Jati Anom Obong 44

oleh

Ia berpikir keras. Sekejap kemudian, Ki Sarjuma menyadari keanehan terjadi pada dirinya. Ia terlilit oleh angin panas yang tidak datang perlahan dan meningkat secara pelan. Mendadak sekujur tubuhnya telah berada di dalam gelombang udara panas yang berputar mengelilinginya.

“Setan! Engkau curang, Pak Tua!” seru Ki Sarjuma dengan mengembangkan telapak kanan ke arah Empu Wisanata.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

Tetapi sebelum benturan keras terjadi antara tenaga Ki Sarjuma dan Empu Wisanata, satu bayangan berkelebat memasuki gelanggang perkelahian dengan cahaya putih yang bergulung-gulung membungkus tubuhnya. Angin yang keluar dari putaran senjatanya mampu menyibak kabut putih yang yang berada di sekitar Sayoga. Untuk sesaat kepulan putih itu menjadi tirai yang menutup kedatangan lelaki bersenjata tombak pendek. Ketika asap mulai tipis, seorang lelaki dengan rambut sebahu tiba=tiba berdiri dengan punggung menghadap Sayoga. Pakaian sederhana yang ia kenakan tidak mengurangi kemegahan yang kuat memancar dari seluruh bagian dirinya. Sorot matanya menerangi lingkungan sekitar yang telah terbungkus gelap yang pekat.

“Ki Gede!” kata Empu Wisanata penuh hormat namun setitik pertanyaan terbit dalam benaknya. ‘Begitu cepat? Dalam waktu ini, belum seharusnya para pengawal tiba di rumah beliau.” Namun itu tidak lagi menjadi penting karena orang yang ia harapkan telah berada di tempat perkelahian.

Di tempat lain, Sayoga membungkukkan badan meski dari arah belakang pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu. Kedatangan Ki Gede Menoreh menjadi kejutan besar bagi Ki Malawi dan Ki Sarjuma, walau begitu mereka tetap memperlihatkan sikap yang cukup tenang. Bahkan mereka berdua pun memberi salam hormat sebagaimana yang dilakukan oleh Sayoga.

“Selamat malam, Ki Gede,” getar bibir Ki Sarjuma menerobos udara malam. Tidak ada kesan gentar ataupun yang aneh di balik nada sapa lelaki yang telah membakar pasar pedukuhan induk. Sementara Ki Malawi dengan senyum yang aneh mencoba beradu pandang dengan Ki Argapati.

“Selamat datang , Ki Sanak berdua di Tanah Perdikan,” kata Ki Gede kemudian. Ia bergeser dua tiga langkah maju lebih dekat dengan dua orang yang menyapanya. “Sangat tidak elok jika saya menerima kedatangan tamu dengan cara yang tidak pantas seperti ini… Di tepi hutan dan pertemuan ini menjadi menarik karena diawali dengan sebuah latihan keras.” Ki Gede menyapukan pandangan ke seluruh arah.

“Tanah Perdikan selalu menyimpan kejutan, Ki Gede,” sahut Ki Malawi, “seorang anak muda berkemampuan tinggi kembali lahir dari tanah ini. Aku harap lelaki muda itu akan menjadi sebuah tanda yang diharapkan oleh banyak orang.” Seringai tajam menjadi penutup kata-kata Ki Malawi.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

Namun Ki Gede mengabaikan Ki Malawi, begitu juga orang-orang yang lain. Mereka menimpakan perhatian pada Sayoga yang tengah berbincang dengan seseorang yang lebih tua darinya.

“Ayah,” Sayoga berkata dengan bibir bergetar. Ki Wijil telah berada di sampingnya dengan satu sentuhan lembut pada pundaknya.

“Aku melihat semuanya meski tidak mengikutimu dari awal perkelahian,” bisik Ki Wijil, “dan engkau benar-benar mengalami kemajuan yang tidak dapat aku bayangkan sebelumnya, Ngger. Marilah, aku periksa keadaanmu.” Mereka beringsut mundur, selangkah, lima, tujuh langkah dari tempat semula.

Lekat Sayoga menatap wajah ayahnya, kemudian ia bertanya, “Bagaimana Ayah datang ke sini? Bukankah seharusnya Ayah masih berada di pedukuhan?”

“Aku mengikuti perasaan, Ngger. Ketika aku melihat seekor rajawali terbang melintasi langit pedukuhan, aku tahu, sepertinya aku tahu jika harus pergi menuju ke Tanah Perdikan. Persiapan para pengawal telah dilaksanakan dengan baik oleh Ki Jagabaya, dan Ki Bekel mengizinkan aku meninggalkan pedukuhan. Bahkan Ki Bekel akan tiba di tempat ini barang empat atau lima hari lagi.”

“Hanya itu?”

“Hanya itu.”

“Melihat seekor burung besar terbang?”

Ki Wijil mengangguk, ia tersenyum kemudian katanya, “Jika sebuah tali telah terikat erat,walau dalam jarak yang sangat jauh, bentang samudera tidak akan dapat memutus sebuah hubungan. Ketika darahku mendidih dan dagingku terluka, aku tahu jika ada sesuatu yang sedang menimpa ibumu atau anakku. Aku dapat mengetahuinya karena engkau adalah darah dagingku.”

No More Posts Available.

No more pages to load.