SuaraKawan.com
Bab 3 Pangeran Benawa

Pangeran Benawa 2

“Untuk itulah saya berada di sini, Eyang. Selain berpamit pulang, saya juga ingin menyampaikan apa yang telah saya dengar dari Adipati Hadiwijaya. Rencana paman Trenggana tentu akan membawa perubahan di Jipang, maka dari itu saya ingin memastikan Jipang tidak mengalami goncangan yang disebabkan rencana besar paman Trenggana,” ia berkata seraya menoleh ke Jaka Wening yang masih berlatih di belakang mereka. Lalu ia berdesis, ”Adimas Hadiwijaya sungguh beruntung mempunyai seorang putra seperti Jaka Wening.”

Ki Buyut Mimbasara menatap Arya Penangsang dengan dahi berkerut. Ia menata perasaannya lalu, ”Aku terkadang merasa sulit untuk meraba alasanmu ketika kau memanggilnya sebagai Kakang bila sedang berbicara dengan Angger Mas Karebet. Dan ketika ia sedang tidak berada di dekatmu, kau nyatakan dia sebagai adikmu. Arya Penangsang, apa sebenarnya yang sedang kau rasakan?”

Arya Penangsang membalas tatap mata Ki Buyut dengan penuh rasa hormat, ia membuka bibirnya lalu, ”Saya akan katakan itu pada Adimas Hadiwijaya. Dan saya harap Anda tidak merasa keberatan dengan dua panggilan yang saya  gunakan.”

Ki Buyut Mimbasara lantas manggut-manggut dan ketika tatap matanya beralih pada Jaka Wening, ia berkata, ”Aku harap Jaka Wening akan mampu memenuhi harapanmu.”

“Semoga, Ki Buyut,” Arya Penangsang menutup pembicaraan dan melangkah keluar padepokan.

“Berhati-hatilah, Ngger.”

Arya Penangsang membalikkan badan lalu membungkuk hormat sekali lagi pada Ki Buyut Mimbasara.

Jaka Wening menatap punggung Arya Penangsang yang berjalan menjauhi padepokan dengan beberapa pertanyaan yang melintas di benaknya. Ia berjalan menghampiri Ki Buyut Mimbasara yang memanggilnya. Sejenak kemudian ia telah berdiri sebelah menyebelah dengan Ki Buyut.

“Aku tidak pernah mengharapkanmu menjadi seseorang seperti pamanmu atau menjadi seperti ayahmu. Aku ingin kau menjadi seseorang yang kau kehendaki,” berkata Ki Buyut kemudian.

Dahi Jaka Wening sedikit berkerut mencoba memahami kata-kata gurunya. Ia bertanya, ”Apakah paman Arya Penangsang akan kembali ke Jipang?”

“Ia bertolak hari ini.”

Jaka Wening menundukkan wajah, dan tak lama kemudian ia memegang lengan kakeknya dan berkata, ”Aku ingin berjalan di kaki gunung itu.”

Ki Buyut Mimbasara mengelus kepala Jaka Wening dengan lembut lalu katanya, ”Kita akan berjalan kaki menuju kaki gunung. Namun sebelum itu terjadi, aku akan berbicara dengan ayahmu dan beberapa orang lainnya.”

“Apakah kita akan mengajak serta kakang Sutawijaya?”

“Tidak, Ngger. Hanya kita berdua yang akan melakukan perjalanan ini.”

“Tentu menyenangkan apabila Kakang Sutawijaya dapat turut serta, Ki Buyut.”

“Aku dapat mengerti keinginanmu. Tetapi kakangmu terikat dengan pelajaran dan latihan yang diberikan oleh ayahnya,” berkata Ki Buyut Mimbasara kemudian.  Jaka Wening menganggukkan kepala lalu berjalan di sisi Ki Buyut Mimbasara memasuki bangunan utama padepokan.

Mereka duduk berhadapan. Pangeran Benawa merasa seokah tengah berada di tepi laut yang tidak bertepi ketika ia memandang wajah Ki Buyut Mimbasara. Keheningan yang merebak di dalam ruangan itu terasa berbeda. Ada semacam suasana khusus di antara mereka pada waktu itu.

“Jaka Wening,” kata Ki Buyut Mimbasara, “sejak lama aku menunggu waktu agar dapat berbicara lebih banyak denganmu.” Ia menarik napas sejenak. Ucapnya kemudian, “Keadaan saat ini akan berbeda ketika usiamu bertambah banyak. Engkau bukan lagi dapat dikatakan bocah atau anak-anak. Engkau akan mempunyai gelar, kedudukan dan mungkin juga kekuasaan yang besar.”

Pangeran Benawa membenamkan wajah dan menyimak kata demi kata dari Ki Buyut Mimbasara. Polos wajahnya memancarkan dengan benderang keteguhan hati dan ketenangan yang ada dalam dirinya. Meski usia belum mencapai pertengahan belasan tahun, Pangeran Benawa paham bahwa masih ada penjelasan lebih panjang dari kakek buyutnya itu.

Di luar bangunan besar.

Langit begitu bersih dari arak-arakan mendung. Sesesaat lagi Pajang akan basah dengan air hujan selama satu musim. Kala itu, langit seolah menjadi cermin kejernihan jiwani Pangeran Benawa. Setiap warna yang seolah hilang ketika tiba di kaki langit. Walau demikian, warna pelangi segera terlihat dengan secercah sinar yang jatuh di ujung telaga.

Pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanan bangunan seperti turut berpikir tentang kata-kata Ki Buyut Mimbasara. Mereka bergemerisik. Seperti sedang mencari pokok bahasan yang dikirimkan angin pada kerumun dedaunan.

Related posts

Kiai Plered 10 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 7

Ki Banjar Asman

Gunung Semar 1

Ki Banjar Asman