“Orang tercepat di antara mereka adalah ia yang ditunggu Ki Patih,” desis Kiai Bagaswara sebelum menetapkan hati memburu Ki Sekar Tawang. Namun lintas pikirannya bergerak lebih cepat. Muncul pertimbangan lain : bahwa ia harus memastikan keadaan Agung Sedayu. “Tidak ada pergerakan yang dapat didengar dari balik kabut,” pikirnya.
Untuk benar-benar dapat mengikat tiga lawan, sudah barang tentu bukan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan mudah. Keadaan Agung Sedayu menjadi beban perasaan dan pikiran Kiai Bagaswara. Oleh karena itu ia tidak lagi menimbang pikiran lebih lama. Segenap kemampuannya telah mencapai lapisan puncak. Hawa Kiai Santak sangat mempengaruhi ketahanan jiwani tiga lawan Kiai Bagaswara. Bagaimana mungkin sebuah senjata dapat mengeluarkan udara dingin dan panas secara bergantian dan dalam waktu yang sangat cepat? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dalam jalan-jalan pikiran anak buah Raden Atmandaru.
Walau ada rasa gentar tetapi setiap orang dari mereka mempunyai kepercayaan diri tinggi untuk menekan tandang Kiai Bagaswara, hanya saja, ketiganya juga mempunyai alasan untuk mengambil jalan mundur. Ketegangan telah menurun, tetapi pada saat-saat seperti itu, Kiai Bagaswara tidak membiarkan dirinya terbawa keadaan. Sekejap kemudian ia berkelebat menyambar setiap lawannya dengan Kiai Santak yang terus menerus berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan. Sekali waktu tenaga cadangan Kiai Bagaswara mengubah suara berdecit menjadi suara lebah yang berdengung hebat.
Pikiran Kiai Bagaswara terbagi karena suasana yang menyelimuti Agung Sedayu masih begitu gelap. Mungkin Agung Sedayu terbelit kesulitan yang luar bisa, tetapi sekali lagi, tia anak buah Raden ATmandaru belum sepenuh terhalau dari Slumpring.
Gagak Panji pun kemudian menceritakan isi pertemuannya dengan Raden Trenggana. Ia tidak melewatkan satu bagian pun termasuk keadaan di dalam bilik khusus yang ditempati Raden Trenggana. Hyang Menak Gudra bertukar pandang dengan Mpu Badandan ketika Gagak Panji mengatakan pesan khusus Raden Trenggana.
Agung Sedayu harus selamat! Tekad Kiai Bagaswara terpancang dalam hati.
Tubuh Kiai Bagaswara mendadak lenyap, dan seorang diri ia benar-benar berkemauan sangat kuat untuk memukul mundur tiga lawannya. Kebisingan yang ditimbulkan Kiai Santak semakin menjadi-jadi. Kelebat senjata pusaka itu demikian hebat hingga angin yang berasal darinya terasa seperti benda tajam yang sanggup memotong sebatang besi!
Sama hal dengan Kiai Bagaswara, Ki Sekar Tawang pun sedikit banyak juga memperhatikan perkembangan keadaan di sekitar Agung Sedayu. Kabut masih berputar lambat tetapi ketebalan belum berkurang. Dalam pikirannya, bukan masalah gampang jika menerobos selimut kabut. Namun siapa yang tahu keadaan Agung Sedayu sebenarnya? Ia bisa saja tengah mempersiapkan diri dengan gebrakan yang lebih dahsyat atau memang telah mati. Ki Sekar Tawang melompat panjang, memilih untuk menjauh dengan tujuan agar dapat mengamati sekitar Agung Sedayu, tetapi, itu harus dibatalkan karena terjangan Kiai Bagaswara.
Ki Sekar Tawang singkat mengambil keputusan, bahwa ia harus meninggalkan Slumpring dan Agung Sedayu yang masih dirundung ketidakjelasan. Pikirnya, kesempatan meraih puncak Mataram tidak harus diawali dengan kematian pemimpin pasukan khusus. “Ia hanya masalah biasa saja bila aku berada di samping Raden Atmandaru kelak. Sebagai tumenggung atau patih, urusan Agung Sedayu hanya seujung kuku hitam,” katanya dalam hati. Maka ia meloncat sekali lagi untuk menghindari serangan tajam Kiai Bagaswara.
Harapan Kiai Bagaswara seperti menjadi kenyataan ketika perkelahian semakin longgar. Meski Ki Sekar Tawang terkadang menyerang dari jarak jauh dengan serangkum angin yang cukup hebat, tetapi serangan itu tidak diikuti oleh terjangan ganas dari dua kawannya. Ki Krembung Wantah dan Ki Patak Ireng sesekali menyerang Kiai Bagaswara dari arah yang berlainan, namun begitu, usaha mereka hanyalah pancingan. Pengalih perhatian agar pikiran Kiai Bagaswara tidak terpusat pada Agung Sedayu. Mereka mengetahui itu dari bahasa tubuh dan wajah Kiai Bagaswara yang kerap berpaling pada kabut yang membungkus rapat Agung Sedayu. Sedikit banyak mereka berharap kematian benar-benar mendatangi Agung Sedayu. Dan apabila itu terjadi, bukankah semakin mudah menyingkirkan Panembahan Hanykrawati?
Longgarnya kepungan dan berkurangnya kecepatan dari serangan-serangan lawan mempengaruhi Kiai Bagaswara. Lelaki sepuh — yang menjadi teman pengintaian Sukra – turut mengendur. Bentangan jarak yang cukup jauh dari Agung Sedayu memberinya pertimbangan untuk mengurangi tekanan.
