Lembah Merbabu 21

oleh

Salah satu kelebihan ilmu Kapuk Rangsang adalah seluruh tubuh pemiliknya akan menjadi lunak dan empuk, lalu setelah terjadi persentuhan bagian tubuh maka ilmu ini akan merangsang semua tenaga inti lawan menjadi liar dan tidak terkendali. Tenaga inti yang berasal dari Kapuk Rangsang akan menyusup memasuki sentuhan itu dan menjalar cepat pada setiap pembuluh darah dan membuat kekacauan di dalamnya. Bagi orang berkepandaian tinggi, ilmu Kapuk Rangsang akan menjadi sebab kelumpuhan seluruh bagian tubuhnya. Dan oleh karena bahaya yang ditimbulkan oleh ilmu ini, maka Linduk Sengkelat memutuskan untuk menulis sembilan bagian dari yang ia ketahui tentang Kapuk Rangsang.

Kitab yang memuat sebagian isi ilmu Kapuk Rangsang kemudian ia serahkan pada Ki Ageng Pengging sebelum Linduk Sengkelat pergi untuk selamanya. Dan karena pergaulan yang luas ditambah kedekatan hubungan antara keluarganya dengan Ki Ageng Pengging, serba sedikit Pangeran Parikesit dapat mengerti watak ilmu Kapuk Rangsang. Sekali-kali ia membaca kitab itu bersama Ki Ageng Pengging tetapi sesuai pesan Linduk Sengkelat, Ki Ageng Pengging tidak memberi izin pada Pangeran Parikesit untuk mempelajarinya.

Pangeran Parikesit telah mengenal segala kelebihan ilmu Kapuk Rangsang, maka ia cermat memperhitungkan daya gedornya. Tiba-tiba saja kepal tangannya menjadi sangat dingin dan seolah membeku saat menyentuh telapak Batara Keling. Batara Keling terkejut bukan kepalang tatkala tenaga inti yang berasal dari Kapuk Rangsang justru berbalik arah dan melawan arus tenaga yang ia dorong keluar. Arus tenaga itu memukul balik dan bagian dalam tangan Batara Keling terasa seperti tertusuk pedang hingga pangkal bahunya.

Dalam keadaan tubuh masih melayang, Pangeran Parikesit kembali melakukan peralihan watak dari tenaganya. Seketika kepal tangannya yang membeku menjadi lunak dan pada saat bersamaan Batara Keling merasa tenaga intinya mengalir keluar di luar kendalinya. Pangeran Parikesit menghisap bagian penting Kapuk Rangsang, namun ia melepaskan sentuhan tangannya sebelum aliran Kapuk Rangsang memasuki pembuluh darahnya. Yang terjadi kemudian adalah tenaga inti Batara Keling merayap keluar melalui telapak tangannya dan terlontar secara sembarangan ke semua arah. Rangkaian tenaga inti itu menghantam batu, pohon, tanah dan udara kosong karena Batara Keling tidak lagi mampu mengatur tangannya yang bergerak liar.

Pangeran Parikesit dengan cepat menjejakkan kaki ke tanah dan melejit ke arah Rambesaji lalu menarik tubuhnya menjauh dari Batara Keling. Seperti melempar seonggok barang yang tidak terpakai, Pangeran Parikesit dengan ringan melepas cengkeramannya dari pundak Rambesaji yang kemudian tergolek tak berdaya di bawah kaki pangeran. Katanya, ”Rambesaji, sebenarnya aku ingin memberimu hukuman mati.” Ia melirik Batara Keling yang terikat kesulitan mengendalikan gerakan sementara kakinya masih terkunci akibat terhimpit pada bagian dalam oleh tenaga inti Pangeran Parikesit.

“Ampun, Pangeran,” Rambesaji mengiba, ”biarkan saya untuk menjalani satu kesempatan lagi.”

Pangeran Parikesit tajam menatapnya, lalu katanya, ”Aku mempunyai seorang cucu yang aku yakini ia masih hidup saat ini. Dan ia akan dapat bertahan meskipun aku belum mengetahui keberadaannya. Oleh karena itu, aku membutuhkanmu untuk memperkaya wawasannya. Lalu kau dapat meracuninya dengan berita-berita bohong tentang eyang buyutnya dan semua keluarganya yang pernah kau katakan sebagai pengecut.

“Dan bila waktu itu telah tiba baginya, kau pun tidak akan sanggup melawannya.“

“Ampun, Pangeran!” desah pelan Rambesaji yang masih terbaring diatas rerumputan layu.

Pangeran Parikesit menarik napas dalam-dalam. Dengan dahi berkerut ia berkata, ”Apakah aku harus melumpuhkan seluruh ilmu yang kau miliki? Dan kau akan berjalan-jalan di atas tlatah Demak sebagai orang yang lemah karena aku bermimpi bahwa setiap orang yang pernah kau sakiti dapat membalaskan dendam. Mereka akan meludah di atas wajahmu, anak-anak kecil akan melemparimu dengan batu-batu jalanan, dan para perempuan akan memenuhi seluruh ruang kepalamu dengan penghinaan. Aku membayangkan bahwa itu adalah pemandangan yang sangat indah.”

“Ampun, Pangeran!” pinta Rambesaji yang tiba-tiba menangis dengan tangis yang mengguncang dada.

Sang pangeran lalu mengerling pada Batara Keling yang mulai kehabisan tenaga, saudara seayah Raden Fatah itu kemudian meneruskan ucapannya ketika mengalihkan tatap mata npada Rambesaji, ”Membawamu ke saudara seperguruanmu lalu menyerahkanmu pada mereka pun bukan gagasan yang buruk. Mereka akan senang bila kau kembali pada lingkungan yang kau khianati. Saudara-saudara seperguruanmu tentu sudah melupakan tentang perbuatanmu pada gurumu, bukan begitu Rambesaji?”

No More Posts Available.

No more pages to load.