Pangeran Jawa satu ini memang tidak mengenal takut. Sejak usia muda, ia sudah akrab dengan konflik. Pada satu titik dalam hidupnya ketika dewasa, ia harus melawan tiga musuh sekaligus: VOC (Belanda), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Sepak-terjangnya susah dihentikan dan justru mengakibatkan banyak korban dari pihak lawan. Dari situlah ia dijuluki Pangeran Sambernyawa.
Nama aslinya Raden Mas Said, lahir di Keraton Kartasura (dekat Surakarta) pada 7 April 1725. Ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara, merupakan putra sulung Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726. Said bersaudara dengan Pangeran Prabasuyasa atau Pakubuwana (PB) II, namun lain ibu (Raka Revolta, Konflik Berdarah di Tanah Jawa, 2008: 132).
Seharusnya, Arya Mangkunegara paling berhak mewarisi takhta Mataram/Kartasura, bukan Prabasuyasa. Namun, lantaran selalu menentang Belanda, ia diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia (Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, 2005:19).
Prabasuyasa lalu dinobatkan sebagai penguasa Mataram selanjutnya, dengan gelar Pakubuwana II. Saat Arya Mangkunegara dibuang ke Srilanka oleh VOC, Said baru berusia 2 tahun. Atas dasar inilah, Said mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, melanjutkan cita-cita sekaligus menuntaskan dendam ayahnya. Kelak, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa mendirikan keraton baru di Surakarta. Ia menyandang gelar Mangkunegara I, memakai nama sang ayah.
Membantu Tionghoa Melawan VOC
Pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa oleh Belanda di Batavia pada 1740 ternyata berdampak sampai ke Jawa. Banyak orang keturunan Cina yang melarikan diri agar selamat. Tak hanya itu, komunitas Cina di berbagai daerah pun turut mengangkat senjata, melakukan perlawanan terhadap VOC, termasuk di Jawa Tengah.
Pemberontakan laskar Cina di Kartasura terjadi pada 30 Juni 1742. Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning tampil sebagai pemimpin aksi ini (Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, 2005: 153). Raden Mas Garendi adalah cucu penguasa Kartasura periode 1702-1705, Amangkurat III.
Kala itu, Kartasura berada di bawah pimpinan Pakubuwana II. Said, yang masih berusia 19 tahun, bergabung dengan Garendi beserta orang-orang Cina untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap VOC dan keraton. PB II terdesak dan menyelamatkan diri ke Ponorogo, Jawa Timur. Peristiwa ini dikenal dengan nama Geger Pacinan. Ketika PB II kembali ke Kartasura pada November 1743, ia mendapati istananya hancur akibat serangan kaum “pemberontak” dalam Geger Pacinan tersebut. Maka, PB II membangun keraton baru di Surakarta atas bantuan VOC. Sejak saat itu, pusat peradaban Mataram pindah dan berganti nama menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Daradjadi, Perang Sepanjang 1740-1743: Tionghoa-Jawa Lawan VOC, 2008: 247).
Di sisi lain, hubungan antara Garendi dan Said semakin erat karena berada dalam satu nafas perjuangan yang sama. Garendi—yang oleh para pengikutnya diangkat sebagai Amangkurat V—bertahan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, dan tidak mau menduduki singgasana istana.
Dalam Pangeran Sambernyowo (KGPAA Mangkunagoro I): Ringkasan Sejarah Perjuangannya (1989) disebutkan, Raden Mas Said dan prajuritnya melebur dengan pasukan Amangkurat V (hlm. 25). Said kemudian diangkat sebagai panglima perang. Kekuatan gabungan ini mengobarkan perlawanan terhadap PB II yang dibantu Belanda.
Bersama Mangkubumi Menghadapi PB II
Pada akhirnya, Amangkurat V dapat ditangkap oleh VOC dan pasukan Pakubuwana II dengan bantuan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura. VOC meminta agar Amangkurat V dihukum mati. Namun, Pakubuwana II menolak dan memutuskan kerabatnya itu diasingkan ke Ponorogo. Sementara itu, Said berhasil selamat dari penyerbuan. Sepeninggal Amangkurat V, ia memperoleh mitra baru, yakni Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah saudara kandung PB II (Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, 2017: 67).
Mangkubumi yang merasa berhak atas takhta Mataram sempat pergi ke Semarang untuk meminta kepada Belanda agar dirinya diangkat sebagai raja, namun ditolak. Penolakan tersebut membuat Mangkubumi kesal dan berniat meruntuhkan takhta PB II. Kebetulan, Raden Mas Said juga punya tujuan yang sama: melawan PB II dan VOC.
Said dan Mangkubumi menyingkir ke sebelah barat Surakarta, di kawasan pedalaman yang kini dikenal dengan nama Yogyakarta. Di tempat baru itu, mereka mengobarkan perlawanan terhadap PB II dan VOC dengan cara gerilya. Untuk mempererat hubungan, Said dinikahkan dengan putri Mangkubumi, Raden Ayu Inten. Pasukan gabungan Said dan Mangkubumi benar-benar membuat Surakarta kewalahan. Hingga akhirnya, PB II wafat pada 20 Desember 1749 karena sakit parah. Sebelum mangkat, PB II dipaksa menyerahkan takhta Surakarta kepada VOC (Moertjipto & Tirun Marwito, Upacara Tradisional Jumenengan, 1989: 12).
