SuaraKawan.com
Prosa Liris

Cerita Wimala : Laila Majnun

Namaku Qais, seorang lelaki dengan wajah tampan, mata bulat besar, serta rambut hitam. Aku yang terbiasa menjadi pusat perhatian dan kekaguman karena kepintaranku ini sepertinya  mulai mengenal cinta.

Cinta?

Entahlah.

Mungkin, beginilah yang disebut dengan cinta.Saat pertama kali aku melihat gadis cantik itu, dadaku terasa sesak. Aku kesulitan bernapas. Aku lupa mengambil napas. Aku tidak lagi ingat, bahwa hidung digunakan untuk menghirup udara. Mulutku tidak bisa mengatup, mataku kehilangan daya kedip.

Ada apa gerangan? Wajah gadis itu menggangguku. Hari-hariku yang tenang menjadi penuh debar dalam dada.

Aku teringat saat itu, ketika mata kami bertemu di ruang udara. Cahaya mata cantik telah menusuk relung jiwaku. Dadaku berdegup bagai genderang perang.

Matanya yang bulat, rambut hitam lebat yang digerai, serta senyum dan wajahnya yang memesona telah menyiramkan air pada hati yang panas dengan rasa gundah. Senyum manisnya tersungging kecil, menyelamatkan dahaga yang menghantui.

Dia, Laila. Laila binti Mahdi bin Sa’d bin Ka’b bin Rabi’ah. Seorang puteri bangsawan yang cantik jelita, kekasih hatiku sejak pertama kami bertemu. Pandang mata pertama kali, telah meneguhkan hatiku dan hatinya pada sebuah ikatan rasa , terpilin erat melekat. Kami saling mencinta dalam keterbatasan ruang dan waktu.

Aku, Qais bin Mulawwih bin Muzahim bin’Adas bin Rabi’ah bin Ja’dahbin Ka’b bin Rabi’ah anak dari keluarga kebanyakan. Namun aku tidak pernah menyerah pada keadaan. Aku tidak bisa mempersembahkan emas permata bagi pujaan hatiku, aku hanya mampu menuliskan puisi untuk menunjukkan kekagumanku atas kecantikannya.

Kami terpenjara pada sebuah rasa asing yang terasa menghidupkan. Rasa asing yang sangat indah yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan kami. Kami disergap pada rasa kenyang saat bertemu. Kami tidak lagi menginginkan makan atau pun minum. Kami hanya ingin bertemu dan berbicara manis satu sama lain. Kami menjadi penyair dan menggubah puisi untuk menunjukkan cinta kami.

 

Siangku adalah siang manusia lain

Bila malam tiba, tidurku sering terganggu wajahmu, aku gelisah

Sepanjang siang aku habiskan dengan

Perbincangan manis dan harapan-harapan indah

Dan sepanjang malam, aku dicekam murung dan rindu dendam

Cintaku padamu telah tertanamdi relung kalbuku

Jari-jari dua tangan kami merekat

 

 

Pada suatu waktu, tembok tinggi telah dibangun di antara kami. Laila ku terkurung di dalam ruang berbatas tembok, merindukanku dan mengharapkan puisi-puisiku mengisi kehidupannya.

Aku pun merindukan kehadirannya di dekatku. Namun apa daya, keinginanku untuk sekedar berbicara dengannya tidak bisa menjadi nyata. Bahkan hanya mendengar suaranya saja aku sudah tak mampu.

“Aku merindukanku, Laila! Cintaku!” teriakku pada setiap sudut jalan.

Aku membacakan semua puisi rinduku untuk kekasih hatiku. Belahan jiwaku yang sedang tersiksa pada bayang rindu yang telah mengikat hati.

Aku menggila. Aku tidak lagi mengingat semua yang terjadi pada diriku. Aku hanya ingin bertemu Laila. Aku ingin menghilangkan cemas pada diri kekasihku. Pun cemas dan penasaran pada diriku sendiri.

Aku tahu keberadaannya, namun aku tidak memiliki kemampuan untuk membuka penghalang di antara kami.

Sebuah pelaminan telah disiapkan untuk kebahagiaannya. Aku berdoa untuk kehidupanmu yang jauh lebih baik, Laila. Lupakan aku. Jalani kehidupanmu, masa depanmu. Usah kau pikirkan lagi tentang diriku. Majulah, berjalanlah, ikuti kata orangtuamu. Aku rela.

Laila hanya mampu meneteskan bening-bening embun dari mata indahnya dan bersenandung pilu.

Duhai cintaku!

Betapa aku merindukan kebersamaan denganmu.

Tetapi, O, Aku tak punya daya.

Takdir telah memutuskan kita harus terpisah.

Kasihku,

Apakah kita akan terpisah selamanya.

O, kekasih, belahan jiwaku.

Salahkah aku, duhai kekasih?

Hatiku menangis sepanjang hari sepanjang malam

Manakala aku memikirkan itu.

 

Ah! Bodohnya diriku! Aku merutuk diriku, mengapa aku tidak mampu membuatnya tersenyum dan tertawa? Mengapa aku tidak memiliki kemampuan untuk membahagiakan perempuan yang aku cintai?

