Sebuah unggahan video menjadi viral di media sosial mengenai sejumlah santri yang sedang antre vaksinasi massal menutup telinganya karena ada musik yang diputar di ruang itu. Musik telah menjadi kehidupan sehari-hari, namun hukumnya telah lama menjadi perdebatan. Terdapat beberapa ulama yang mengharamkan dan sebagian ulama lainnya membolehkan. Persoalan hukum musik merupakan contoh kecil dari sekian banyak perbedaan pendapat umat Islam dalam bidang fiqih, politik, tasawuf, aqidah, atau aspek-aspek lainnya. Memahami berbagai aliran atau mazhab akan memudahkan identifikasi ideologi dan nilai yang diyakini oleh setiap kelompok sehingga tidak mudah melakukan labelisasi. Pada zaman Rasulullah, berbagai perbedaan pandangan dikonsultasikan secara langsung kepadanya, namun sepeninggal beliau perbedaan pandangan mulai muncul hingga akhirnya membentuk aliran, mazhab, atau submazhab.
Di Indonesia, sebagian besar Muslim mengikuti pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah dengan aqidah Asy’ariyah; mazhab Syafi’iyah dalam bidang fiqih; dan meyakini kebolehan bertasawuf dengan mengikuti ajaran Imam Al-Ghazali. Perpecahan serius umat Islam dimulai ketika terjadi perang Shiffin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Syam Muawiyah, yang tidak mau tunduk kepada kepemimpinan khalifah Ali di Madinah.
Dalam pertempuran, pasukan Muawiyah hampir kalah sampai akhirnya Amru bin Ash mengangkat Al-Qur’an di atas tombak untuk menghentikan pertempuran dan maju ke perundingan. Sayangnya, dalam perundingan pihak Ali dirugikan. Orang-orang yang tidak mau mengikuti tahkim (perundingan) memisahkan diri dan kemudian disebut sebagai kelompok Khawarij. Kelompok ini berpendapat orang-orang yang mengikuti tahkim wajib dibunuh karena tidak menggunakan hukum Allah. Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang taat beribadah, namun mereka sangat tekstualis dalam memaknai dalil-dalil agama. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh pengikut Khawarij Abdurrahman bin Muljam. Ia hafal Qur’an, jika malam hari rajin shalat tahajud, dan siang harinya berpuasa.
Hingga kini, pemikiran ala Khawarij tetap ada di dunia Muslim yang kemudian disebut sebagai neo Khawarij yang gampang sekali mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya, termasuk melakukan tindakan bom bunuh diri atas nama agama.
Perpecahan umat Islam di periode awal didasari oleh perbedaan politik, termasuk munculnya kelompok Syiah yang beranggapan bahwa yang berhak menjadi penerus Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. Pertentangan politik tersebut selanjutnya berdampak pada masalah doktrin-doktrin agama karena perbedaan rujukan dan metodologi. Syiah tidak mengakui hadits-hadits yang diriwayatkan oleh selain Ahlul Bait atau keluarga Nabi. Syiah sendiri kemudian terbagi-bagi dalam Syiah Ghulat, Zaidiyah, Ismailiyah, dan Itsna asyariyah.
Selanjutnya, ketika wilayah kekuasaan kerajaan Islam meluas, terdapat persentuhan dengan budaya dan pemikiran lain termasuk filsafat Yunani yang sangat menghargai akal dan rasio. Ulama yang mempelajari filsafat kemudian menggunakan pendekatan rasional dalam memaknai ajaran-ajaran Islam. Kelompok yang mengedepankan akal ini disebut Mu’tazilah. Kelompok paling dominan dalam dunia Islam adalah Sunni atau Ahlusunnah wal Jama’ah yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad.
Dalam sisi aqidah, kelompok Sunni mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi sedangkan dalam aspek fiqih, mengikuti pendapat empat mazhab, yaitu Maliki, Hambali, dan Hanafi. Dalam satu mazhab pun, seperti Syafiiyah misalnya, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama pengikutnya pada soal-soal tertentu.
Pengelompokan lain masih dapat dibuat atas berbagai kategori yang sangat beragam, namun jika dirunut lebih jauh, tetap memiliki akar dari kelompok besar yang sudah ada sebelumnya seperti Sunni, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lainnya.