Kabar Pakubuwana II sakit keras dimanfaatkan betul oleh Pangeran Mangkubumi. Pada 12 Desember 1749, hanya beberapa hari sebelum PB II wafat, Mangkubumi mengklaim dirinya sebagai raja Mataram di Yogyakarta dengan gelar Pakubuwana III. Penobatan ini didukung penuh oleh Said, yang lantas diangkat sebagai panglima perang sekaligus mahapatih oleh Mangkubumi. Tapi, pemerintahan di Yogyakarta tidak diakui VOC. Mereka menunjuk putra PB II, Raden Mas Suryadi, sebagai penerus takhta Mataram di Surakarta dengan gelar Pakubuwana III. PB III adalah penguasa Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.
Dengan demikian, ada dua Pakubuwana III pada saat itu, yakni Mangkubumi di Yogyakarta dan Raden Mas Suryadi di Surakarta. Mangkubumi nantinya mengubah gelarnya menjadi Hamengkubuwana (HB) I. Dikeroyok VOC, PB III, dan HB I Mangkubumi dan Said terus melakukan perlawanan terhadap VOC dan PB III selama beberapa tahun. Ribuan prajurit Belanda tewas akibat ulah pasukan dari Yogyakarta ini. VOC pun kemudian mencari cara agar kekuatan Mangkubumi dan Raden Mas Said bisa dipatahkan, dengan jalan devide et impera atau politik pecah-belah.
VOC menyusupkan seorang kerabat keraton bernama Tumenggung Sujanapura ke kubu lawan. Sujanapura berkata kepada Raden Mas Said bahwa sebenarnya Mangkubumi tidak suka kepadanya dan khawatir dikhianati. Atas hasutan ini, Said bimbang dan akhirnya memisahkan diri dari pasukan Mangkubumi (Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, 2009: 93). Raden Mas Said merasa keputusannya tepat, terlebih ketika Mangkubumi menyepakati perundingan dengan VOC yang melahirkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Isinya adalah Mangkubumi memperoleh separuh wilayah kekuasaan PB III dan diakui sebagai penguasa Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwana I.
Sejak saat inilah, Kasultanan Yogyakarta resmi berdiri.
Said berjuang sendirian, dikeroyok tiga kekuatan besar: VOC; PB III di Surakarta; serta mantan sekutu, paman, sekaligus mertuanya sendiri, HB I di Yogyakarta. Said memang sangat menentang Perjanjian Giyanti yang dianggapnya telah memecah-belah kepemimpinan di Jawa. Namun, Raden Mas Said pantang menyerah dan terus-menerus melakukan perlawanan. Sepak-terjangnya yang mengerikan ini membuat Nicolaas Hartingh, Gubernur VOC untuk wilayah pesisir utara Jawa, menjulukinya sebagai Pangeran Sambernyawa.
Akhir Aksi Pangeran Sambernyawa Setidaknya ada tiga pertempuran besar yang dilakoni Said dan pasukannya dalam periode itu.
Pertama, di Desa Kasatriyan dekat Ponorogo pada 1752 menghadapi pasukan gabungan VOC, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Babad Lelampahan, seperti dikutip dari Sambernyawa Menggugat Indonesia (2011) yang disusun Soerjo Soedibjo Mangkoehadiningrat, menyebut, dari pihak Said hanya kehilangan nyawa 3 orang, sedangkan 29 orang lainnya luka-luka. Dari kubu musuh, sebanyak 600 orang tewas (hlm. 12).
Kedua, pasukan Said berhasil mengalahkan tentara VOC pimpinan Kapten van der Pol di hutan Sitakepyak, selatan Rembang, pada 1756. Ribuan prajurit bantuan yang dikirimkan HB I dari Yogyakarta juga dapat dipukul mundur. Kapten Pol bahkan tewas, kepalanya ditebas oleh Said.
Pertempuran besar ketiga terjadi setahun kemudian. Said memimpin pasukannya menyerbu Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan mengakibatkan kerugian besar bagi VOC dan Sultan HB I. Akibat serangan itu, HB I menjanjikan hadiah uang sebesar 500 real dan jabatan bupati kepada siapa saja yang berhasil menangkap Said. VOC bahkan siap memberikan uang sebesar 1.000 real asal Said dapat dibunuh. Lantaran tidak ada seorang pun yang mampu menunaikan sayembara tersebut, VOC mendesak kepada PB III dan HB I untuk membujuk Said melakukan perundingan. Said ternyata bersedia. Maka digelarlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 (Denys Lombard, Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, 1996: 46).
PB III memperlakukan Said dengan sangat baik dalam pertemuan itu, begitu pula utusan HB I maupun VOC. Hasil Perjanjian Salatiga inilah yang mengakhiri pertikaian antar trah Mataram di tanah Jawa. Said mendapatkan konsesi berupa wilayah khusus yang akan dipimpinnya. Sejak saat itulah muncul kerajaan ke-3, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang hidup berdampingan dengan Kasunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, yang menggelari dirinya dengan Mangkunegara I, akhirnya bisa ditenangkan. Ia diakui Belanda sebagai salah satu dari tiga raja di jantung peradaban Jawa, meski sebenarnya posisi Mangkunegara berada di bawah dua raja lain. Mangkunegara tidak diperkenankan menyematkan gelar setingkat raja seperti sunan atau sultan, ia tetap bergelar pangeran. Wilayah kekuasaannya pun bukan kerajaan, tapi setingkat kadipaten atau keharyapatihan.
Mangkunegara I meninggal dunia di Surakarta pada 23 Desember 1795 dalam usia 70 tahun. Pemerintah Republik Indonesia memberinya gelar Pahlawan Nasional dan menyematkan anugerah Bintang Mahaputra pada 1983. (Tirto)