Malam semakin gelap menaungi perkelahian sengit di Jati Anom ketika Ki Panuju dapat digapai telapak tangan Ki Garu Wesi. Ia terpental cukup jauh. Bagian depan tubuhnya telah terbuka saat Ki Garu Wesi Sebentuk telapak tangan telah meninggalkan bekas kehitaman pada bagian dadanya. Ki Panuju merasakan seolah tubuhnya bagian dalam terbakar. Bahkan ia merasakan panas saat menyentuh kulitnya yang berwarna kehitaman. Ki Panuju mencoba membenahi keadaannya namun ia tidak lagi sanggup bangkit meski sekedar duduk dengan kaki menjulur.
KI Garu Wesi berjalan mendekatinya tetapi ia telah kehilangan selera untuk membunuh Ki Panuju. Bahkan ia merasa sayang apabila Ki Panuju terbunuh olehnya. Bagi Ki Garu Wesi, Ki Panuju adalah orang khusus yang harus mendapatkan perhatian lebih. Hal itu muncul di dalam hatinya ketika mengingat kelebihan Ki Panuju memadukan olah kanuragan dengan tata gerak prajurit.
“Ki Lurah,” kata Ki Garu Wesi, “aku bukan tidak ingin membunuhmu agar musuhku berkurang jumlahnya. Tetapi aku masih ingin kau dapat melawanku dengan cara yang lebih baik. Dan aku pikir kau akan dapat melakukannya walau hari itu semakin dekat.”
“Saya tidak mengerti,” kata Ki Panuju dengan napas terengah menahan sakit.
“Hari yang ditentukan oleh Panembahan telah dekat,” Ki Garu Wesi berkata, “sangat dekat.” Ia memberi tanda melalui dua jari tangannya. Kemudian, “Dalam hitungan tidak sampai dua pekan, engkau akan sembuh. Aku yakin itu. Tetapi jika tidak, maka tidak ada jalan lain. Engkau telah membuatku kecewa dan itu berarti aku harus membunuhmu.”
Tidak ada yang dapat diperbuat lagi Ki Panuju selain memandang tajam wajah Ki Garu Wesi. “Menyerah bukanlah kwajaran bagi prajurit Mataram, apalagi aku adalah seorang pemimpin,” berontak hati Ki Panuju namun ia tidak dapat menggerakkan sebagian besar anggota tubuhnya. Ia lumpuh pada bagian perut ke atas, termasuk kedua lengannya yang berpangkal kedua pundaknya.
“Mungkin engkau enggan untuk berkata ‘aku menyerah.’ Tetapi, Ki Lurah, tidak ada seorang pun yang akan berkat aseperti itu. Tidak aka nada,” kata Ki Garu Wesi lalu ia menunjuk pada penggembala dan prajurityang terluka, “mereka akan memberi kesaksian jika kau bukan menyerah. Engkau kalah karena memang seperti itulah kenyataannya.”
Dalam hatinya, Ki Panuju membenarkan semua yang baru dikatakan Ki Garu Wesi. Ia memang kalah segalanya dari orang kepercayaan Raden Atmandaru ini.
“Tetapi aku bukan pengecut yang berlindung di balik kelumpuhan ini untuk tidak mengatakan telah menyerah,” tegas Ki Panuju.
“Lalu?” tukas Ki Garu Wesi, “lalu apakah engkau akan melanjutkan perkelahian ini dengan perang kata-kata? Bodoh! Aku tidak akan memakan ucapanmu, engkau harus tahu bahwa aku tidak mudah terpancing dalam pertengkaran mulut.”
“Anda adalah seorang pecundang, Ki Sanak,” tegas Ki Panuju dengan sorot mata membakar dada Ki Garu Wesi. “Seorang pecundang tidak akan pernah mampu menuntaskan pekerjaan yang telah ia mulai.”
Ki Garu Wesi tergelak. Ia terbahak sangat keras, bahkan suaranya mampu menghantam Sabungsari. Tentu saja, sebagai orang berilmu tinggi, Ki Garu Wesi tidak segera mengendapkan kekuatan cadangannya. Ia hanya menlonggarkan sedikit, dan ketika ia merasa geli oleh ucapan Ki Panuju, maka seketika ia menghentak tenaga cadangan melalui gema tawanya. Dan itu mengejutkan Sabungsari!
“Cukup. Cukuplah engkau berkata itu sekali ini, lurah bodoh!” KI Garu Wesi berkata, “engkau akan menemui kegagalan jika berusaha memancingku dengan kata-kata. Dan cukup untuk kau ketahui bahwa aku memang seorang pecundang. Aku katakan itu agar engkau puas.” Dalam sekejap setelah Ki Garu Wesi mengakhiri ucapannya, ia melesat meninggalkan Ki Panuju.
“Setan! Aku akan berkelahi denganmu!” seru Sabungsari saat ia melihat kelebat Ki Garu Wesi mendadak lenyap dari hadapan Ki Panuju.
“Dua orang Jati Anom yang bodoh!”
Suara Ki Garu Wesi tiba-tiba terdengar sangat jelas dan sangat dekat dengan pendengaran Sabungsari. Ia mendadak muncul di tengah lingkar perkelahian Sabungsari melawan Ki Tunggul Pitu.
“Prajurit,” lantang Ki Garu Wesi menyebut Sabungsari dengan ucapan yang bernada merendahkan. “Sebenarnya tidak ada pilihan bagi seorang pecundang sepertiku selain melarikan diri dari gelanggang. Tetapi untuk mala mini, aku ingin memberimu sebuah penghormatan.”