Ki Suladra lincah mengayun senjata dan menusuk Swandaru dari banyak arah. Meski tubuh Swandaru sedikit lebih gemuk tetapi itu tidak menghalanginya berloncatan menghindari serangan Ki Suladra. Melalui serangan yang teralirkan dari dua ujung senjatanya, Ki Suladra memang tidak banyak melakukan lecutan sandal pancing sehingga hal itu mengundang rasa penasaran Swandaru. Pergerakan lincah ujung senjata Ki Suladra masih terbentur pertahanan rapat Swandaru yang membungkus tubuhnya dengan putaran cambuk yang berayun sangat cepat. Mereka berloncatan, beralih tempat dengan cepat sehingga lingkar perkelahian terus menerus berpindah. Benturan kerap terjadi tetapi itu belum memberi jawaban pada Swandaru mengenai lapisan tenaga inti Ki Suladra. Swandaru tidak mengingkari bahwa gerak lawannya kali ini benar-benar berbeda dengan cara sebelumnya.
Ki Suladra merombak secara keseluruhan olah geraknya. Ia tidak lagi terikat untuk melindungi pengeroyok yang lain dan tidak ada kewajiban untuk menutup celah yang terbuka. Sekarang, ia bertarung dengan kekuatan dan perhatian penuh pada Swandaru. Mata Ki Suladra tajam menyorot setiap gerak Swandaru yang masih bertahan dalam kecepatan yang sama.
“Ia belum bergeser dari kedudukan sebelumnya. Pergeseran kedua kakinya belum meningkat. Ataukah ini adalah kecepatannya yang terbaik?” Ki Suladra mencoba menebak dalam hatinya. Seketika ia memutuskan untuk meningkatkan perkelahian selapis lebih tinggi. Ki Suladra tidak lagi mengayunkan senjata lebih cepat untuk menyerang, ia hanya berusaha mengacaukan perhatian Swandaru dengan bergerak lebih cepat dan seperti tidak beraturan. Ki Suladra kini berkelahi dengan cara yang tidak biasa. Tandang yang dilakukan Ki Suladra memang berada di luar kewajaran. Sekali-kali ia tertawa dengan tubuh mematung, namun dalam sekejap tiba-tiba ia beralih dengan kecepatan tinggi diiringi lengking tangis yang terdengar aneh.
Kali ini Swandaru berada dalam kesullitan. Serangan demi serangan yang ia alirkan tanpa henti ternyata belum mampu mencapai sasaran, meski Ki Suladra seperti seorang yang bertarung sekedarnya. Ki Suladra bahkan menampilkan sosok seseorang yang baru mulai belajar olah kanuragan. Tubuh Ki Suladra benar-benar licin seperti belut berlumur minyak. Alur geraknya pun semakin sulit diduga sehingga Swandaru harus berpikir lebih keras.
“Seluruh lawan yang pernah aku hadapi dalam perang tanding, baru kali ini aku menjumpai gerak yang aneh. Sulit ditebak dan seperti tidak mempunyai landasan yang kuat pada pijakan kakinya,” gumam Swandaru dalam hatinya. Meski ia masih kesulitan menembus pertahanan lawannya, Swandaru belum terlihat untuk mengurangi daya gedor. Ia masih bertahan dalam unsur dasar gerak Perguruan Orang Bercambuk. Swandaru memang tidak mempunyai banyak ragam dalam gerakannya. Ia serba sedikit mencoba menambah ragam gerak dengan mempelajari ilmu pedang Pandan Wangi.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Jangan Tinggalkan Ini :” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”right” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]
Tetapi sepertinya itu tidak mempunyai arti penting ketika menghadapi Ki Suladra. Kadang-kadang Ki Suladra menjulurkan lidah namun dibarengi satu sabetan melalui ujung senjatanya. Tak jarang ia menghina Swandaru melalui raut wajahnya. Swandaru seperti bertarung melawan dua sisi yang berbeda. Atau mungkin delapan sisi yang berlainan. “Murid kedua Kiai Gringsing ini memang tidak mudah ditundukkan. Jika aku mengira ia akan terhempas dalam hitungan ketiga, maka aku adalah orang yang bodoh. Masih dibutuhkan sedikit upaya untuk menghantam Swandaru agar ia terkapar.” Bisik batin Ki Suladra yang kemudian diikutinya dengan pengerahan secara penuh kemampuannya.
Mulut Ki Suladra kini turut memasuki suasana perkelahian. Ia meracau seperti kerasukan dedemit penunggu Kali Progo. Ia mengumpat, memaki dan menghujat Swandaru namun itu bukan sekedar ucapan biasa. Sesekali Ki Suladra membentak dalam celotehnya dan itu disertai tenaga inti. Dan apabila Swandaru tidak segera meningkatkan daya tahannya, maka seisi dada Swandaru akan hancur oleh hantaman suara yang cukup dahsyat itu. Bersamaan dengan lontaran suara yang menggelegar, dua ujung senjata Ki Suladra kini datang secara bertubi-tubi menyengat setiap sisi pertahanan kakak kandung Sekar Mirah itu. Yang terjadi kemudian adalah senjata mereka berulang kali saling membelit, tetapi setiap kali Swandaru berusaha membetot satu ujung senjata lawan maka Ki Suladra melontarkan ujung lancip lainnya. Mau tidak mau, terpaksa atau sengaja, serangan yang dikirim Ki Suladra memaksa Swandaru melepas belitan cambuknya.