SuaraKawan.com
Hukrim

Kejaksaan Jember Serius Selidiki Kasus Tanah Kas Desa Gambiran

Kejaksaan Negeri Jember, Jawa Timur, tengah menyelidiki laporan kasus tanah kas Desa Gambiran, Kecamatan Kalisat. Sejumlah perangkat desa dan warga sudah dimintai keterangan.

Hal ini dikemukakan Kepala Seksi Intelijen dan Humas Kejaksaan Negeri Jember, Agus Budiarto, Kamis (21/1/2021) pagi. “Informasinya masih pengumpulan data dan bahan keterangan di Seksi Pidana Khusus. Belum penyidikan,” katanya.

Pemeriksaan ini diperkirakan membutuhkan waktu satu sampai dua bulan. “Mohon doanya mudah-mudahan bisa cepat, karena kami juga ada kegiatan lain,” kata Agus.

Saat ini, kejaksaan sedang menangani tiga kasus dugaan korupsi saat ini. “Dua kasus Pasar Manggisan dan satu kasus Gambiran ini,” kata Agus.

Kasus dugaan penyalahgunaan sewa tanah kas Desa Gambiran ini dilaporkan Syahrawi, salah satu warga Jember. Tanah kas desa itu berupa empat gumuk atau bukit. “Akhir Desember 2019, ada sosialisasi wacana pembangunan taman pemandian kepada warga. Tapi faktanya, pada Januari 2020, gumuk itu diambil batu dan pasirnya oleh penambang. Info yang beredar, gumuk itu dijual Rp 60 juta per gumuk. Jadi totalnya Rp 240 juta,” katanya.

Syahrawi mencari informasi, ternyata uang penjualan gumuk itu tidak masuk ke kas desa. “Kami pernah klarifikasi ke Pak Kades. Beliau mengatakan, sepeser pun tidak pernah terima uang dari gumuk itu. Bahasa Pak Kades, ini mau diratakan karena mau dibuat taman wisata kolam renang,” katanya.

Syahrawi mengatakan, dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan, bahwa tanah kas desa harus dilelang dulu. Hasilnya harus masuk ke kas desa. Ia kemudian melapor ke kejaksaan. “Alhamdulillah, kami berterima kasih, sampai hari ini telah banyak pihak yang dipanggil sebagai saksi. Ada sekitar 20 orang yang dipanggil,” katanya.

Kepala Desa Gambiran Dwi Purbadi membantah tuduhan itu. “Tidak, saya tidak jual, Mas. Itu kerjasama perataan gumuk untuk wisata desa,” katanya.

Menurut Purbadi, tidak ada nominal uang di sana. “Karena (gumuk) itu memang diratakan, dan kalau sudah rata, kami mau buat wisata desa,” katanya. Wisata desa itu untuk tempat main anak-anak, pasar desa, pabrik jamur, dan lain-lain. Soal material bebatuan gumuk setelah diratakan, Purbadi mengaku tidak tahu. Dia meminta pihak lain untuk meratakan gumuk, karena pemerintah desa tidak punya alat untuk melakukannya. Pihak yang meratakan gumuk itu dibayar dengan batu-batu tersebut.

Purbadi juga merasa tidak perlu ada lelang untuk perataan salah satu gumuk tersebut. “Lelang apa? Kecuali kalau itu kita sewakan baru lelang. Tidak, ini tidak disewakan,” katanya. Purbadi mengatakan, pengurus desa lainnya sudah tahu soal hal ini. “Kan musyawarah dulu. Kita musyawarahkan, kita datangkan tokoh masyarakat semua,” katanya. (BJ)

Related posts

Jaksa Agung: Kerugian Perekonomian Negara dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi

Redaksi Surabaya

Senam Pagi, Aktifitas Fisik Untuk Menjaga Kebugaran Jasmani

Redaksi Surabaya

PENGARAHAN JAMPIDUM MELALUI KUNKER VIRTUAL

Redaksi Surabaya