Dengan adanya berbagai aliran, mazhab, dan kelompok, menjadi sangat penting bagaimana menyikapi perbedaan itu. Upaya memaksakan kebenaran tunggal merupakan tindakan yang mustahil. Kelompok radikal menganggap bahwa selain kelompoknya dianggap kafir dan sesat sehingga boleh dibunuh. Kelompok ini berpendapat hanya alirannya yang benar dan masuk surga. Di sisi ekstrem lain, terdapat kelompok liberal yang menganggap inovasi-inovasi baru yang menyimpang dari ajaran pokok Islam tetap diperbolehkan seperti kelompok Al-Qiyadah al-Islamiyah, Salamullah (Lia Eden), Inkarus Sunnah, dan lainnya. Bagi kelompok ini, kebenaran sifatnya relatif dan nisbi.
Kelompok Islam moderat berpendapat, perbedaan dalam masalah furuiyah atau masalah cabang-cabang agama diterima, namun jika sudah menyangkut pokok-pokok ajaran Islam seperti mengaku sebagai nabi baru atau mendapat wahyu dari Jibril, dianggap sudah keluar dari ajaran Islam. Persoalan muncul terkait hubungan antara agama dan negara. Negara tidak mengurusi soal keyakinan seseorang mengingat hal tersebut dianggap sebagai persoalan pribadi.
Masalah terjadi ketika satu kelompok mengklaim sebagai bagian dari agama Islam, tetapi kelompok mayoritas menilainya sudah menyimpang dari ajaran pokok seperti pada aliran Ahmadiyah, padahal negara melindungi kebebasan berserikat, berkumpul, dan memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut keyakinannya. Keberadaan kelompok seperti Ahmadiyah sampai sekarang belum menemukan titik temu dan menjadi persoalan sosial ketika ada kelompok konservatif yang kemudian membakar, melakukan tindakan kekerasan, atau pengusiran pengikut Ahmadiyah atas nama Islam. Sayangnya negara masih bersikap ambigu dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Persoalan-persoalan khilafiyah yang sifatnya furuiyah pun kembali menjadi perdebatan seiring dengan munculnya internet dan media sosial. Kini semua orang merasa menjadi ahli dan bisa mengomentari masalah agama. Masalah ziarah kubur, doa qunut, shalawatan, memanjangkan jenggot, celana cingkrang, burqa, dan lainnya menjadi perdebatan panas antarwarganet.
Era Orde Lama, beberapa soal tersebut pernah menjadi diskusi yang sengit, tetapi kemudian muncul kesadaran untuk saling menghargai perbedaan pendapat dan pandangan. Sayangnya, beberapa ustadz baru kurang bijak berdakwah dengan memperuncing perbedaan dalam pembahasan hal-hal yang sudah dianggap sebagai masalah khilafiyah yang mana seharusnya setiap Muslim dihargai pilihan pendapat yang dianutnya.
Pada kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama atau ingin meruntuhkan bangunan negara kebangsaan Indonesia maka aparat pemerintah mesti bersikap tegas. Untuk dapat menjalankan ibadah dan hidup dengan baik, maka keamanan negara perlu terjamin. Kelompok-kelompok yang menggunakan kebebasan yang diberikan oleh negara untuk merongrong kebebasan itu sendiri tidak boleh dibiarkan.
Dengan memahami berbagai aliran dalam Islam, kita dapat mengidentifikasi ideologi, ajaran, dan tindakan setiap kelompok. Mungkin ada derivasi-derivasi kecil yang terkait dengan konteks zaman dan lokalitas dari kelompok yang baru muncul, namun gambaran besarnya tetap tidak jauh berbeda dari kelompok besar yang sudah ada sebelumnya.
Dengan demikian kita dapat mengambil sikap dan kebijakan yang tepat. Bagi umat Islam, pemahaman terhadap aliran-aliran agama menjadi dasar untuk menumbuhkan toleransi intraagama. Nahdlatul Ulama meyakini bahwa ajaran-ajaran yang diyakini dan dijalani sangat otoritatif yang didasarkan pada Al-Qur’an, hadits ,ijma, dan qiyas. Namun demikian, NU tidak pernah memaksakan keyakinannya kepada kelompok lain. Dengan saling menghargai, maka akan muncul harmoni dalam ukhuwah Islamiyah. (Achmad Mukafi Niam)