Saksi Bisu Dua Kekuatan Besar Sumatra

oleh

Kerajaan Melayu adalah salah satu kerajaan tua yang mampu bertahan selama paling tidak 600 tahun. Selama itu pula diperkirakan Kompleks Percandian Muarajambi, di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi difungsikan.

Berita tertua datang dari Dinasti Tang yang mencatat adanya utusan dagang Mo-lo-yeu ke Tiongkok pada 644-645. Penyebutan serupa muncul pula dalam catatan seorang biksu asal Tiongkok I-Tsing. Dalam perjalanannya ke Nalanda pada 672, ia bercerita kalau sempat singgah di Fo-shi dan Mo-lo-yeu.

Pada 682 Prasasti Kedukan Bukit diterbitkan. Isinya tentang Dapunta Hyang yang mendirikan wanua di Palembang, lokasi di mana prasasti ini ditemukan. Bahkan ia punya tentara paling tidak 20.000 orang.

“Ada waktu kira-kira 40 tahun ketika Sriwijaya berdiri, utusan dari Mo-lo-yeu sudah sampai Tiongkok,” tegas Junus Arkeolog Junus Satrio Atmodjo, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Nasional. “Jadi sebenarnya ada kekuasaan yang lebih tua dari Sriwijaya.”

Sementara itu, kompleks percandian di Muaro Jambi diduga telah ada ketika Kerajaan Melayu berkuasa di Sumatra. Bangunan-bangunan tua ini kerap dihubungkan dengan lokasi I-Tsing menuntut ilmu ketika mampir ke Sumatra.

Dari penelitian arkeologis, masa tertua di situs ini diwakili oleh temuan keramik Dinasti Tang abad ke-8 hingga 9. Ada pula temuan dari penggalian Candi Gumpung berupa lempengan emas berisi mantra di dalam kotak peripih. Epigraf Boechari berpendapat, berdasarkan gaya tulisannya, temuan ini mewakili masa pertengahan abad ke-9 sampai awal abad ke-10.

Ini sejalan dengan analisis penanggalan radiokarbon yang sampelnya diambil dari Candi Kedaton dan sebelah timur Kolam Telagorajo. Diperkirakan kalau situs ini telah dipakai sejak abad ke-9-10.

Artinya, Situs di Muaro Jambi ikut difungsikan pada era Sriwijaya. Ia pun masih dipakai sewaktu Kerajaan Melayu kembali bangkit.

Tiga tahun setelah Prasasti Kedukan Bukit terbit, ada berita dari I-Tsing yang baru kembali dari Nalanda pada 685. Ia mampir lagi ke Mo-lo-yeu. Menurut dia, waktu itu Mo-lo-yeu sudah menjadi bagian dari Shili-Foshi (Sriwijaya).

Berita ini kemudian banyak dihubungkan dengan temuan Prasasti Karang Berahi di Jambi, di Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Seperti juga Prasasti Kota Kapur di Bangka, Palas Pasemah dan Jabung di Lampung, menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, Prasasti Karang Berahi ditempatkan setelah lokasinya ditaklukkan oleh penguasa Sriwijaya.

“Untuk mengantisipasi agar permukiman-permukiman yang sudah ditaklukkan itu tidak memberontak, maka ditempatkanlah prasasti kutukan,” katanya.

Wilayah Melayu adalah yang pertama diduduki oleh penguasa Sriwijaya pada awal masa perkembangannya. Malayu penting karena menguasai beberapa pelabuhan di sekitar Selat Malaka.

“Kalau bicara dua kekuatan besar di Sumatra, Sriwijaya dan Melayu. Orang masih punya asumsi keduanya selalu berperang,” jelas Junus. “Mungkin betul, mungkin juga tidak.”

Bukti adanya peperangan di antara kedua kekuatan itu tak pernah ditemukan. Misalnya dari toponimi atau asal usul nama tempat.

“Tak ada yang menunjukkan gejala pernah terjadi peperangan,” lanjut Junus. “Di dalam prasasti yang ditulis masa Sriwijaya juga tak pernah disebutkan.”

Menurutnya, lebih memungkinkan untuk menyebut Sriwijaya sebagai negara federasi. Di dalamnya beberapa kekuasaan bersatu. Ketika Sriwijaya masih sangat berkuasa, aliansi ini begitu kuat. Tentunya beberapa kekuasan lain berada di bawahnya, termasuk Melayu.

“Tergantung zamannya. Ada yang mengatakan pusatnya di Kataha, Kedah, Malaysia. Karenanya ini lebih ke negara federasi. Suatu saat rajanya di sana, suatu saat di sini,” jelas Junus.

Nama mirip “Jambi” kemudian muncul dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279). Ini ketika Raja Sriwijaya (San-fo-shi) bertempat tinggal di Chan-pi, sebagaimana bunyi catatan itu. Berdasarkan berita ini terbitlah dugaan bahwa pusat Kadatuan Sriwijaya telah berpindah ke Jambi.

Sementara ada Prasasti berbahasa Tamil dari 1030 yang berisi kemenangan Kerajaan Chola atas Sriwijaya dan wilayah sekitarnya. Serbuan itu terjadi pada 1025. Di antara yang ditaklukkan adalah Sriwijayam, yang mungkin ada di sekitar Palembang sekarang dan Malaiyur yang diartikan sebagai Malayu di Jambi.

Serangan bangsa Tamil tak cuma datang sekali. Sumatra kembali diserang pada 1068.

“Pertama diserbu rusak, bangkit lagi. Kedua kali diserbu lagi. Kedua kalinya Palembang rusak. Karena rusak, tak lagi jadi ibukota,” jelas Junus. “Ibukota pindah ke Jambi karena apa? Masih satu keturunan nih.”

