Perjuangan rakyat Palestina dirasakan betul oleh KH Saifuddin Zuhri, salah seorang tokoh NU yang hidup di zaman penjajahan, pergerakan nasional, Sekjen PBNU hingga pada akhirnya menjabat Menteri Agama di akhir-akhir era kepemimpinan Bung Karno.
Sebab, ia sendiri merasakan betapa pentingnya dukungan Palestina sebagai negara pertama yang mengakui kedaulatan RI.
Penjajahan yang dialami rakyat Palestina menginspirasi Kiai Saifuddin Zuhri untuk menulis buku yang diberi judul Palestina dari Zaman ke Zaman pada bulan Desember 1947. Buku tersebut lahir ketika Indonesia masih dalam suasana revolusi bangsa, di tengah-tengah ibu kota Republik Indonesia yang karena berbagai pertimbangan strategis berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Namun, Kiai Saifuddin Zuhri mengungkapkan, sayangnya buku yang penerbitannya disponsori oleh Perpustakaan Islam Yogyakarta tersebut bernasib buruk. Belum sempat edar, masih dalam penyelesaian akhir dalam percetakan, tapi sudah porak-poranda akibat agresi Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Dalam Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013: 422), KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa buku tentang Palestina yang ditulisnya itu selesai pada Desember 1947.
Buku tersebut diterbitkan oleh PB Nahdlatul Ulama yang ketika telah hijrah dari Surabaya ke Pasuruan. Karena gerakan militer Belanda, akhirnya PB Nahdlatul Ulama berpindah kembali dari Pasuruan ke Madiun, bertempat di Jalan Dr Sutomo 9 Madiun. Buku tersebut dicetak oleh Percetakan “Persatuan” Yogyakarta atas sponsor dari Haji Abubakar, pemimpin Perpustakaan Islam di Yogyakarta. Kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Ismail Banda, MA, seorang diplomat muda, duta besar Indonesia untuk Afghanistan, mantan pemimpin pergerakan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir.
KH Saifuddin Zuhri memulai penulisan buku setebal 84 halaman itu dengan sejarah Palestina menjadi negeri Arab pada zaman Khalifah Umar bin Khattab (586-644). Sebuah negeri Arab yang telah berumur 14 abad. Bilangan masa yang jauh lebih tua dibanding dengan Amerika sebagai negerinya bangsa-bangsa Amerika-Anglo, Amerika-Spanyol, Amerika Portugis, Haiti, dan lain-lain.
Di dalam buku tersebut, KH Saifuddin Zuhri juga menulis sejarah Perang Salib (1096-1291), di mana bangsa-bangsa barat yang imperialis hendak melenyapkan legitimasi Palestina sebagai negeri Arab. Selain itu, mereka juga hendak menghilangkan legitimasi kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi dan legitimasi zaman Kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman) sejak 29 Mei 1452.
Baru setelah Perang Dunia I (1914-1918), di mana Turki dinyatakan sebagai pihak yang kalah, Palestina menjadi jajahan Inggris yang akhirnya melahirkan sumber fitnah dan malapetakan hingga sekarang. Kiai Saifuddin Zuhri sendiri memiliki sikap tegas terhadap orang-orang Yahudi. Dia menegaskan bahwa sejarah dan keadilan tidak akan membenarkan bahwa seorang tamu (bangsa Yahudi), yang asing, yang tidak memiliki keterikatan apapun, merampas hak dan akhirnya mengusir tuan rumah. Demikian juga sejarah pasti akan membenarkan tiap bangsa yang memperjuangkan nasibnya, apalagi dengan sebesar-besarnya perngorbanan, sebagai yang dilakukan oleh bangsa Arab di Palestina.
Kiai Saifuddin Zuhri menegaskan, mustahil bangsa Arab yang telah memperjuangkan nasib bangsanya dengan pengorbanan yang sangat besar, mengangkat senjata melawan saudaranya sendiri (Turki), menyerahkan mentah-mentah apa yang sudah diperolehnya kepada bangsa asing yang datang (Yahudi) untuk menindas dan memperbudaknya. Dahulu, bangsa Turki hanya menjadi hakim (pelindung tinggi) di Palestina, dan sama sekali tidak menjajah. Saat itu persaudaraan antara bangsa Turki dan bangsa Arab pun telah dipertalikan sejak berabad-abad oleh Islam (sesama Muslim).