HAMPIR sembilan abad yang lalu, Raja Jayabhaya memberikan anugerah kepada Desa Hantang dan 12 dusun yang masuk ke dalam wilayahnya. Hak-hak istimewa dilimpahkan kepada para penduduk. Sebab mereka telah berbakti kepada raja saat perang perebutan takhta. Mereka setia memihak paduka raja.
Kisah itu tertoreh dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 M). Peristiwa itu dinilai awal tragedi Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singhasari, dan keturunannya. Perebutan kekuasaan antara trah Ken Angrok dan Tunggul Ametung mewarnai jalannya pemerintahan di tanah Jawa, bahkan hingga era Majapahit akhir.
“Jadi, sebenarnya perseteruan itu memang buntut panjang dari peristiwa dari masa sebelumnya. Mengapa ada perseteruan dari sebelum masa hidup keduanya (Ken Angrok dan Tunggul Ametung, red.)?” kata arkeolog Dwi Cahyono.
Dwi menjelaskan, dalam Prasasti Hantang yang dikeluarkan Raja Jayabhaya pada masa keemasan Kadiri atau Pangjalu, terdapat tulisan Pangjalu jayati yang berarti Pangjalu menang. Ini tanda peristiwa perebutan takhta, Jayabhaya memperoleh kemenangan kemudian menyatukan Janggala di bawah Kadiri.
Dalam prasasti itu juga diberitakan kemenangan Pangjalu atas Hemabhupati yang ditafsirkan sebagai kakak dari Jayabhaya. Dia melawan karena enggan mengakui kekuasaan Kadiri.
Menurut Dwi, apa yang dilakukan Hemabhupati berhubungan dengan Ken Angrok. Keduanya terlibat dalam usaha yang berkelanjutan, yaitu membebaskan wilayah timur Gunung Kawi dari cengkeraman penguasa Kadiri.
Kata panual dalam Prasasti Hantang menunjukkan hal itu. Dalam bahasa Jawa baru, kata panual menjadi uwal, artinya terlepas dari ikatan. “Hemabhupati berusaha melakukan panual. Dia berusaha memisahkan timur Gunung Kawi dari klaim Kadiri, karena itu dia diserang dan kalah,” jelas Dwi.
Selanjutnya, nama Hantang yang kini muncul di sebuah kecamatan bernama Ngantang, Kabupaten Malang. Sekarang, letaknya di tengah antara Kediri dan Batu.
“Di sebelah baratnya Batu, dan timurnya adalah wilayah Kediri. Di tengah-tengah. Jadi sangat mungkin kemenangan (Jayabhaya, red.) ada di sebelah timur Hantang, yaitu di timur Gunung Kawi,” kata Dwi.
Serangan pertama kemungkinan datang dari arah Kadiri. Bergerak ke timur, lalu diadang pasukan Hemabhupati. “Sehingga tak sampai ke wilayah timur Gunung Kawi, tapi bertemu di tengah, yaitu Hantang,” jelasnya.
Artinya, Hemabhupati merupakan penguasa di wilayah timur Gunung Kawi, atau sekarang wilayah Malang Raya. Bisa jadi wilayah kekuasaannya bernama Tumapel. Daerah inilah yang dikalahkan oleh Pangjalu. Sementara dalam Pararaton, daerah itu merupakan zona jelajah Ken Angrok.
“Mungkin penguasa di Malang Raya waktu itu adalah raja Janggala atau bawahan raja Janggala. Belum tahu persis,” kata pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang itu.
Semenjak itu, wilayah timur Gunung Kawi pun posisinya menjadi daerah pendudukan Kadiri. Kadiri lalu menempatkan utusannya sebagai penguasa di daerah pendudukan itu.
Setelah berita dari tahun 1135 itu, kelanjutannya tak begitu jelas, sampai 63 tahun kemudian muncul Prasasti Ukir Nagara atau Prasasti Pamotoh (1120 Saka/1198 M). Prasasti ini dikeluarkan penguasa Kadiri lainnya, Raja Kertajaya. Isinya pemberian anugerah sima bagi beberapa desa.
