Keadaan di dalam ruangan seketika menjadi hening. Ki Getas Pendawa dan Pangeran Parikesit tampaknya memilih untuk menunggu ayah kandung Pangeran Benawa mengungkap rencana. Sekali-kali mereka mengalihkan tatap mata pada Ki Kebo Kenanga yang terlihat begitu tenang. Namun mereka mengerti di balik ketenangan itu, ada selarik petir yang siap meledakkan Merapi.
Wajah tegang Adipati Hadiwijaya memperlihatkan kegigihannya untuk mencari jalan keluar yang damai. Sejurus kemudian, ia berkata, ”Saya tidak mungkin membatalkan kepergian ke Demak. Pembatalan justru akan menjadikan Demak mudah diguncang oleh berita apapun. Menurut saya, ayahanda pun tidak mungkin membatalkan rencananya untuk menaklukkan Panarukan.”
“Betul,” kata Ki Kebo Kenanga tegas. Sementara Ki Getas Pendawa dan Pangeran Parikesit mengangguk setuju.
“Untuk sementara waktu, saya telah mewakilkan Pajang pada Ki Tumenggung Sambaga. Dan saya akan pergi ke Demak bersama Ayah,” kata Adipati Hadiwijaya seraya menoleh pada Ki Kebo Kenanga untuk persetujuan.
“Ki Tumenggung Sambaga?” bertanya Ki Kebo Kenanga.
Adipati Pajang mengangguk dan katanya, ”Saya telah mengambil sumpahnya sebagai tumenggung dalam upacara kecil dua hari yang lalu.”
“Angger Adipati, sebenarnya aku lebih mempunyai kepen-tingan di Demak jika dibandingkan dengan ayahmu,” Pangeran Parikesit berkata kemudian.
Ki Kebo Kenanga mengangguk pelan.
Sementara Adipati Hadiwijaya mempunyai lintasan prasangka yang ia sendiri berharap bahwa dirinya akan salah. Namun kemudian ia merasa lega bahwa ternyata ia memang salah menduga ketika Pangeran Parikesit mengutarakan keinginannya, ”Aku ingin bertemu dengan Raen Trenggana untuk menyatakan keberatan terhadap rencananya menyerang wilayah timur.”
“Bukankah keberatan itu terlambat apabila dibandingkan dengan persiapan ayahanda yang telah siaga sepenuhnya?” Adipati Hadiwijaya mengernyitkan keningnya.
“Tidak ada yang terlambat jika dibandingkan dengan ribuan nyawa yang akan hilang di medan perang.” Pangeran Parikesit kembali ke tempat duduknya. Ia menghirup udara bersih dengan penuh perasaan. Lantas ia berkata lagi, ”Ki Kebo Kenanga dan Ki Getas Pendawa tetap berada di Pajang, lalu aku akan menyertaimu.”
“Aku kira itu adalah usul yang tepat, Adipati,” Ki Getas Pendawa berkata.
Adipati Hadiwijaya merenungi usul Pangeran Parikesit, sejenak kemudian ia berkata, ”Baiklah. Tidak ada keberatan mengenai saran dari eyang Parikesit. Tetapi saya minta kita semua terlihat berangkat menuju Demak. Lalu ayah serta paman Getas Pendawa dapat kembali ke sini setelah keadaan memungkinkan.”
Tiga nama yang disebut Adipati Hadiwijaya mengangguk setuju. Mereka mengerti bahwa siasat itu sengaja dilakukan oleh penguasa tertinggi Pajang untuk mengelabui petugas sandi dari kelompok yang berseberangan.
Demikianlah ketika matahari telah bergeser menuju tangga pertama untuk turun dari tempatnya, rombongan Adipati Hadiwijaya bergerak meninggalkan istana Pajang.
Benarlah perkiraan Adipati Hadiwijaya bahwa beberapa pasang mata lekat mengawasi mereka sejak keluar dari regol istana.
“Adipati itu membawa semua penasehatnya. Tetapi Kiai Rontek telah berada di batas luar kota,” berkata seorang petugas sandi kelompok penentang.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Lainnya” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]
“Tidak selamanya orang licik itu dapat dipercaya, Ki Gurasan” sahut kawannya yang bertubuh agak gemuk.
“Kau benar,” kata Ki Gurasan, ”mungkin mereka sengaja menjebak kita di dalam lingkungan istana. Karena seharusnya mereka keluar bersama para prajurit untuk mencari anak Mas Karebet.” Ki Gurasan mendengus kemudian berkata lagi, ”Marilah, kita pergi dari sini dan mengikuti mereka.”
“Lalu bagaimana dengan anak itu?”
“Kita tidak tahu di mana letak persembuyiannya,” jawab Ki Gurasan sambil menarik lengan temannya bergegas membayangi iring-iringan Adipati Hadiwijaya.
Kepergian Adipati Pajang beserta rombongan memang tidak menarik perhatian. Mereka mengenakan pakaian prajurit dengan sedikit tanda kebesaran, bahkan Adipati Hadiwijaya mngenakan tanda pangkat seorang rangga. Dengan jumlah tak lebih dari sepuluh orang, maka tak lama kemudian mereka telah mencapai tapal batas kota.