Sebersit keinginan untuk membantu prajurit Ki Tumenggung Badra Lodaya sempat menghampiri hatinya, tetapi keraguan segera menyergapnya. Sebenarnya Gagak Panji dapat mengabaikan kata hatinya, namun ia masih melihat pada kepentingan lain — yang menurutnya– jauh lebih besar daripada sekedar menolong prajurit Lasem.
“Apakah kalian mengenali kain yang aku pegang?” seru Gagak Panji sambil berkuda mendekati lingkar pertempuran. Seorang prajurit Lasem segera meloncat mundur dan menoleh ke arahnya.
“Tentu saja, Ki Sanak! Engkau seorang rangga dari Jipang,” jawab prajurit itu dengan suara yang keras.
Sementara itu, ketika bibir Gagak Panji mengatup, kudanya telah memasuki lingkaran pertempuran dan menyambar-nyambar setiap orang yang menjadi lawan prajurit Lasem. Sekejap kemudian gerombolan orang-orang yang berkata-kata kasar itu menjadi porak poranda. Keris di tangan Gagak Panji berkelebat sangat cepat membawa luka perih di bagian tubuh mereka.
“Aku akan membuat Lasem merasa bersalah jika menolak keinginanku,” berkata Gagak Panji dalam hatinya sebelum ia memutuskan untuk membantu prajurit Lasem.
Salah seorang dari gerombolan yang menggantungkan taring harimau pada lehernya melompat mundur lalu katanya, ”Ki Sanak, tampaknya kau ingin menjadi mayat pertama yang akan membujur di tepi hutan ini.” Ia membentak keras dan tubuhnya meluncur deras menerjang Gagak Panji yang masih berada di atas punggung kuda.
Gagak Panji membelokkan kudanya lalu ia melompat tinggi, berjungkir balik di udara, melesat turun seperti anak panah ke arah orang berkalung taring harimau. Telapak kiri Gagak Panji mengembang lalu mendorongkan angin dingin yang menyusup hingga belulang dada lawannya. Umpatan kasar terdengar dari orang berkalung taring itu sambil menghindari terjangan angin dingin yang dilepaskan oleh Gagak Panji.
“Tobil dempet! Kau kira siapa dirimu sehingga berani berhadapan dengan aku, Ki Bajra Saloka, penguasa hutan Argopuro!” bentak Ki Bajra Saloka.
Gagak Panji kembali meluncur deras, kali ini kerisnya yang berlekuk tiga mengeluarkan angin dingin dan membuat perih kulit Ki Bajra Saloka. Kembali orang ini memaki Gagak Panji ketika hampir saja dadanya dapat digapai senjata Gagak Panji. Kulitnya telah robek mengucurkan darah meskipun ujung keris tidak mencapai dadanya, pada waktu itu tenaga dingin yang keluar dari Gagak Panji mampu menembus pertahanannya.
Ki Bajra Saloka melompat surut sangat jauh, kemudian ia berdiri tegak dan mengedarkan pandangan di sekelilingnya. Beberapa orang pengikutnya telah tergolek membujur lintang, sementara yang lain telah berada dalam penjagaan ketat prajurit Lasem. Sambil menekan dadanya untuk mengurangi rasa sesak akibat dorongan tenaga inti Gagak Panji, ia berkata, ”Ki Sanak, aku bukanlah seorang pengecut! Aku peringatkan kau dan kalian, prajurit Lasem, untuk tidak menghentikan usaha kelompok kami mencari sesuap makan!”
Seorang prajurit yang mengenakan tanda pangkat sebagai lurah kemudian tertawa, kemudian ia berkata,”Ki Bajra Saloka, tanpa mengurangi rasa hormat padamu sebagai orang berilmu tinggi dan disegani, kata-katamu terdengar lucu bagiku.” Ia diam sejenak, lalu, ”Bagaimana mungkin kalian merampas hak orang lain untuk menjaga keberlangsungan hidup kalian?”
“Setiap orang mempunyai jalan dan cara yang berbeda satu sama lain, Ki Lurah. Aku mengambil upah dengan menjaga keamanan dari setiap orang yang melintasi hutan ini, begitu pula kalian. Kalian mengambil upah dari para petani dan pedagang yang berada di wilayah kalian sendiri,” Ki Bajra Saloka berkata-kata dengan mata melotot tajam.
Gagak Panji tertawa geli dalam hatinya mendengar Ki Bajra Saloka berkata-kata. Tetapi ia dapat melihat kebenaran di balik ucapan pemimpin penyamun itu.
“Ki Bajra Saloka,” kata Gagak Panji kemudian. Ia bergeser maju selangkah lalu katanya lagi, ”Kau akan meneruskan perkelahian ini atau akan meninggalkan kami semua? Aku menunggu jawaban tegas darimu, bukan debat tiada ujung.”
Wajah Ki Bajra Saloka menjadi merah karena marah dan malu. Kemudian ia memutar tubuhnya sambil berkata, ”Ingatlah oleh kalian pada hari ini. Aku akan kembali menjadikan Lasem seperti bara.”
Beberapa prajurit bergerak akan menyerangnya, namun Gagak Panji melambaikan tangan meminta mereka membiarkan Ki Bajra Saloka pergi meninggalkan mereka. Dengan raut wajah kebingungan, mereka menuruti perintah Gagak Panji. Kemudian Ki Lurah bertanya, ”Maafkan aku, Ki Rangga. Bagaimana Ki Rangga melepasnya pergi?”