“Kanjeng Adipati, kiranya sudi menerima serta memeriksa benda yang ada di dalam kain putih ini,” bergetar suara Ki Tumenggung Suradilaga saat berucap kata-kata. Ia beringsut maju setapak demi setapak menghaturkan benda keramat itu ke hadapan Adipati Hadiwijaya.
Dengan menjulurkan kedua lengannya, Adipati Hadiwijaya menerimanya dari Ki Tumenggung Suradilaga. Agaknya ia telah menduga isi bungkusan kain putih itu, dengan berhati-hati ia membuka bungkusan itu dan menarik keluar isinya.
“Keris Sabuk Inten!” desis terkejut Adipati Hadiwijaya melihat sebilah keris pusaka yang kini berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lantas membuat gerakan untuk memberi penghormatan pada piandel pusaka yang telah berusia sangat tua. Ki Tumenggung Suradilaga segera mengikuti setiap gerak penghormatan yang dilakukan oleh Adipati Hadiwijaya. Sejenak kemudian keduanya telah bersikap tenang dalam duduknya.
“Aku harap kau tidak salah mengerti, Ki Tumenggung,” kata Adipati Hadiwijaya kemudian. Ki Tumenggung Suradilaga mengangguk dalam-dalam dan menunggu kelanjutan dari kata-kata Adipati Hadiwijaya.
“Itu semua bukanlah bentuk penyembahan pada sebuah benda mati yang pada dasarnya memang tidak memiliki kehendak dan tidak pula dapat berbuat apa-apa. Gerakan itu memang sepintas akan mirip dengan gerakan menyembah Yang Maha Perkasa, tetapi sesungguhnya gerakan yang aku lakukan dan kau ikuti adalah sebuah penghormatan. Aku menghargai kerja keras dari empu yang membuat keris ini, aku menghormati Kanjeng Sunan Kalijaga yang memberikannya sebagai hadiah pada Majapahit. Aku mengingat semua peristiwa yang terjadi di sekitar keris, di masa lalu,” Adipati Hadiwijaya menarik napas panjang.
Ia melanjutkan kemudian, ”Di dalam Keris Sabuk Inten ada banyak pesan. Ada banyak peristiwa yang terjadi, baik berhubungan secara langsung dengan keberadaan keris ini atau tidak langsung. Dengan kata lain, aku menghormati sebuah sejarah panjang dan dalam perjalanan sejarah itu sendiri terkandung nilai-nilai yang luar biasa. Kemudian apabila kita berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam, kau akan temui kebesaran Yang Maha Perkasa dalam setiap lekuk, setiap guratan dan ukiran keris yang memancar keluar darinya.” Ia mendesah, lalu berkata lagi, ”Namun kini setiap orang seperti sudah tidak peduli lagi dengan perjalanan hidupnya.”
Ki Tumenggung Suradilaga menunduk dalam-dalam. Dalam hatinya, ia membenarkan setiap kata yang diucapkan oleh Adipati Hadiwijaya. Namun ia juga mengakui kebodohan yang ada dalam dirinya yang pada mulanya hanya mengira sebilah Keris Sabuk Inten adalah pusaka yang mumpuni dan pilih tanding. Ia mengusap wajahnya dan menyadari jika keris yang melekat pada tubuhnya selama beberapa hari itu sebenarnya mempunyai arti yang lebih besar dibandingkan wujud nyatanya.
“Sebenarnya Keris Sabuk Inten ini dititipkan padamu dengan satu pesan khusus dari Raden Trenggana,” tiba-tiba Adipati Hadiwjaya berkata dengan tegas dan tajam. “Namun itu tidak berarti Anda mendapat kepercayaan seperti halnya Sunan Kalijaga memercayai eyang Prabu Brawijaya.”
“Saya mendengar, Kanjeng Adipati,” sahut Ki Tumenggung.
Adipati Hadiwijaya tidak meneruskan kata-katanya, kini ia memandang lekat Keris Sabuk Inten yang berada di pangkuannya.
“Apakah seperti itu yang menjadi pesan ayahanda?” ia bertanya pada dirinya sendiri. Untuk waktu yang cukup lama Adipati Hadiwijaya merenungi pesan dari Sultan Trenggana yang ada di setiap bagian keris. Ia mengangkat wajahnya, lalu, “Mungkin aku telah mengerti pesan beliau. Lalu apa yang akan kau katakan padaku?”
Ki Tumenggung Suradilaga mengangkat wajahnya sebentar kemudian ia kembali melihat lantai di bawahnya. Adipati Hadiwijaya agaknya menyadari jika pesan itu sangat penting hingga dapat menyebabkan gejolak bergemuruh dalam hati orang yang duduk di hadapannya. Ia sabar menunggu Ki Tumenggung Suradilaga untuk mengendapkan perasaan.
Waktu telah merambat menuju senja. Matahari perlahan-lahan menapak jalan turun di balik punggung bukit-bukit yang terhampar di sebelah barat Pajang. Sementara di regol pendapa juga telah terjadi pergantian prajurit jaga dan para perondan mulai mempersiapkan diri untuk menempuh waktu panjang malam hari.
Kesejahteraan rakyat Pajang telah menjadi perhatian utama Adipati Hadiwijaya. Di musim kemarau yang panjang, mereka masih mempunyai persediaan bahan pangan yang cukup, sementara perangkat kadipaten bahu membahu menjaga aliran air agar tetap dapat melintasi parit-parit yang bertebaran di tlatah Pajang. Adipati Hadiwijaya sendiri tak segan untuk mendatangkan para pande besi yang terampil dari luar Pajang. Mereka dikumpulkan dan mendapat pembinaan untuk menularkan kemampuan mereka pada rakyat Pajang. Lalu hasil kerajinan berbahan besi itu kemudian dapat diperdagangkan dengan wilayah-wilayah sekitar Pajang. Bahkan Adipati Hadiwijaya sering memerintahkan untuk mengirim alat-alat pertanian pada wilayah-wilayah yang membutuhkan tanpa ada kewajiban bagi mereka untuk membeli alat-alat itu.