Berhitung 8

oleh

Kang Tanur tercenung mendengar kata-kata Kiai Rontek betapa ia memang menyadari tujuan sebenarnya lelaki berambut perak itu. Meski pernah mendengar, tetapi ia tidak pernah membicarakan pergerakan itu dengan seorang pun termasuk Ki Buyut Mimbasara. Kang Tanur merasa bahwa ia bukanlah orang yang tepat untuk turut campur dalam tata pemerintahan. Melalui cara yang sederhana, Kang Tanur hanya ingin dapat melewati hari-harinya dengan kedamaian. Sehingga perkenalannya dengan Kiai Rontek saat melawat bagian selatan Merapi pun dianggapnya sebagai satu bagian perjalanan hidupnya yang tidak istimewa. Kini ia tidak menyangka bahwa Kiai Rontek ternyata sungguh-sungguh ingin memberi pelajaran pada Mas Karebet.

Kang Tanur mengingat dengan jelas perkataan Kiai Rontek pada saat Mas Karebet mampu menundukkan lembu jantan yang mengguncang Demak.

“Jaka Tingkir tidak seharusnya dapat menguasai lembu jantan itu,” kata Kiai Rontek pada Kang Tanur belasan tahun silam.

“Bukankah tidak ada kecurangan yang dilakukan Jaka Tingkir, Kiai?” bertanya Kang Tanur.

“Kecurangan tidak harus dilakukan pada saat kejadian. Jika kau mengerti, kecurangan pun membutuhkan persiapan. Itu berarti ada rancangan yang mungkin telah teruji dalam percobaan-percobaan. Jaka Tingkir tidak mempunyai kemampuan yang cukup meskipun untuk menundukkan lembu jantan. Ia hanya mempunyai keberuntungan. Tidak lebih dari itu,” Kiai Rontek menjawab dengan tatap mata tajam mengarah pada Jaka Tingkir yang sedang berjalan melintas di depan mereka.

“Lalu apa yang akan Anda lakukan terhadapnya?” Kang Tanur mengejarnya dengan penasaran.

“Tidak ada yang dapat aku lakukan saat ini.” Kiai Rontek berpaling pada Kang Tanur. ”Aku akan duduk dan melihat perkembangan selanjutnya. Tetapi untuk saat ini, lebih baik kita berpisah. Kau dapat mendatangi padepokan Kebo Kenanga dan berguru padanya. Aku selalu berharap kau mampu menemukan jalan terbaik bagi dirimu sendiri.”

“Lalu Kiai akan pergi ke mana?” sorot mata Kang Tanur seperti enggan berpisah dengan Kiai Rontek yang dianggapnya mempunyai ilmu sangat tinggi hati dan rendah hati.

Kiai Rontek memandangnya dengan senyum, lalu ia menjawab, ”Aku akan menunggu di suatu tempat. Dan jika engkau berkeras menyertaiku, aku dapat pastikan itu hanya membawamu menyusuri kesuraman.”

Maka Kang Tanur memandang Kiai Rontek dengan perasaan seperti tersengat seekor kalajengking. “Apakah selama ini Kiai Rontek hanya menunggu untuk menuntaskan rasa dengkinya? Apakah saat seperti ini yang ia maksudkan?”

Kiai Rontek dapat melihat raut wajah heran Kang Tanur dalam keremangan malam, ia berkata kemudian, ”Sudah pasti kau mengingat kembali apa yang dulu pernah aku katakan padamu. Malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi anak Mas Karebet. Lebih baik katakan semua yang kau ketahui tentang diriku apabila kau masih berumur panjang, Tanur.”

Sementara itu, Ki Gurasan hanya dapat melihat dua orang yang ternyata saling mengenal itu dengan rasa ingin tahu. Ia bekata kemudian, ”Kiai, apakah orang ini pernah menjadi muridmu?”

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

Kang Tanur melirik tajam Ki Gurasan melalui sudut matanya, dan segera ia tahu bahwa Ki Gurasan semakin dekat dengan Pangeran Benawa. Kang Tanur diam-diam menghentak ilmu yang dipelajarinya dari Ki Buyut Mimbasara. Ia tidak ingin menghindari benturan dengan Kiai Rontek meskipun ia mengakui dalam hatinya, bahwa ia masih berada jauh di bawah lelaki tua yang selalu mengenakan pakaian panjang.

Kecerdasan Pangeran Benawa membuat Kang Tanur dapat bernapas sedikit lega. Betapa putra lelaki Adipati Pajang itu secara diam-diam terus bergeser menjauhi Ki Gurasan dan Kiai Rontek. Agaknya perhatian kedua orang itu terpusat pada Kang Tanur saja.

Kiai Rontek menggeleng pelan, lalu, ”Aku bertemu dengannya saat ia berjalan jauh. Dari hutan ke hutan, menyusur setiap lurah dan lembah. Ketika ia bertemu denganku, ia hanya mengatakan ingin mencari sebuah ketenangan yang akan menjadi akhir perjalanannya.” Tiba-tiba Kiai Rontek menggeram. Ia dapat merasakan getar hebat yang mendadak mencuat dan mendesak setiap pembuluh darahnya. Sorot matanya berkilat seolah menusuk kalbu Kang Tanur.

“Serahkan anak Mas Karebet, Tanur!” desis Kiai Rontek.

“Bermimpilah, Kiai!” sahut Kang Tanur.

No More Posts Available.

No more pages to load.