Sementara, kata dia, di Palembang ditempatkan seorang viceroy, yaitu semacam administrator dari Kerajaan Tamil. Ia adalah bangsawan yang dipercaya untuk berdiam di Palembang.

“Tapi sampai kapan? kita nggak tahu ya. Karena setelah itu Palembang jadi pusat bajak laut,” lnjut Junus.

Ini kemudian yang membawa Cheng Ho ke Palembang pada awal abad ke-15. Misinya adalah membawa Chen Zuyi, bajak laut penguasa Palembang, untuk diserahkan kepada kaisar dan dipenggal kepalanya.

Memindahkan pusat pemerintahan ke Jambi rupanya bukan keputusan akhir. Berita dari abad ke-13 menyiratkan kalau posisi Kerajaan Melayu sudah berada di wilayah pedalaman, yakni di Dharmasraya. Nama ini masih bertahan sebagai sebuah kabupaten di Sumatra Barat.

Di tepi aliran Sungai Batanghari terdapat Kompleks Percandian Padangroco. Di sanalah ditemukan bagian alas arca Amoghapasa yang merupakan hadiah dari raja terakhir Singhasari, Kertanagara kepada rakyat Bhumi Malayu beserta rajanya, Tribhuwanaraja pada 1286.

Pada masa ini, nama Sriwijaya sudah tidak disebut lagi. Kertanegara ketika itu membangun afiliasi dengan Melayu dengan mengirimkan arca-arca yang dibuat di Jawa.

Arca-arca ini pula yang ditemukan di Situs Muarajambi. Salah satunya adalah arca Prajnaparamitha dari Candi Gumpung yang berciri kerajaan Jawa abad ke-13 itu.

“Ketika Kubilai Khan sedang memperluas pengaruhnya, termasuk ke Asia Tenggara. Kertanegara merasa perlu membangun afiliasi dengan kerajaan-kerajaan lain,” jelas Junus.

Karenanya sangat mungkin kalau pada abad ke-13 percandian Muarajambi masih digunakan. Meskipun Jambi tak lagi menjadi penting dalam sistem pemerintahan di Sumatra.

“Saya cenderung melihat ini (Muarajambi, red.) sebagai tempat suci, karena bisa bertahan saat pemerintahannya sudah pindah,” ujar Junus. “Jambi tak lagi penting dalam pengertian administrasi, barangkali penting dari sisi agama atau pusat pengembangan agama.”

Muarajambi akhirnya mulai ditinggalkan seabad kemudian. Ini dilihat dari jumlah temuan keramik masa Dinasti Ming (1368 – 1644 ) yang makin sedikit ditemukan.

“Kepadatan temuan keramik dari Dinasti Sung (abad ke-10-13). Keramik dari Dinasti Yuan (abad ke-13-14) mulai tipis, Ming jarang ditemukan,” kata Asyhadi Mufsi Sadzali, ketua prodi Arkeologi Universitas Jambi.

Masa-masa itu adalah ketika pemerintahan Melayu kembali bergeser. Terutama setelah tokoh bernama Adityawarman, seorang putra Melayu, kembali dari Jawa lalu menduduki singgasana Kerajaan Melayu.

Di tempat yang dikenal sebagai Situs Rambahan, Kenagarian Lubuak Bulang, Kecamatan Pulau Punjung, bagian Arca Amoghapasa ditemukan. Arca itu sama dengan yang dikirimkan Kertanegara, yakni arca yang bagian alasnya ditemukan di Padangroco.

Arca ini rupanya dipindahkan ketika Adityawarman memerintah. Di bagian belakang arca, pada 1347, ia menambahkan torehan prasasti. Di antaranya tentang penyelenggaraan upacara yang bercorak Tantrik, pendirian arca Buddha bernama Gaganaganya, dan pemujaan kepada Jina.

Kata arkeolog Budi Istiawan lewat tulisannya, “Jejak Sejarah dan Kepurbakalaan Dharmasraya”, Menguak Tabir Dharmasraya, Prasasti Amoghapasa dibuat untuk menunjukkan kesamaan religi yang dianut Adityawarman dan Kertanegara. Penulisan dan penempatan arca itu di daerah hulu, di Rambahan, bisa jadi merupakan justifikasi dan legitimasi hal itu.

Sementara alas arca yang tak ikut dipindahkan adalah legitimasi keberlanjutan ibukota kerajaan, dari masa Tribhuwana hingga Adityawarman. “Secara magis memberikan kekuatan spiritual bagi Adityawarman maupun kerajaannya itu sendiri,” jelas Budi.

Kerajaan Melayu pada era Adityawarman berpindah pusat pemerintahannya ke arah pedalaman, yaitu di wilayah Kabupaten Tanah Datar sekarang. Berdasarkan temuan Prasasti Pagaruyung III dan Saruaso I, diperkirakan Adityawarman masuk ke daerah Tanah Datar pada 1347 dan memerintah di sana sampai 1375.

“Tokoh yang disebutkan sebagai Raja Pagaruyung, sebetulnya juga Kerajaan Melayu,” jelas Junus.

Keberadaan Muarajambi pun menjadi sangat penting karena merupakan awal berkembangnya peradaban besar di sepanjang Sungai Batanghari. “Melayu itu sendiri asal muasalnya dari Muarajambi. Penting sekali Muarajambi sebenarnya,” lanjut Junus.

Kerajaan Melayu kembali menyala saat api Sriwijaya meredup di Jambi. Bagaimanapun dalam rentang waktu 500 sampai 600 tahun, kompleks percandian Buddhis itu telah menjadi saksi bisu dari dua kekuasaan besar di Sumatra yang kejayaannya silih berganti. [HS]

 

No More Posts Available.

No more pages to load.