Dalam taraf yang paling tinggi, Reformasi 1998 sesungguhnya merupakan bangkitnya moralitas anti korupsi bangsa Indonesia. Oleh karena itu penting untuk flashback, mengingat kembali kehendak perubahan mendasar dalam perjalanan reformasi. Korupsi boleh dikatakan adalah masalah terpenting dan mendasar yang menjadi simpul dari semua permasalahan yang ada ketika itu. Jika terjadi pelemahan terhadap perangkat pemberantasan korupsi, baik regulasi maupun kelembagaan, tidak saja mengkhianati janjinya sendiri melainkan bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kehendak bangsa.
Pesan kehendak bangsa bukan hanya reformasi berupa desentralisasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan melainkan pembebasan dari korupsi yang dalam rumusan saat itu selalu digandengkan dengan kolusi dan nepotisme. Hal itu ditangkap secara mendasar oleh MPR, lembaga tertinggi negara, ketika itu. Setidaknya ada tiga TAP lahir antara 1998-2001 dalam merespon kehendak bangsa tersebut: TAP MPR No. XI 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi; No. VIII 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Matra
Artinya, dalam konteks ini anti korupsi bukan hanya masalah teknis penegakan hukum dan kerugian negara melainkan lebih jauh dari itu, yaitu terbangunnya etika atau moralitas sosial baru bermasyarakat dan bernegara serta sikap warga negara dan para pejabat negara. TAP MPR No. VI 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa memberikan dasar terbangunnya etika baru yang kuat untuk itu. TAP tersebut dibagi dalam enam matra, yaitu etika sosial budaya; etika ekonomi dan bisnis; etika penegakan hukum yang berkeadilan; etika keilmuan; serta etika lingkungan. Dan dalam pasal berikutnya disediakan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaannya. Karena itu TAP tersebut tidak hanya disediakan sebagai teks filosofis yang mengawang melainkan harus diterapkan menjadi kenyataan empiris.
Enam matra etika baru tersebut adalah semacam kehendak bangsa untuk membangun “habitus baru” dalam kehidupan individu, kolektif serta berbangsa dan bernegara. Tidak berlebihan untuk dikatakan, bahwa TAP tersebut bisa disejajarkan dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia tentang sistem etika, politik, ekonomi, budaya sebelumnya. Dalam item etika bernegara, misalnya, disebutkan secara eksplisit, bahwa “mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai (ps 2).”
Sikap mundur, jika dijalankan, adalah habitus baru dalam perilaku dan sikap pejabat negara. Begitu penting dan mendasarnya nilai-nilai etika di dalam TAP ini sehingga seharusnya menjadi ruh bagi seluruh visi, kebijakan dan pengaturan berikutnya. Lebih-lebih kandungan etika atau moralitas tersebut juga terpampang jelas dalam TAP No. XI 1998 tentang Kebijakan Pemerintahan dan Pencegahan KKN, “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.” (ps 4).
Konsistensi Pemerintah saat itu juga sangat konsisten untuk melaksanakan pesan moral atau amanat tersebut. Presiden BJ Habibie menginisiasi lahirnya UU No. 28 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, sebagai implementasi dari TAP MPR No. XI 1998. Sasaran dari UU ini terutama adalah Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Hakim dan pejabat-pejabat negara lainnya (ps. 2). Dengan demikian penataan moralitas dan tertib birokrasi pemerintahan dalam reformasi dimulai dari atas. Habibie juga mengeluarkan UU No. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Gus Dur juga menginisiasi memperkuat UU tersebut yang kemudian diundangkan Nomor 30 Tahun 2002 yang kini sedang dipaksakan untuk diperlemah oleh DPR.
Salah satu yang terpenting dari UU ini adalah harus dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang memiliki kedudukan cukup kuat guna memeriksa kekayaan pejabat negara secara langsung dan bisa atas inisiatif sendiri maupun atas laporan masyarakat, sehingga sempat membuat kecut para pejabat saat itu.
Jika ditemukan kejanggalan kekayaan bisa diadukan ke pihak berwajib yang bisa ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku. Nepotisme disebut secara eksplisit dalam UU ini dan bisa didenda dua ratus sampai satu milyar. Kini tidak terdengar lagi orang dijerat hukum karena kolusi dan nepotisme. Tidak mau repot presiden Gus Dur langsung tancap gas. Meskipun ditentang cukup keras dia tetap mengangkat dan melantik Kominsioner KPKPN sebagai salah satu pelaksanaan UU antikorupsi tersebut. Lembaga ini adalah bagian dari rencana Gus Dur untuk memberantas sesegera mungkin gunung es korupsi di Indonesia. Menurut laporan di berbagai media, presiden Gus Dur dan wapres Megawati bersama 47 pejabat lainnya adalah daftar kekayaan pejabat negara pertama dalam lembaran negara yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman bersama 34 anggota KPKPN dan pejabat lainnya.
Sehubungan dengan keberlakuan UU Anti Korupsi atau PTPK yang harus menunggu dua tahun untuk dibentuknya lembaga pemberantasan korupsi, tidak kurang kontrovesialnya pemerintahan Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No. 19 / 2000. Salah satu alasan pembentukan tim tersebut adalah karena jika harus menunggu terbentuknya lembaga KPK akan terlalu lama, karena harus mempersiapkan kelembagaan, sumberdaya manusia dan lainnya. Oleh Gus Dur, Tim Gabungan tersebut ditempatkan sebagai embrio guna mempersiapkan dan mensegerakan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
Demoralisasi baik KPKPN maupun TGPTPK ditentang keras oleh banyak pihak yang berpotensi terkena sasaran kedua lembaga tersebut. TGPTPK pada akhirnya dibatalkan oleh MA melalui suatu judicial review sedangkan KPKPN diinsert ke dalam KPK menjadi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) pada 2004. Menurut laporan evaluasi KPK sendiri dua tahun setelahnya –yang belum berubah hingga kini– LHKPN mengalami pelumpuhan daripada KPKPN: bersifat pasif dan tidak lagi efektif untuk mengawasi dan mencegah penyimpangan dan pelanggaran kekayaan pejabat negara apalagi untuk menindaknya. Sejak saat itu pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya berubah defensif daripada progresif seperti sebelumnya.
Sulit untuk memaafkan sebuah pemerintahan yang bahkan defensif pun tidak dalam mengemban moralitas baru bangsa yang menjadi bagian dari misi proklamasi kemerdekaan kedua untuk bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sikap itu telah mendorong dermoralisasi pemberantasan korupsi. Menghidupkan dan mengefektifkan LHKPN sebagiaman KPKPN yang proaktif dan progresif dengan segala mekanisme dan konsekuensinya, mungkin menjadikan imajinasi anti korupsi tidak jadi runtuh seluruhnya, sekaligus memerankan mesin pencegahan. Itu pun jika memasukkan di dalamnya seseorang bisa menjadi pejabat hanya jika bukan hanya memberesi LHKPN melainkan telah dibuktikan tiadanya harta yang mencurigakan
Ahmad Suaedy, Dosen Pasca Islam Nusantara UNUSIA dan Anggota Ombudsman RI