SuaraKawan.com
Opini - Politik

Bisnis Agama untuk Kekuasaan

Dalam konteks “bisnis agama” ini, umat beragama adalah “pasar” yang sangat menggairahkan dan karena itu bisa dimanfaatkan (atau dimanipulasi) dengan baik oleh kaum “kapitalis agama”.

Kaum kapitalis atau pedagang agama ini bisa saja seorang klerik, pendakwah, politisi, birokrat, akademisi, artis, jurnalis, pebisnis, penulis dan masih banyak lagi.

Siapapun mereka, apapun profesinya, yang jelas intinya adalah mereka menjadikan atau memanfaatkan agama sebagai atau layaknya “barang dagangan” untuk meraup keuntungan ekonomi-politik dan material-duniawi.

Sebagian umat beragama memang seperti konsumen loyal dan faithful yang bisa dengan gampang membeli produk-produk keagamaan sehingga menguntungkan bagi para pedagang dan “tengkulak” agama ini.

Tentu saja tidak semua orang, termasuk umat beragama itu sendiri, mau atau bersedia “membeli” produk-produk keagamaan yang ditawarkan oleh kelompok kapitalis agama tadi.

Di sejumlah negara di Eropa atau Australia, misalnya, seperti yang ditulis oleh Steve Bruce dalam God is Dead: Secularization in the West, agama sepi peminat. Jualan agama tidak laku. Di dunia akademik Barat, agama memang telah menarik perhatian banyak pihak tetapi sebatas untuk dikaji teks-teks, tradisi, dan sejarahnya bukan dipraktikkan ajaran, norma, dan nilai-nilainya.

Fenomena di Eropa dan Australia diatas cukup kontras dengan Amerika dan Indonesia (juga di sejumlah negara lain seperti di Arab dan Timur Tengah) misalnya dimana telah terbukti bisnis agama ini memiliki banyak peminat dan pembeli.

Baik Islam (dari berbagai aliran dan organisasi) maupun Kristen (dari berbagai denominasi dan konggregasi) yang merupakan dua “agama misionaris” Semit yang sangat kuat telah mendulang banyak kesuksesan dan keuntungan di kedua negara ini.

Munculnya “Islam politik”

Di kedua negara ini pula, baik Kristen (di Amerika) maupun Islam (di Indonesia) telah menjadi, meminjam istilah sosiolog Jose Casanova, “agama publik” (public religion) yang tidak lagi “bersembunyi” di ruang-ruang privat melainkan telah menjelma menjadi fenomena publik di panggung-panggung politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh menarik dari fenomena “agama publik” ini adalah munculnya “Islam politik”yang marak paska lengsernya Presiden Suharto tahun 1998 yang ditandai dengan merebaknya berbagai parpol berlabel Islam serta aneka kelompok Islam sektarian yang mengusung beragam ideologi, mazhab, pemikiran, dan wacana keislaman.

Penting untuk dicatat bahwa kata “politik” dalam “Islam politik” ini tidak hanya merujuk pada “politik elit” tetapi juga “politik massa”, bukan hanya “politik pemerintahan” tetapi juga “politik kemasyarakatan”.

“Puber agama”

Karena sebagian kaum Muslim di Indonesia, terlebih masyarakat Islam kota, sedang “gandrung” atau “puber agama”, maka bisnis atau jualan Islam politik yang dijajakan, dikampanyekan, dan dipropagandakan oleh sejumlah elit Muslim (baik elit politik maupun agama) dan ormas keislaman ini juga lumayan laku laris-manis tanjung-kimpul.

Banyak kaum Muslim dengan antusias, ketulusan, keikhlasan, dan keluguan berbondong-bondong membeli aneka produk “Islam politik” ini dengan harapan tentu saja untuk mendapatkan ridla Allah dan sebanyak mungkin pahala supaya kelak bisa masuk surga.

Para aktor atau penjual Islam politik ini tidak perlu bermodal besar untuk mengeruk keuntungan ini. Mereka cukup bermodalkan sejumlah ayat Al-Qur’an ditambah sejumlah Hadis dan perkataan (aqwal) para ulama tertentu yang tentu saja semuanya—baik ayat, hadis, maupun aqwal tadi—sudah dipilah-pilah atau disortir sedemikian rupa dan disesuaikan dengan narasi, selera, agenda, dan kepentingan mereka.

Meskipun ada segunung teks, wacana, sejarah, dan tradisi keislaman yang kontra “Islam politik”, mereka abaikan karena tidak mendukung proyek ekonomi-politik-kekuasaan yang mereka desain dan agendakan.

“Stempel ketuhanan”

Dengan membubuhkan teks-teks sakral-agamis, maka gagasan dan wacana profan-sekuler seperti konsep “Islam politik” tadi kemudian menjadi ikut-ikutan tampak suci-Islami karena mendapat legitimasi teologis atau “stempel ketuhanan”.

Meskipun sebetulnya “Islam politik” sebagai sebuah konsep maupun aksi dan gerakan politik tetap saja profan dan sekuler karena merupakan produk dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Tetapi sebagian segmen publik massa Islam tidak memperdulikannya. Yang penting buat mereka, produk-produk itu ada dalil-dalil keislamannya.

Jika sudah kelihatan Islami dan seolah-olah mendapat restu dari Allah, maka produk “Islam politik” pun siap untuk di-launching. Di luar sana, sudah mengantri sekian banyak konsumen setia menunggunya.

Itulah yang terjadi saat ini dan juga masa-masa yang lalu di mana sebagian kaum Muslim rela berbondong-bondong menjadi pengikut setia para “kapitalis” Muslim yang menjual agama untuk kepentingan material-ekonomi dan politik-kekuasaan.

Atas nama menghormati dan memuliakan Islam serta menjunjung tinggi martabat kaum Muslim, mereka pun rela merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan hak-hak politik dan kewargaan non-Muslim seperti yang menimpa pada Ahok saat ini.

Disinilah sesunggunya saya melihat apa yang mereka klaim sebagai aksi atau gerakan “politik Islami” itu sangat tidak Islami karena berlawanan dengan kaedah-kaedah, moralitas, tata-krama, etika profetis, dan norma-norma kepolitikan yang digariskan dalam Al-Qur’an dan praktik-praktik kenabian.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.