SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 64

Ki Patih Mandaraka belum dapat memunculkan dugaan tentang sebab dan keadaan lain yang terhubung dengan hilangnya kitab peninggalan Kiai Gringsing. Meski demikian, satu hal menarik keingintahuan patih Mataram itu, apakah Raden Atmandaru mengetahui kedahsyatan yang terkandung dalam tulisan-tulisan Kiai Gringsing? Rasa penasaran yang didorong oleh kenyataan bahwa Ki Hariman berkelahi begitu tangguh dengan tata gerak yang indah dan gagah. Lantas, bila Ki Hariman sedang menghadapinya, siapa yang memegang kitab Kiai Gringsing sekarang?

Pergumulan tajam yang terjadi di dalam ruang-ruang pikiran Ki Patih Mandaraka berlangsung tidak kalah hebat bila dibandingkan dengan perkelahian Nyi Ageng Banyak Patra.

Maka, walau tidak mungkin lagi dapat menjauh dari lingkaran yang terus bergesekan dan mengeluarkan daya tarik menarik sangat hebat, Ki Manikmaya menghentak kekuatannya lebih tinggi. Ia melesat, bergerak silang menyilang, selangkah kiri, selangkah kanan, namun tetap berada di atas bidang lingkaran, Ki Manikmaya mengalirkan serangan dahsyat! Sepasang lengannya bergerak, memutar dan mematuk sendi dan simpul-simpul jalan darah. Serangan yang mematikan! Nyi Ageng Banyak Patra mengimbanginya dengan elakkan dan serangan balik yang bermula dari sepasang kakinya yang bergerak lincah.

Benturan tenaga semakin menggeliat hebat ketika mereka berdua saling menggebrak dengan tata gerak yang seolah tidak beraturan. Seakan tidak beraturan dan bukan perkelahian orang-orang berkepandaian tinggi. Namun ketika melihat betis beradu betis, tumit beradu tumit, siku beradu siku, maka seseorang akan sulit mengedipkan mata ketika melihat mereka semakin terbenam dalam garis lingkar perkelahian! Ya, putaran dengan kecepatan sangat tinggi itu mampu membuat lubang yang cukup besar. Cukup untuk memuat tiga orang dewasa dengan cara berdiri! Mereka terbenam sedalam lutut namun putaran tidak berkurang kecepatan. Mereka berkelahi dalam lingkaran selebar bentangan tangan mengembang. Pertarungan yang sangat hebat!

Dua pusat tenaga membuat lingkaran yang berlawanan arah. Debu mengepul tebal dan sangat rapat hingga tidak lagi dapat dilihat jejak kaki-kaki mereka. Sekilas pandang, Ki Manikmaya dapat menilai bahwa peluangnya untuk menang menjadi semakin tipis.  Meskipun sepsang lengannya terus mendorong dan menghantam semua bagian tubuh Nyi Banyak Patra, tetapi seolah-olah serangan hebat itu berarti bagi guru Kinasih itu. Bahkan, meski terlihat lemah dalam banyak gerakan menyerang, suatu kali, Nyi Banyak Patra nyaris dapat membenamkan lima jarinya pada kepala lawan. Kemarahan bercampur rasa penasaran hampir melebihi tanggul batasan jiwani Ki Manikmaya bila ia tidak cepat teringat bahwa kelengahan adalah kematian.

Sebelumnya, Ki Manikmaya berpikir Nyi Banyak Patra tidak akan mampu mencapi tingkat yang sama dengannya. Ia tidak pernah mendengar perempuan selembut salju berkelana dari gelanggang ke gelanggang. Ia juga tidak pernah mendengar sepak terjang perempuan senja di laga peperangan sejak zaman Panembahan Senapati. Dari mana dan bagaimana musuhnya sanggup meningkatkan kemampuan sedemikian jauh dan dalam sejak dirinya terusir dari padepokan?

“Dungu!” maki Ki Manikmaya dalam hati ketika mengira Nyi Banyak Patra sedang membagi perhatian, dengan sangat senyap, Ki Manikmaya menghentikan laju, lalu sepasang tangannya mendorong tepat pada bagian dada Nyi Ageng Banyak Patra.

Paras wajah guru Kinasih memang berubah. Pancaran tenaga Ki Patih Mandaraka tiba-tiba berubah, menurun dengan sangat mencolok untuk ukuran Nyi Ageng Banyak Patra. “Apa yang sedang terjadi pada Paman Patih?” pikirnya.

Dalam waktu itu, Ki Patih Mandaraka nyaris mencapai puncak kekuatannya. Pertarungan selalu berubah-ubah irama. Ketika berlangsung begitu lambat, Kiai Plered menggaung, menggema bahkan tak jarang berdengung seperti ribuan tawon yang sedang memburu pengusik sarangnya.

Sedangkan, pada suatu kesempatan, Ki Hariman memegang cambuk dengan cara terbalik. Ia justru mengendalikan senjatanya dari ujung cambuk! Terlihat cukup aneh tetapi akibat yang ditimbulkan benar-benar di luar dugaan. Dan, dengan demikian, dengan cara yang tidak wajar maka seolah-olah Ki Patih Mandaraka sedang bertarung dengan seseorang yang menggunakan gada berekor. Orang yang menjadi penasehat Ki Ageng Pemanahan itu memutuskan untuk melipat jarak perkelahian. Seiring dengan keputusannya, Ki Patih Mandaraka meningkatkan kecepatan, tubuhnya semakin sulit diikuti oleh pandangan dan seolah lebih cepat dari bayangan setan. Maka pertarungan pun seolah terlihat seperti dua ekor ular siluman yang saling membelitkan tubuh, meremukkan tulang dan mematuk berulang-ulang. Pertarungan bergeser tempat dalam jarak dekat dengan cara luar biasa. Sekejap di sisi utara, sekejap kemudian beralih ke bagian selatan, timur, barat dan seluruh penjuru pun terjelajah sebelum mencapai hitungan napas ke dua puluh!

