SuaraKawan.com
Prosa Liris

Sang Pelacur

Setiap pagi tiba, sederet jadwal rutin menanti. Memandikan si bocah, menyiapkan sarapan, lalu mengantarnya sekolah. Tiga pekerjaan sekaligus aku lakukan, menjadi perawat, tukang masak, dan sopir. Luar biasa!

Sambil menunggu siang dan menjemput kembali anakku, aku dapat bersantai menonton beberapa serial kesayangan di teve. Secangkir kopi hitam, plus cemilan kesukaan hanya berjarak sejengkal geseran tangan dari pangkuan. Sesaat aku menjadi seorang Ratu yang hidupnya berleha-leha. Nikmat!

Sore pun tiba, saatnya aku mengganti daster lusuh dengan selembar gaun tidur berlapis kimono. Wewangian aku tabur ke penjuru tubuh. Seulas pewarna aku sapukan di bibir. Celak hitam tak ketinggalan aku pulas di mata.

Malam tengah menanti peranku menjadi seorang pelacur bagi suamiku. Tapi kali ini aku bukan melacur demi uang, tapi demi mendapat kunci surga. Lagi pula pelacur itu hanyalah istilah, bagi seorang istri yang harus mampu memberikan kepuasan pada suaminya.

“Kalau bukan kamu, siapa lagi yang dapat memuaskanku, Sayang?” Bisik suamiku genit. Aku pun menyandarkan kepala padanya. Bercerita tentang lelahnya diriku pada hari itu. Aku seperti Puteri kecil yang sedang bermanja pada seorang ayah. Nyaman!

Aku beruntung, hidup telah membuat diriku seperti cetakan roti. Memberi bentuk dan rasa berbeda, semuanya bermuara pada satu rasa, rasa nikmat dan bahagia. Begitulah peranku bagi orang-orang tercinta di dalam hidupku. Memberi kebahagiaan dalam bentuk dan cara berbeda, dan itu adalah anugerah.
Anugerah menjadi cetakan roti.

 

#sebagai tugas mengenal tulisan elek