Perhatian Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka sulit teralihkan meski udara yang menggema di dalam telinga mereka makin jelas terdengar seolah suara bergumam. Keadaan sangat terbuka dan sulit membedakan antara angin yang wajar berhembus dengan kekuatan asing yang meliuk-liuk.
Mereka berempat berada di dataran yang diapit perbukitan dan Gunung Merapi.
Dalam waktu itu, Agung Sedayu berpikir bahwa segala yang dikatakan oleh dua pengikut Raden Atmandaru bertujuan untuk menjebaknya. Mengadu dirinya dengan Ki Patih Mandaraka. “Apakah aku harus menyesali pertemuan dengan Ki Tunggul Pitu pad ahari-hari kemarin?” Agung Sedayu bertanya pada dirinya. Ia ingin melupakan dan berharap yang berlalu adalah kekeliruan.
Sikap Agung Sedayu belum menunjukkan perlawanan, tetapi ia cukup terkesan dengan kekuatan yang diperagakan oleh teman Ki Tunggul Pitu. “Mungkinkah orang itu benar-benar mampu menguasai Kiai Plered?” kembali Agung Sedayu bertanya dengan tujuan agar ia segera dapat menentukan jalur tata gerak. Yang pasti adalah hawa dingin semakin tajam mengiris kulit, sekali waktu, tenaga gaib seolah berusaha membetot tulang punggung lalu merobek kulit dari dalam. Usia pemegang Kiai Plered mungkin sepantaran dengan Ki Waskita, duga Agung Sedayu. Tentu pengalamannya tidak berbeda dengan Ki Waskita.
Sepanjang waktu itu, tatap mata teman Ki Tunggul Pitu tidak lepas dari wajah Agung Sedayu. Ia dapat melihat urat wajah senspati pasukan khusus sedang mengeras.
“Tidakkah engkau menaruh curiga?” tanya Agung Sedayu pada Ki Tunggul Pitu.
“Oleh sebab apa?”
“Apakah menurutmu seseorang dari kalian tidak akan mengkhianatimu?”
“Mengapa harus begitu?”
“Hanya pertanyaan,” kata Agung Sedayu datar. Mendadak AGung Sedayu mengibaskan lima jari ke arah kawan Ki Tunggul Pitu yang berdiri lebih jauh daripada Ki Tunggul Pitu. Gerakan yang sangat cepat. Bahkan sangat hebat! Tidak ada debu yang mengepul ketika sepasang kaki Agung Sedayu menjejak!
Terdengar orang bersuit sangat nyaring, memecahkan keheningan jalanan Slumpring. Kawan Ki Tunggul Pitu melontarkan tubuh, menjauh, sambil memandang Agung Sedayu dengan raut wajah membatu. Meski tidak tersentuh pukulan Agung Sedayu, napas lelaki itu terdengar putus-putus. Sepertinya ia terkejut, dan Agung Sedayu membuat dugaan atas perkembangan itu.
Agung Sedayu sekali melepas pandangan mata, tertuju pada sikap tubuh dan sorot mata kawan Ki Tunggul Pitu. Mulanya, ia berpikir bahwa perubahan udara terjadi karena dengan salah satu sebab adalah kehadiran Kiai Plered secara telanjang. Itu dursila, batin Agung Sedayu. Ia memusatkan perhatian tertuju pada lengan kawan Ki Tunggul Pitu. Ketika jemari itu terlihat melonggar, Agung Sedayu melesat deras, melayang dengan kibasan tangan berlambar tenaga wadag.
Itu tidak cukup!
Kawan Ki Tunggul Pitu melolong panjang. Sementara Ki Patih Mandaraka takjub dengan gerakan Agung Sedayu yang nyaris terlihat menyamai kilat. Sejurus kemudian, mereka berempat telah beralih kedudukan. Mereka melingkar dengan pandangan saling menekan dan mengancam. Mungkin mereka tengah bersiap untuk sebuah pertarungan.
“Ki Sanak,” ucap Agung Sedayu pada kawan Ki Tunggul Pitu. “Ketika engkau memutuskan tidak menyebutkan nama atau gelar, aku telah memutuskan untuk memberimu hukuman. Ini terkait dengan kedudukan Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Hanykrawati. Aku ingin memberitahumu, bahwa kedatanganmu di Sangkal Putung tidak pada waktu yang tepat. Mungkin engkau akan terbunuh di tempat ini. Bukan aku atau Ki Patih. Engkau dan kawanmu banyak menghina kami, orang Mataram. Aku pikir cukup, itu sudah cukup melampaui batasan.”
“Ki Juru, engkau tidak boleh percaya pada ucapan Agung Sedayu. Ia sedang mencoba membesarkan hatimu. Ki Juru, engkau harus menimbang segala sesuatu dengan pengalaman dan wawasanmu,” kata kawan Ki Tunggul Pitu dengan suara meyakinkan. Ia mengulurkan Kiai Plered. Ia hanya merasa dengan meyakinkan Ki Patih Mandaraka maka lapanglah perjalanan Raden Atmandaru.
Dua penghadang menggeser langkah, membuat jalur setengah lingkaran bersama Kiai Plered yang menyentuh permukaan jalan. Udara terasa semakin penuh keganjilan. Kesunyian menghempas mereka yang tengah berkecamuk dengan sikap dua orang yang menjadi ancaman. Ki Juru Martani harus disingkirkan. Bunuh! Perintah itu kembali menggaung di dalam pendengaran mereka.
Dalam waktu itu, dua pihak menyadari bahwa jarak kematian semakin dekat.
Ki Patih Mandaraka membelah sunyi dengan tenang, katanya, “Untuk terakhir kali, aku minta, sebutkan namamu!”
Getar tenaga cadangan sesepuh Mataram merambat bersama suaranya, menghantam tepat di depan jantung kawan Ki Tunggul Pitu. Namun lelaki itu justru mengambil sikap yang dipandang Agung Sedayu sebagai wujud kepongahan. Pemimpin pasukan khusus Mataram sengit menatap bawahan Raden Atmandaru. Cara pandang Agung Sedayu seperti rajawali yang sedang memilih korban!
Kiai Plered naik sejengkal di tangan kawan Ki Tunggul Pitu. Keadaan sangat gelap tetapi tidak mampu menutup kilau yang perlahan memancar dari ujung Kiai Plered.