“Seorang pencuri yang akhirnya mampu melebihi murid Orang Bercambuk sendiri!” desis Ki Patih Mandaraka dengan nada memuji lawannya.

“Wedhus! Kau kira aku terperdaya dengan sanjunganmu?”

“Aku bicara berdasarkan yang aku lihat. Kau curi kitab itu, kau tukar isinya dengan sesuatu yang tidak berguna. Namun aku tidak bicara mengenai tujuan, aku bicara tentang kekuatan yang ada padamu sekarang,” sahut Ki Patih cukup tenang.

“Ah, persetan dengan sesorahmu! Dan tuduhanmu sama sekali sekali tidak berbukti!” Mendadak Ki Hariman menghilang! Tubuhnya bukan lenyap begitu saja, tetapi kecepatannya meningkat berlipat-lipat! Sedemikian cepat hingga Ki Patih Mandaraka tidak dapat mengikuti ekor bayangan! Ki Patih Mandaraka melebarkan jarak, tiba-tiba, sedemikian cepat dan begitu sangat cepat, senjata itu kembali pada keadaan yang wajar, lalu ujung cambuk Ki Hariman mematuk dari depan. Ujung cambuk memendarkan cahaya biru yang berkedip seperti bintang.

“Mati!” pekik nyaring Ki Hariman menghempas Sukra dan dua senapati Mataram ke ambang alam kedukaan.

“Haruskah dengan cara seperti ini Ki Patih berpulang? Serat lelayu akan menjadi mendung yang menaungi Mataram?” desis Ki Demang Brumbung dalam hati.

Begitu pula Ki Lurah Palosan yang membenamkan wajah dengan mata terpejam. “Mataram akan kehilangan pelita? Benarkah? Tidak, tidak boleh terjadi!” batin Ki Lurah Plaosan tetapi ia sadar, bagaimana caranya mencampuri perkelahian yang berada di luar jangkauan nalar? Lututnya gemetar dan seluruh permukaan kulitnya meremang!

Tidak ada yang terbit dari hati atau perasaan Sukra kecuali menyebut nama Ki Patih Mandaraka berulang-ulang. “Ki Patih…Ki Patih…Ki Patih…”

Pesan nasi kotak untuk Surabaya? Pesan di sini
Nasi Kotak Surabaya

Sulit untuk mengetahui asal mula olah gerak yang dikuasai oleh Ki Hariman. Ki Patih Mandaraka hanya memperoleh keterangan pendek dari Agung Sedayu mengenai pemikirannya tentang kitab Kiai Gringsing. Apakah berasal dari sumber yang dengan Nyi Ageng Banyak Patra yang diketahuinya bersenjata selendang dan sepasang konde dari batang kayu pohon asam? Apakah terbit dari sebuah sumber yang sama dengan Kiai Gringsing, yaitu Ki Kebo Amiluhur? Ataukah seluruh kemampuannya memainkan cambuk berasal dari kitab Kiai Gringsing? Ki Patih menolak pertanyaan terakhir. Itu sulit dan sangat sulit untuk dikuasai dalam hitungan pekan, jawabnya sendiri.

Ki Patih Mandaraka melihat serangan maut Ki Hariman akan berakhir tepat pada bagian tengah wajahnya. Tidak ada jalan untuk melemparkan diri ke samping maupun belakang. Tidak cukup waktu untuk menangkisnya dengan Kiai Plered. Tidak ada ruang di permukaan tanah untuk menjejakkan kaki agar tubuhnya mencelat tinggi. Tidak ada karena sebelah lengan Ki Hariman telah melontarkan pukulan jarak jauh yang cukup mampu mematahkan kedua lutut Ki Patih Mandaraka. Yang terasa olehnya adalah terpaan udara panas yang datang jauh lebih cepat dari ujung senjata Ki Hariman.

Ajaib dan mengejutkan! Di luar kendali Ki Patih Mandaraka, Kiai Plered seolah digerakkan dengan kehendak gaib untuk memapas serangan dengan cara beradu ujung senjata! Pada waktu itu pula, gelombang tenaga cadangan Ki Patih Mandaraka seakan menghilang! Lenyap. Musnah begitu saja. Seolah Ki Patih Mandaraka berubah menjadi orang biasa yang tidak pernah mendalami olah kanuragan. Dan itulah yang menjadi sebab pecahnya perhatian Nyi Ageng Banyak Patra!

“Paman,” lirih Nyi Ageng Banyak Patra berkata dalam hati. Sekilas suramnya duka dan kekhawatiran itu memancar lalu terlihat oleh Ki Manikmaya. Keadaan Nyi Banyak Patra pun tampat seperti membiarkan serangan Ki Manikmaya menerjang tanpa terhalang, seolah membiarkan dirinya mati di jalanan pada malam itu. Sikap Nyi Ageng Banyak Patra sepertinya bulat untuk mati bersama orang tua yang sangat dihormati oleh kakaknya, Raden Mas Ngabehi Loring Pasar.

Related posts

Menuju Kotaraja 8

Ki Banjar Asman

Pertempuran Hari Kedua 3

Ki Banjar Asman

Gerbang Demak 4

Redaksi Surabaya