Bagi guru madrasah (formal), pelatihan sudah menjadi hal yang lumrah. Namun tidak demikian bagi guru madrasah diniyah. Mereka selana ini tidak pernah tersentuh pelatihan. Mereka menganggap untuk apa juga ikut pelatihan semacam ini, toh tidak berpengaruh pada karir dan ‘penghasilan‘. Maka, wajar jika ketika awal pelatihan mereka sudah minta dipercepat tidak sampai sore. Itu juga yang terjadi pada Pelatihan Manajemen Pembelajaran Madrasah Diniyah (Madin) di Kota Blitar (14-19/2).
Namun setelah proses berjalan, mereka tampak antusias. Diskusi cukup hidup. Bahkan terkadang sangat serius, sehingga lupa dengan permintaan awal, pulang lebih cepat.
Diawali dengan membuat dokumen kurikulum madin. Selama ini kurikulum yang dimaksud jadwal dan nama kitab, bukan dokumen kurikulum layaknya madrasah pada umumnya. Karena itu ketika diajak membuat dokumen, mereka sangat respek.
Dari sini muncul karakteristik masing masing. Ada yang unggul tahfidz dan Qira’ah Sab’ah, ada yang unggul di ilmu alat, bahkan ada yang unggul olah raga karena ada salah satu ustadz yang juga seorang atlet pembina olah raga. Yang tidak kalah menarik, ada madin yang hingga kini tidak dipungut biaya sepeserpun.
Joyfull Learning
Antusiasme para peserta makin tampak pada saat menerapkan model-model pembelajaran yang menyenangkan. Selama ini metode pembelajaran tidak lepas dari sorogan dan drill. Ketika dikenalkan model pembelajaran aktif dan kooperatif ternyata mereka bisa menerima. Misalnya Make Match untuk Malaikat dan tugasnya, Sort Card untuk contoh bacaan tajwid, Jigsaw untuk materi Khulafaur Rasyidin.
Mereka juga sudah mampu memanfaatkan media sederhana yang disesuaikan metode. Misalnya peta konsep untuk Sejarah Nabi Muhammad, Tebak Kata untuk mufradat Bahasa Arab, Sort Cad untuk Akhlaq Mahmudah dan Madzmumah serta memilih ayat sesuai surat, dan sebagainya.
Intinya, pembelajaran madin perlu dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih menarik dan menyenangkan tanpa harus meninggalkan yang sudah mapan. Saya tidak menafikan metode yang sudah ada, karena itu menjadi metode utama, tetapi tidak ada salahnya jika dibuat varian-varian baru. “Almuhafadzatu ‘ala al Qadim As Shalih, wa Al Akhdzu Bi Al Jadid Al Ashlah” (memelihara khazanah lama yang baik, dan mengambil khazanah baru yang lebih baik). Wallahu A’lam.
*Dr. H. Sholehuddin, S.Ag. M.Pd.I, Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya.