Jati Anom Obong 32

oleh

Ia memutuskan untuk menghadapi Ki Sarjuma dengan cara yang berlainan dari sebelumnya. Kecepatan tidak harus dilawan dengan kecepatan, kekuatan pun lebur dalam kelembutan. Pikir Sayoga.

Dari penampilan wadag, Ki Sarjuma seperti tidak mengalami guncangan yang berarti meski di balik itu, ia harus mengakui lebih jauh bahwa ilmu Sayoga telah menggedor bagian-bagian penting tubuhnya. Sendi-sendi di sepanjang tangan yang ia pukulkan serasa kesemutan dan bergetar. Bahkan ia sempat berpikir bahwa tangannya telah terpisah karena sempat mengalami mati rasa meski untuk beberapa kejap mata.

Di bagian lain, Empu Wisanata masih bertarung dengan kuat melawan Ki Malawi. Mereka masih terlibat dalam pergulatan yang sangat seru. Keduanya saling menyerang, berloncatan seperti terbang di udara meski belum menggunakan tenaga inti untuk menambah daya rusak serangan masing-masing.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”list” align=”right” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]

“Aku tidak dapat menunda urusan ini lebih lama lagi! Cukup sampai di sini!” desis Ki Malawi. Lalu dengan cara mengagumkan, ia telah mendorong kekuatannya menanjak lebih tinggi. Ki Malawi tidak mengurangi tekanan atau meloncat mundur untuk sekadar mengambil masa persiapan, ia mengalirkan seluruh ilmunya ke seluruh kaki dan tangannya pada saat ia masih harus melayani gebrakan demi gebrakan musuhnya.

Kini kejutan beralih pada Mpu Wisanata. Ia tidak habis pikir dengan kemampuan Ki Malawi yang tiba-tiba seperti dikelilingi oleh udara panas yang silih berganti dengan hawa dingin.

Demi mengimbangi tingkatan Ki Malawi, maka Mpu Wisanata pun menurunkan aliran serang. Tetapi pada saat yang bersamaan ia meningkatkan daya tahan tubuhnya agar terlindungi dari udara panas dan dingin yang keluar dari setiap kibasan gerak Ki Malawi.

Sementara Ki Sarjuma masih beradu mata dengan Sayoga, empat pengawal Menoreh mulai menjauhi garis perkelahian mereka. Para pengawal yang dikirimkan Ki Gede itu saling bertukar pandang, mereka sedikit mengingat sosok Agung Sedayu sebagai anak muda berilmu tinggi saat masih seusia sama dengan Sayoga.

Mpu Wisanata turut merasakan perbedaan dari lingkar perkelahian yang berada tidak jauh darinya. Sudut mata lelaki yang dulu pernah bergabung dengan Ki Saba Lintang ini menangkap pergerakan luar biasa dari Sayoga. Maka, kemudian orang-orang yang terlibat dalam pertempuran itu secara tidak sengaja menarik napas panjang.

Ya, mereka berharap Sayoga dapat menahan keseimbangan  atau setidaknya memberi kesempatan bagi mereka untuk membekuk dua orang yang tidak bertanggung jawab ini.

[penci_related_posts title=”Sayang Bila Dilewatkan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”cat” orderby=”random”]

Pada saat itu, Mpu Wisanata masih terlibat dalam sengitnya pertarungan melawan Ki Malawi yang telah mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Namun belum seorang pun baik Mpu Wisanata maupun Ki Malawi yang bertarung dengan senjata, meskipun demikian, mereka bukan lagi berkelahi dalam lapis penjajagan. Sekujur tubuh mereka telah dialiri kekuatan-kekuatan yang dapat meledak setiap saat.

Keduanya sama-sama merasakan rasa nyeri yang menyusup cepat melalui pembuluh darah setiap kali kekuatan besar mereka beradu. Ki Malawi mengakui dalam hatinya, bahwa pertemuan mereka dengan Sayoga harus diakui sebagai awal dari hambatan besar. Ia dan Ki Sarjuma tidak menduga jika keonaran di pedukuhan induk dan sekitarnya mendapat tanggapan cepat dari Ki Gede Menoreh.

“Perkelahian ini seharusnya tidak ada,” berkata Ki Malawi dalam dirinya, “tetapi kekuatan lelaki muda itu benar-benar berada di luar kewajaran.” Sudut mata Ki Malawi mengerling sejenak ke arah perkelahian rekannya, Ki Sarjuma.

Debar khawatir sempat mendarat pada alas jantung Ki Malawi. Sekilas ia menebar pandang dan empat pengawal Menoreh masih bersiaga pada kedudukan masing-masing.

No More Posts Available.

No more pages to load.