SuaraKawan.com
Bab 2 Sabuk Inten

Sabuk Inten 10

Hampir saja Ki Tumenggung Suradilaga membuka bibirnya ketika terlihat olehnya sepasang mata yang tersembul dari balik pintu yang menghubungkan pendapa dengan pringgitan. Tiba-tiba pemilik sepasang mata yang jernih itu menyembunyikan diri. Namun tak lama kemudian, terlihat ujung rambutnya perlahan-lahan keluar dari balik pintu. Sepasang bola matanya bergerak-gerak melihat kedua orang lelaki dewasa yang tengah berada di pendapa.

“Kemarilah, Ngger,” kata Adipati Hadiwijaya. Namun ia kembali menarik kepalanya dan dan bersembunyi dengan merapatkan tubuhnya pada daun pintu. Adipati Hadiwijaya kembali mengulang perintahnya dan menambahkan, ”Kau harus keluar dan mengenal salah seorang pamanmu, Ki Tumenggung Suradilaga. Lekas kemarilah!”

Lalu dari balik pintu itu keluarlah seorang anak lelaki yang berusia sekitar delapan atau sepuluh tahun berjalan menghampiri ayahnya.

“Kau juga harus memberi salam pada paman,” perintah Adipati Hadiwijaya pada anak lelakinya setelah mengulurkan tangan menerima hormat darinya. Anak lelaki itu berjalan dengan tegap dan gagah, ayunan langkah kakinya telah menunjukkan jika ia sedang dipersiapkan untuk sebuah perjalanan panjang dan berliku.

“Pangeran,” kata Ki Tumenggung sambil memberi hormat. Anak lelaki itu meskipun masih berusia sangat muda, namun mengerti yang harus dilakukan. Ia membalas penghormatan teman bicara ayahnya dengan sikap yang mengagumkan.

Seakan mengerti isi hati Ki Tumenggung Suradilaga, Adipati Hadiwijaya kemudian berkata, ”Jaka Wening lebih sering menghabiskan waktu bersama Ki Buyut Mimbasara.”

“Jaka Wening?” desis pelan Ki Suradilaga.

Pendengaran tajam Adipati Hadiwijaya mendengar desah pelan Ki Suradilaga yang nyaris tidak terdengar. Lalu katanya, ”Iya. Jaka Wening, begitulah Ki Buyut jika memanggilnya. Sedangkan aku? Aku tidak memberi nama itu padanya.” Adipati Hadiwijaya tersenyum lebar sembari mengusap kepala Jaka Wening.

“Dan agaknya Ki Buyut sendiri sepertinya keberatan apabila Jaka Wening terlalu sering berada di dekatku,” sambungnya kemudian. Ia meneruskan kata-katanya, ”Ki Buyut pernah mengatakan padaku jika sehari saja tidak mendengar tawa atau suara bernada marah dari anak ini, Ki Buyut merasa seperti terhimpit oleh Merapi. Sehingga aku kira memang lebih baik jika saat fajar Jaka Wening telah berada di padepokan, meskipun begitu Ki Buyut pun turut menemaninya di bilik jika malam telah tiba. Keduanya seperti sudah tidak terpisahkan lagi.”

Kembali tangan Adipati Hadiwijaya mengusap anak lelakinya, lalu tiba-tiba saja Jaka Wening berlari kecil meninggalkan ayahnya. Ki Suradilaga cukup terkejut dengan hentak kaki Jaka Wening yang lebih ringan dan mantap jika dibandingkan dengan anak seusianya.

“Semoga Kanjeng Adipati telah menempatkan angger pangeran di bawah bimbingan orang yang tepat,” binar mata Ki Suradilaga menyiratkan sebuah harapan besar pada perkembangan Jaka Wening.

“Benawa akan mencari ruang dan waktu untuk mengukur kedalaman dirinya sendiri. Kemudian ia akan menjadi seorang Benawa. Ia tidak akan pernah menjadi seseorang seperti Jaka Tingkir atau siapa pun.” Setelah berkata demikian, kemudian Adipati Hadiwijaya mempersilahkan Ki Tumenggung memasuki biliknya dan mengambil waktu untuk menjaga keseimbangan raga serta batinnya.

Malam berlalu begitu cepat seperti anak panah yang melesat lepas dari busurnya. Permukaan sungai merambat naik. Hujan turun deras dengan sekali-kali terdengar guntur membelah angkasa. Di tengah kesendiriannya, Adipati Hadiwijaya meraba permukaan keris Sabuk Inten. Ia berusaha mencari jawaban sekalipun telah mengetahui riwayat benda yang berada dalam pegangannya. Langkah-langkah untuk membawa Pajang menuju kemakmuran telah ditentukan dan ia berada di jalan yang tepat untuk itu. “Apakah Sabuk Inten memang berisi pesan Sunan Kalijaga untuk menjadi pertanda yang tetap bagi kemajuan negeri?” Adipati Hadiwijaya mengajukan pertanyaan lalu ia jawab sendiri. “Mengikat kesetiaan hampir selalu berjalan beriring dengan kemakmuran, termasuk juga keamanan. Inilah jalan yang sedang aku tempuh dan mungkin satu perjalanan panjang.”

Adipati Hadiwijaya mengenang perjalanan panjang yang telah dilewatinya. Bermula sebagai tenaga rendah hingga mengambil peran penting ketika menundukkan sekumpulan orang yang tidak puas terhadap Raden Trenggana. Meredam kemarahan orang-orang yang menebar hasrat gila lalu menyebar bagaikan air bah melanda negeri menjadi pijakan awal baginya. Garis nasib membawanya sebagai orang berkdudukan tinggi di Demak. Meski sebagian orang berpikir bahwa kegilaan yang dilakukan sejumlah orang adalah rancangan Jaka Tingkir, namun tidak ada yang mampu membuktikan itu. Yang berada dalam ingatan orang-orang adalah Jaka Tingkir berhasil meredakan kemarahan banyak orang.

Related posts

Penculikan 6

Ki Banjar Asman

Pertempuran Hari Pertama 10

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 41

Redaksi Surabaya