SuaraKawan.com
Suara Rohani

Sebuah Penjelasan Meluruskan Kalimat ‘Terserah yang di Atas’

Pringsewu

Ketika seseorang ditanya tentang hasil dari usaha yang telah ia lakukan, kadang terdengar jawaban sebuah kalimat “Terserah yang di atas.” Secara umum kalimat ini dipahami bahwa kalimat ‘di atas’ yang dimaksud oleh orang tersebut adalah Allah swt. Namun, apakah Allah swt berada di atas? Terkait hal ini, KH Ahmad Ishomuddin (Gus Ishom) menjelaskan bahwa Allah swt tidak berada di satu tempat baik itu di atas ataupun di bawah. Allah juga tidak berada di arah mata angin baik di timur, selatan, barat, ataupun utara.  “Apa saja yang terlintas di dalam pikiranmu bahwa itu gambaran tentang Allah, maka itu bukanlah Allah,” tegasnya saat memberi mauidzah hasanah pada Peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama tingkat Kabupaten Pringsewu yang dilaksanakan di Kecamatan Banyumas, Ahad (29/1/2023).

Gus Ishom menegaskan bahwa Allah bukanlah makhluk atau dzat yang diciptakan. Allah juga tidak ada yang menciptakan-Nya karena Allah sudah ada sebelum adanya kata ada itu ada. Kita tahu dan mengenal Allah bukanlah dari dzat-Nya, namun dari sifat-sifat-Nya yang memiliki semua sifat kesempurnaan. Hal yang terpenting dari semua itu adalah keyakinan bahwa Allah swt ada. Tugas manusia menurut Gus Ishom adalah menyembah atau beribadah kepada Allah. Keharusan kita menyembah Allah ini bukan karena Allah butuh disembah karena sejatinya semua makhluk-Nya lah yang membutuhkan untuk menyembah Allah. Dalam rangka mengagungkan Allah sebagai khalik yang memiliki kekuasaan atas segala yang terjadi pada makhluknya, maka setiap shalat, umat Islam menyebut tiga kalimat dzikir yakni Subhanallah (Tasbih), Alhamdulillah (tahmid), dan Allahu Akbar (takbir).

Makna Tasbih itu adalah Takhalli mengosongkan Allah dari semua sifat yang tidak layak disandang oleh Allah. “Tidak boleh menyifati Allah dengan sifat-sifatnya makhluk yang penuh kekurangan,” ungkapnya.

Sementara kalimat Tahmid adalah sebuah pujian kepada Allah yang para ulama menyebutnya sebagai Tahalli yang bermakna menghiasi Allah dengan semua sifat kesempurnaan. Allah-lah yang memiliki kesempurnaan sehingga yang mengucapkan kalimat tersebut termotivasi untuk mengikuti kesempurnaan tersebut.

Kemudian kalimat Takbir adalah bermakna Tajalli yakni meniru semua sifat Allah yang baik. Hal ini agar semua yang nampak bisa mengingatkan kita akan kebesaran Allah swt. Hal ini bisa dirasakan saat kita melihat sosok ahli ibadah, maka akan mengingatkan kita kepada Allah.

Menurut KH Ahmad Ishomuddin “Bukan takbir (jika) ada orang yang mengucapkan Allahuakbar justru merasa dirinya lebih hebat dari orang lain,” tegasnya.

Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Kendi Setiawan

Related posts

Memahami Aliran-Aliran Islam untuk Toleransi Intraagama

Redaksi Surabaya

Teladan Moderasi Nabi Muhammad dalam Perjanjian Hudaibiyah

Redaksi Surabaya

Tentang Buku ‘Palestina dari Zaman ke Zaman’ Karya KH Saifuddin Zuhri

Redaksi Surabaya