Semua jawab menyerbuku. Jawaban yang mengatakan semua karena aku. Karena keadaanku, dan karena aliran darahku. Aku, yang berani mencinta seorang puteri bangsawan. Aku, yang berani mengirimkan puisi-puisi cinta pada orang yang terlarang. Aku, rumput yang hidup di bumi dan dia, bulan yang bersinar di langit.

Aku berharap, aku adalah elang yang mampu terbang dan masuk ke dalam halaman tengah rumahnya. Membuka pintu kamarnya, dan membawanya terbang tinggi melewati awan. Pergi dari semua orang yang menghalangi cinta kami.

Tetapi tidak! Aku bukan elang. Aku hanya manusia bodoh yang tidak mampu memperjuangkan cintaku kepada kekasihku.

Aku hanya mampu menggila dengan puisi-puisiku. Aku hanya bisa membacakan puisi kerinduanku kepada Laila pada sudut-sudut jalan yang aku lalui.

Penampilanku yang kotor, dan teriakan-teriakanku membuat semua orang memanggilku “Majnun”. Majnun bagi mereka berarti gila.

Ya! Aku gila! Aku memang gila!

Aku gila karena cinta!

Cintaku kepada Laila!

Bahkan lindungan kiswah tetap tidak bisa menghilangkan rasa cintaku kepada Laila belahan jiwaku. Kiswah dalam genggaman tanganku, tidak membuatku berdoa agar hilang seluruh rasa cintaku. Tetapi aku memohon agar cintaku yang suci kepada Laila  tidak pernah hilang dan juga agar  aku tidak pernah melupakan Laila.

 

 

Aku telah menjual ruhku dalam ruang sirkuit rindu dendam yang menderu-deru.

“Isyq” (rindu dendam) adalah makananku, tanpa itu aku akan mati.

Jangan takdirkan aku rindu dendam kepada Laila.

Duhai Tuhan, tuangkan air bening rindu.

Cemerlangkan mataku dengan celak hitam selamanya.

Duhai Tuhan, tambahkan rinduku kepada Laila,

Dan jangan biarkan aku melupakan dia selama-lamanya.

 

Suatu pagi, angin telah mengabarkan kepadaku tentang keadaan Laila dan pernikahannya. Dia adalah seorang istri yang baik, namun kukuh memberikan kehormatannya hanya kepada cinta sejatinya, Aku. Permata di tubuhnya masih tersimpan utuh, bersih, dan tidak terjamah.

Oh, Laila. Aku yang gelisah dan gila untukmu, semakin menggila ketika mendengar cerita angin kepadaku. Au telah kehilangan keriangan, dalam jerat rindu, cinta, dan segenap duka lara. Hingga bila, kau akan mengikatkan janjimu kepadaku? Hiduplah dengan bahagia, Laila. Aku mencintaimu dengan seluruh jiwa raga dan hidupku.

***

Musim panas tahun ini adalah musim panas terakhir untuk kita, Laila cintaku.

Ketika aku mendengar berita kematianmu, aku berteriak sekencang-kencangnya.

“ Laila! Jangan kau tinggalkan aku sendiri di sini. Hidup tanpa bisa mendengar cerita tentangmu adalah kematian bagiku. Aku memang gila. Aku gila karena cintaku kepadamu. Aku gila karena tidak bisa hidup berdampingan denganmu. Tetapi aku tidak mau engkau meninggalkanku dan pergi menghadap sang Khaliq.

Biarkan aku ikut bersamamu, Laila. Tunggu aku. Kenakan baju pengantinmu, dan bersoleklah dengan cantik dan anggun. Kita akan bersatu di duniamu sekarang. Aku akan datang untukmu, Cintaku.”

Aku berlari seperti orang gila. Meski semua orang sudah mengatakan aku gila, dengan menyebutku Majnun, tetapi kali ini aku mengalami detik kegilaan yang lebih menggila. Aku kehilangan cintaku. Aku harus mendatanginya. Aku harus menemaninya.

Dia kedinginan dalam gelap, maka aku akan menggandeng tangannya, agar hangat menjalar. Dan kehadiranku serta cahaya mataku akan menunjukkan jalan dalam kegelapan yang sedang dia jalani.

Di sini, di pusara Laila kekasih hatiku, belahan jiwaku. Aku meratap dalam sedih dan kerinduan mendalam.

Oh, Laila, cintaku.

 

Duhai belahan jiwaku,

Duhai jiwaku,

Duhai cintaku,

Bagaimana keadaanmu di bawah tumpukan debu ini.

Bagaimana engkau di dalam kegelapan kubur ini.

Meski aku tak lagi bisa memandang wajahmu,

Tetapi seluruh jiwamu memenuhi ruhku.

Meski engkau jauh dari pandangan mataku,

Namun aku melihatmu dengan mata jiwaku, mata hatiku.

Dan meski engkau telah pergi, namun lukamu ada dalam jiwaku.

Dan, aku tergeletak di atas pusaramu, Laila. Aku diam selamanya, untuk menemanimu. Maka  terimalah genggaman tanganku, Laila. Aku datang kepadamu dalam keabadian. Aku akan selalu menemanimu dengan membawa cintaku yang abadi kepadamu.

 

Wimala, Bandung, 26 Nov 2019

Related posts

Puisi : Tarian Liar Keheningan

Redaksi Surabaya

Bulan Telanjang 22

Redaksi Surabaya

Bulan Telanjang 2

Ki Banjar Asman