“Ada yang di lembah Kali Metro, Lembah Brantas, atau daerah antara dua aliran ini, sebagai perdikan. Pada masa yang sama Kadiri juga memberikan anugerah perdikan ke wilayah Trenggalek, Tulungagung, terutama di selatan, dan juga Blitar, bahkan sampai Blitar timur,” sebut Dwi.
Pemberian status perdikan itu dalam rangka menarik kembali dukungan kepada Kadiri. Pasalnya, disinyalir banyak daerah bawahan berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Kadiri. Buktinya muncul di Prasasti Sirah Keting (1126 Saka/1204 M).
Menurut arkeolog Balai Arkeologi Sumatra Utara, Churmatin Nasoichah dalam tulisannya “Pembacaan Angka Tahun Prasasti Sirah Keting dan Kaitannya dengan Tokoh Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu” termuat dalam Jurnal Purbawidya Vol.6, prasasti itu ditemukan di Ponorogo, diterbitkan oleh Sri Jayawarsa, penguasa daerah Wengker, Ponorogo. Dalam prasasti itu, Jayawarsa menyebut dirinya keturunan Sri Isana Dharmmawangsa Tguh.
Melihat angka tahunnya, bisa diperkirakan Jayawarsa bukanlah penguasa Kadiri. Pasalnya, ketika itu Kertajaya masih berkuasa di Kadiri. Jayawarsa adalah anggota keluarga Raja Daha yang diberikan daerah lungguh di Wengker, atau sekarang wilayah Ponorogo. Dia merasa cukup kuat untuk melepaskan diri dari kekuasaan kemaharajaan di Daha.
Prasasti itu bahkan secara khusus memuji Jayawarsa sebagai jelmaan Dewa Wisnu. Dia dibuat untuk memperingati masa pemerintahan raja yang telah berlangsung selama seribu bulan.
“Ini menujukkan adanya daerah yang semi otonom terhadap Kadiri. Jadi, Ponorogo bergolak. Tulungagung selatan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, sampai Malang juga mulai bergolak,” ujar Dwi.
Pergolakan itu berlanjut sampai peristiwa yang diterangkan Pararaton, yaitu kisah Ken Angrok. Setelah menggulingkan penguasa Tumapel, Tunggul Ametung, dia memenangkan pertempuran melawan Kadiri di Ganter pada 1222 M.
“Jadi, kalau Hemabhupati mengalami kekalahan dari Kadiri di Hantang, keberhasilan itu baru didapat pada masa Ken Angrok sebagai penguasa Tumapel yang menang melawan Kadiri,” jelasnya.
Menurut Dwi, Angrok adalah tokoh perlawanan. Dia tokoh yang kembali berusaha memisahkan wilayah timur Gunung Kawi dari Kadiri. Bahkan bisa dikatakan, peristiwa Ken Angrok adalah peristiwa kudeta. Dia telah melibatkan masyarakat yang lebih luas daripada pergerakan sebelumnya.
Sejak muda, Ken Angrok sudah mulai membangun jaringan masyarakat antardesa yang merasa tak sejalan dengan penguasa Kadiri. Termasuk kepada bawahannya yang berkuasa di Tumapel, Tunggul Ametung.
Ken Angrok berhasil menghimpun berbagai kekecewaan masyarakat. Di antaranya dari kalangan agamawan Buddha dan Waisnawa sampai pencuri dan perampok.
Maka, menurut Dwi, apa yang tercatat dalam Pararaton tentang kisah Ken Angrok bukanlah perkara sederhana. Dia bukan cuma mewakili dirinya sendiri sebagai anak nakal yang mengalahkan seorang penguasa. Namun, pergerakannya melibatkan kekuatan besar.
“Artinya, perseteruan Kadiri dan Tumapel sudah terjadi sejak masa yang panjang. Bukan hanya ketika ada Angrok. Ini buntut saja,” jelas Dwi. Namun, belum pasti apakah pergerakan Ken Angrok itu secara terorganisir merupakan pergerakan lanjutan dari yang sebelumnya telah terjadi. [HS]