Aku tahu bahwa duniaku akan berubah sejak sore itu. Saat cahaya matahari lembut memeluk hamparan melati di samping rumah, suara teriakan Pak Kirno berlomba dengan aroma putu bambu yang menabrak-nabrak hidungku. Biasanya, aku bergegas menghampiri Ibu, lalu tanpa kata jemari lentiknya yang berlepotan bumbu akan meraih selembar dua ribuan dari kantong daster kemudian mengulurkannya padaku.
Namun sore ini sungguh tidak biasa. Setelah pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Selama ini, aku anggap bertengkar adalah hal biasa saja karena itu yang selalu ibu katakan padaku.
“Pertengkaran buat dua orang yang saling mencintai itu hal lumrah, Seroja. Jangan cemaskan itu,” ucap Ibu selalu berhasil tepiskan cemasku.
Aku tak tahu di antara kepedihan atau kekosongan, mana yang menyakitkan? Sore itu, aku melihat Bapak meninggalkan rumah setelah memelukku cukup lama. Keduanya, kepedihan dan kekosongan, memberi warna suram ketika senja nyaris berlalu. Aku tidak meminta mereka datang. Namun, mereka datang tanpa aturan. Tumpang tindih.
Mereka menggoreskan luka yang dalam. Centang perentang dan cukup dalam. Hingga kini, setelah sepuluh tahun berlalu, aku masih tidak bisa melupakan sore itu.