagar yang datang dari berbagai kerajaan di Barat.

“Naskah [pegon] ini berkaitan dengan masa Majapahit. Karena pada masa Majapahit ada komunitas muslim,” kata Chawari dalam diskusi tersebut.

“Tapi kalau secara langsung menyebut soal kerajaan-kerajaan semasa Majapahit, tak ada [dalam naskah]. Di sini hanya menceritakan riwayat para nabi, termasuk Nabi Muhammad,” kata Masyhudi. [HS]

 

Related posts

Kiai Plered 20 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 61

Ki Banjar Asman

Pertempuran Hari Pertama 5

Ki Banjar Asman