Desak Jokowi Mundur, TB Hasanuddin: Jangan Halu

oleh

Politisi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, menyebut pihak-pihak yang menggugat Presiden Joko Widodo untuk mundur seperti halusinasi .

Ia juga menilai desakan mundur terhadap Jokowi menimbulkan kegaduhan mengingat Indonesia masih bergulat melawan pandemi covid-19.

“Tahu aturan nggak sih? Mendesak Presiden mundur dari jabatannya, bukan perkara mudah dan perlu proses panjang karena implementasinya tidak sederhana,” kata anggota anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/5/2021).

Hasanuddin membeberkan dengan konfigurasi koalisi partai politik saat ini proses pemakzulan presiden nyaris tidak mungkin.

Bila memang terjadi, mekanismenya DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi didalam atau di luar negeri, terdapat dugaan presiden dan/atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela (UU MD3, pasal 79 ayat 4) .

“Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna,” bebernya.

Hasanuddin menegaskan, keputusan ini akan sah bila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya (UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3) .


Bila keputusannya adalah disetujui, imbuhnya, maka wajib dibentuk Pansus yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR (UU MD3, pasal 212 ayat 2).

“Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR,” kata dia.

Ia menegaskan, keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir (UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4) .

Persetujuan DPR ini selanjutnya dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.

“MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (UU MD3, Pasal 215 ayat 1),” ujarnya.

Setelah itu, MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR.

Dikatakan Hasanuddin, keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir (UU MD3, pasal 38 ayat 3).

“Melihat komposisi koalisi fraksi -fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat,” tegasnya.

Bila kemudian ada aspirasi menurunkan presiden lewat aksi anarkis di jalanan, Hasanuddin menegaskan hal tersebut melanggar UU bahkan dapat dikenakan tindakan pidana makar.

“Inilah demokrasi yang kita sepakati. Diskusi ilmiah mengenai pemakzulan boleh, tapi kalau aksi anarkis soal minta presiden diturunkan di jalanan, itu melanggar ketentuan,” tandasnya

Baru-baru ini, sejumlah oknum yang mengatasnamakan diri sebagai Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menggugat Joko Widodo alias Jokowi serta mendesak agar lekas mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Adapun gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Jumat (30/4).

Dalam situs PN Jakpus, gugatan itu terdaftar dengan nomor 266/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst, dengan Penggugat Muhidin Jalih dan Tergugat Presiden Jokowi.

Alih-alih mendapat dukungan rakyat, apa yang dilakukan TPUA dianggap sebagai lelucon.

Bahkan banyak yang secara terang-terangan mengumpat dan menyuarakan kekesalannya terhadap TPUA, terlebih kepada Eggi Sudjana.

“Masih untung sekarang, coba jaman soeharto gugat presiden….tinggal nama lu drun…,” komentar netizen dengan akun Legowo Moerdoko. [TS]

No More Posts Available.

No more pages to load.