Jati Anom Obong 58

oleh

“Bahkan, jika ia termasuk orang kepercayaan Raden Atmandaru sudah tentu kemampuannya berada di batas puncak kanuragan,” gumam Sabungsari dalam hatinya

Namun apabila Ki Garu Wesi tidak tergesa-gesa mengakhiri perlawanan Ki Panuju, yang terjadi kemudian dudah dapat dipastikan. Ki Panuju akan terbelenggu dalam kesulitan walau pun ia telah mendapatkan kelonggaran yang sangat lapang. Keadaan anak buahnya telah mendapat jaminan untuk selamat. Mereka telah berada di tempat yang aman dari bahaya gemuruh perkelahian yang semakin seru.

“Mungkin lawan Ki Panuju tidak akan melakukan kesalahan, tetapi keadaan Ki Panuju sama sekali tidak berada di tempat yang menguntungkan,” hati Sabungsari kembali berkecamuk. Segala kemungkinan dapat terjadi dan kematian dapat saja menimpa salah satu dari kedua orang yang tengah beradu nyawa. Mungkin Ki Panuju, mungkin juga lawannya.

Ki Panuju yang telah berada di puncak kemampuannya ternyata masih berpikir untuk menawarkan jalan damai. Ia telah mengetahui keadaan secara menyeluruh. Ia mengenal Sabungsari dan Ki Widura. Maka ia berkata pada Ki Garu Wesi, ”Ki Sanak. Saya tahu Anda adalah orang berilmu tinggi dan mempunyai martabat yang tidak dapt dipandang remeh siapa pun juga. Saya pikir, jika kita berhenti untuk berkelahi maka Mataram akan mengungkapkan terima kasih dengan anugerah yang sangat besar.”

KI Garu Wesi meloncat surut. Ia tidak mengira jika lawannya akan mengeluarkan kata-kata yang bertolak belakang dengan tandang yang tengah ia keluarkan. Walau terkejut tetapi Ki Garu Wesi juga merasa geli. Ia tertawa keras.

“Ini gila!” kata Ki Garu Wesi. “Bagaimana engkau menawarkan sebuah kedudukan agar aku menyerahkan diri pada kalian. Tidak. Aku telah mengorbankan harga diriku pada perkelahian ini.”

“Harga diri? Menyerah? Ki Sanak, saya tidak meminta Anda untuk menyerah.”

Ki Panuju merunduk sementara ujung cambuknya mulai bergetar. Tenaga cadangan Ki Panuju segera mengalir deras melalui telapak tangannya. Ujung cambuk menggeletar di atas tanah, sedangkan tangkainya masih berada dalam genggam Ki Panuju. Dengan maksud mengacaukan perhatian Ki Garu Wesi, lurah Mataram itu berkata, “Yang menjadi akhir dari perkelahian ini adalah ketiadaan. Ki Sanak, saya menganggap Anda sebagai saudara dalam satu naungan ilmu kanuragan. Maka sudah sepatutnya seorang saudara mendengarkan ucapan saudaranya yang lain.”

“Diamlah, Ki Lurah,” sambut Ki Garu Wesi dengan derai tawa. “Aku tidak dapat mati jika itu masih berada dalam anggapanmu. Seperti itulah, aku tidak akan pernah menyerah. Lalu bagaimana kau dapat memintaku menyerah pada Mataram sementara engkau masih bergelimang bujuk rayu dalam otakmu?”

“Mengapa engkau masih saja berusaha memberontak, Ki Sanak?” seru Sabungsari dari seberang lingkaran dengan tiba-tiba. Sejumlah orang terperangah. Tentu saja itu mengejutkan karena ia terlibat perkelahian yang tak kalang sengit dengan Ki Tunggul Pitu.

“Gandrik!” umpat Ki Tunggul Pitu saat Sabungsari meloncat surut. “Anak iblis!” serunya ketika dadanya seperti diremas oleh jari-jari yang kokoh dan sekuat besi. Ia belum pernah menghadapi ilmu seperti yang dimilik Sabungsari, bahkan Agung Sedayu pun belum menggunakan kekuatan mata saat menghadapinya. Meski demikian, Ki Tunggul Pitu telah mendengar kehebatan Agung Sedayu, hanya saja ia tidak menduga bahwa Sabungari ternyata menyimpan kekuatan yang sejenis.

Dalam waktu itu, tandang Ki Garu Wesi semakin menggetarkan. Ki Panuju semakin terdesak meskipun ia telah mengeluarkan segenap kemampuan yang diserapnya dari Perguruan Orang Bercambuk. MEski kecepatan Ki garu Wesi belum menanjak tinggi sehingga gerak tubuhnya masih dapat dilihat oleh mata biasa, tetapi olah kedua tangannya benar-benar luar biasa. Kedua lengannya berputar, menebas dan  memukul dengan rentetan yang nyaris tiada henti. Sedangkan pergerakan tangan Ki Garu Wesi selalu menimbulkan prahara dan membawa kekacauan yang dahsyat.

Begitu hebat gerak tangan Ki Garu Wesi yang dilambari kekuatan cadangan, maka setiap ayunan selalu disertai semburat benda dari dasar sungai yang dangkal itu. Lontaran pasir dan kerikil dari bagian sungai seolah memiliki mata yang dapat membidik sasaran. Hempasan benda-benda itu menerjang Ki Panuju dengan kecepatan tinggi dan kekuatan yang luar biasa. Maka Ki Panuju tidak dapat sekedar menghindar atau menangkisnya dengan putaran cambuk yang menjadi selubung tubuhnya. Ki Panuju berloncatan menjauh, ia tidak memperoleh kesempatan untuk balik menyerang. Bahkan ledakan-ledakan yang kerap keluar dari ujung senjatanya, pada mulanya, sudah tidak lagi terdengar.

 

No More Posts Available.

No more pages to load.