Sepasang mata yang menyaksikan perkelahian — yang tak lagi seru tapi masih sangat menegangkan — dengan rongga dada berguncang. Suasana berubah begitu tajam dan mengundang rasa khwatir padanya. “Bila keadaan tetap begini dan semakin lapang, sulit bagiku untuk mendekati Ki Rangga,” bisiknya dalam hati. Ia mengalihkan pandangan pada tempat Agung Sedayu. Sambil mengerutkan kening, ia menduga-duga keadaan senapati Mataram itu.
Ia membutuhkan waktu sangat singkat sebelum menyiapkan diri untuk membuat gerakan. Ketika ia mengetahui kedudukan Kiai Bagaswara yang membelakanginya, dengan serta merta, dengan kecepatan luar biasa, ia melesat menuju kabut tebal yang menjadi penutup rapat tubuh Agung Sedayu. Lengan yang terjulur darinya mengeluarkan serangkum angin dahsyat yang sanggup menyibak kabut – walau sedikit. Kabut terbelah dan sebuah celah menjadi jalan masuk baginya!
Gerakan kilat itu benar-benar tidak diketahui oleh Kiai Bagaswara!
Itu di luar perkiraannya!
Selain jarak puluhan langkah yang memisahkannya, juga pergerakan yang sama sekali tidak menimbulkan suara meski sepasang kaki orang itu menginjak dedaunan kering!
Begitu pula tiga lawannya yang tidak melihat gerakan yang dilakukan secara cerdas! Betapa orang, yang menyusup masuk ke dalam selimut kabut, benar-benar telah menghitung waktu dan tenaga yang terukur sehingga tidak ada ledakan ketika ia membelah kabut ciptaan Agung Sedayu. “Bagus! Ia masih hidup!” serunya gembira dari dalam hati. Sepasang mata yang segera berbinar-binar ketika tepat memandang Agung Sedayu yang terkulai. Dua aliran darah keluar dari rongga hidung senapati Mataram, dan dua lagi keluar dari lubang pendengarannya. Dalam keadaan itu, si penyusup tidak ragu-ragu ketika memindahkan tubuh lemas Agung Sedayu ke salah satu bahunya.
Dalam waktu bersamaan, ketika pertempuran tidak seimbang dari jumlah menjadi semakin longgar, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang sangat hebat!
Kabut yang membungkus rapat tubuh Agung Sedayu mendadak pecah berhamburan!
Sekelebat bayangan terlihat berlari cepat, membelah tanah lapang yang sempit lalu memasuki hutan yang akan berujung di batas luar Kademangan Sangkal Putung.
Kiai Bagaswara berusaha mengejar tetapi Ki Patak Ireng segera menghalangi jalannya. Serangan beruntun tiba-tiba datang bergelombang, menerjang Kiai Bagaswara seperti amukan badai di tengah lautan.
Kesempatan baik yang tidak dilewatkan oleh Ki Sekar Tawang. Ia segera menjauh dengan kecepatan yang rasanya sulit ditandingi oleh Kiai Bagaswara yang terkejut ketika melihat tubuh Agung Sedayu lenyap! Berbagai pikiran muncul di dalam benaknya. Ia tidak mengetahui cara penyusup itu menerobos kabut tebal Agung Sedayu. Dan peristiwa itu tidak termasuk dalam siasat yang dirancang Raden Atmandaru bersamanya. “Tidak mungkin Swandaru menyelamatkan Agung Sedayu. Sangat tidak mungkin. Selama Agung Sedayu masih hidup, selama itu pula Swandaru berada di bawah bayangannya. Sedangkan Swandaru menghendaki kedudukan yang lebih baik dari kakak seperguruannya, lalu, siapakah oran gitu?” Ki Sekar Tawang sulit mengenali bentuk tubuh orang yang memanggul tubuh Agung Sedayu. Begitu cepat dan suasana masih remang-remang. Satu hal yang menggembirakannya adalah ia dapat segera berada di Mataram untuk meneruskan rencana-rencana sebelumnya.
Ki Krembung Wantah meningkatkan kemampuannya sangat tajam. Ia mengikuti langkah Ki Patak Ireng yang melabrak Kiai Bagaswara begitu hebat. “Bila aku beruntung, aku dapat merebut kerisnya. Senjata yang sangat sudah sepantasnya menjadi milikku,” ucapnya dalam hati.
Tetapi perkelahian tidak berlangsung lama ketika Ki Patak Ireng memberi tanda yang hanya dimengerti oleh kawannya. “Sial!” geram Ki Krembung Wantah tetapi ia tidak membantah perintah yang tersirat pada tanda yang diberikan Ki Patak Ireng. Pikirnya, bangsal pusaka Mataram tentu juga dipenuhi benda mustika yang selapis dengan Kiai Plered.
Dengan demikian, perkelahian tiga orang itu semakin longgar, Kiai Bagaswara tidak lagi tertarik untuk membendung atau meringkus mereka. Gelisah segera mencekam jantung dan hati Kiai Bagaswara. Bagaimana itu dapat terjadi? Agung Sedayu luput dari pengamatannya? Sesuatu yang tidak masuk akal, pikiran Kiai Bagaswara dipenuhi dengan pernyataan dan pertanyaan seperti itu. Maka ia memilih untuk menghindar sambil menunggu waktu untuk mengikuti jejak orang yang meledakkan kabut.